Kamis, April 18, 2024

Nostalgia dan Bias Masa Lalu

Rahmat Tri Prawira Agara
Rahmat Tri Prawira Agara
Mahasiswa Fakultas Sains & Teknologi Universitas Terbuka. Instagram: @rahmat3prawira

Nostalgia itu adalah cara yang digunakan oleh manusia untuk mengenang tempat, momen, kejadian, serta orang tertentu di masa lalu. Dengan melakukan nostalgia, kenangan-kenangan tersebut akan terus lekat dalam memori dan abadi selamanya. Orang-orang melakukannya dalam banyak kesempatan. Mengenang kemerdekaan, kelahiran, pencapaian, pertemuan, dan lain-lain.

Tidak cuma sekadar menampilkan masa lalu, aktivitas bernostalgia itu memiliki satu daya tarik yang kuat. Yaitu, pemahaman bahwa segala hal yang terjadi di masa lalu itu adalah lebih baik dari masa kini. Dan orang selalu berusaha untuk menghadirkan perasaan di masa lalu tersebut dalam waktu saat ini. Itulah mengapa bernostalgia itu begitu mengasyikkan bagi kebanyakan orang.

Saking asyiknya, barangkali ada satu pertanyaan penting yang jarang ditanyakan orang. Seberapa tepatkah sebenarnya diri kita dalam merekam memori masa lalu dalam kegiatan nostalgia kita?

Pertanyaan ini menjadi salah satu pertanyaan penting yang menjadi objek kajian ilmuwan neuroscience. Mereka meneliti seberapa akurat orang dalam mempersepsikan dan mengingat memori mereka.

Dalam temuannya, mereka menemukan ada kecendrungan dan bias yang tinggi dari orang untuk melakukan kesalahan mengingat dari masa lalunya. Efek ini disebut sebagai “Retrospective bias”.

Ketika mengingat masa lalu, orang tidak menampilkan apa yang terjadi secara keseluruhan sesuai fakta yang terjadi pada saat itu. Melainkan, melakukan modifikasi dan pemilihan, sehingga apa yang diingat oleh otaknya adalah apa yang ingin orang itu ingat saja. Memori-memori yang menyenangkan cenderung lebih mudah untuk diingat, sedangkan memori yang buruk sangat mungkin untuk disimpan atau dilupakan.

Banyak orang misalnya, ketika mengingat masa-masa sekolah, selalu ingin untuk kembali ke masa itu. Mereka rindu untuk bercanda dengan teman-teman lama, kangen untuk melakukan kegilaan bersama, dan seterusnya. Tapi yang mereka lupa, sekolah tidak cuma diisi dengan hal-hal menyenangkan seperti itu. Ia juga berisi kewajiban untuk mengikuti banyak mata pelajaran, mengumpulkan tugas, dan terkena Omelan-omelan dari guru.

Kalau dibandingkan secara proporsional seperti itu, rasanya hampir tidak ada yang ingin kembali ke sekolah lagi, karena pertimbangan mereka bisa di awal. Dengan hanya mempertimbangkan memori-memori baik, tetapi mengesampingkan memori-memori yang buruk. Contoh tersebut tentu sangat sederhana, tapi setidaknya menggambarkan bias kita dalam mengingat memori kita.

Tidak cuma itu, terkadang orang juga mudah untuk menambahkan sesuatu kepada rangkaian memori tersebut. Sehingga, apa yang tadinya tidak ada, menjadi ada ketika memori tersebut ditampilkan saat ini. Sebabnya, ada kesan heroisme dan ketakjuban yang ingin ditampilkan kepada publik yang mendorong orang untuk melakukan hal seperti ini.

Orang-orang tua, senior, alumni, dan para pelaku-pelaku sejarah seringkali terjebak dalam kasus seperti ini. Mereka selalu memulai kalimat dengan rumusan ucapan: “dulu di zaman kami…”, kemudian dilanjutkan dengan kisah-kisah heroik yang disampaikan kepada para junior atau anak di masa kini.

Dalam kenyataannya, tidak jarang apa yang mereka katakan itu sebenarnya hanya dilebih-lebihkan saja. Bila dilihat dalam konteks dan situasi pada zaman itu, bisa jadi apa yang mereka ceritakan bukan hal yang spesial dan merupakan sesuatu yang biasa saja. Romantisisme lah yang yang membuat kisah tersebut terasa luar biasa, bukan karena kejadiannya itu sendiri.

Selain “Retrospective bias”, memori juga mengandung potensi kesalahan “Prospective bias”. Dimana suatu kejadian masa lalu digunakan sebagai standar ukuran untuk bertindak di masa kini, serta meramal masa depan.

Orang-orang memaksa orang lain untuk mengikuti standar pribadi di masa lalu yang menurut mereka cocok untuk diterapkan di masa kini. Argumen ini misalnya, biasa kita temukan dalam kegiatan ospek atau kaderisasi.

Kadangkali kekerasan dan otoritarianisme dilegitimasi dengan menggunakan kalimat seperti “dulu di zaman kami pembinaannya lebih keras. ini untuk melatih mental kalian supaya kuat” dan seterusnya.

Butuh waktu yang lama untuk menyadari bahwa melatih mental dan seterusnya dapat dilakukan tanpa menggunakan Omelan dan bentakan, apalagi kekerasan.  Siklus yang sama juga dapat kita temui dalam pola pengasuhan anak (parenting).

Ada sebagian orang tua yang membesarkan anaknya dengan nilai-nilai zaman penjajahan, ketika anaknya sendiri lahir dan hidup di zaman kemerdekaan. Pola-pola ini kemudian sering melahirkan konflik dalam ranah privat dalam keluarga, atau juga kadang bisa kita saksikan meluas dalam ranah publik dalam bentuk ketegangan sosial, politik, budaya, dan ekonomi antara generasi tua vs generasi muda.

Yang barangkali perlu disadari, memori dan masa lalu itu bukan rekaman lengkap dari apa yang terjadi sebenarnya. Itu cuma sebagian dari kebenaran yang ada. Bahkan, bisa jadi itu justru kebohongan yang dibuat secara tidak sadar maupun disengaja. Seperti yang terjadi dalam nostalgia.

Lagipula, siapa yang bisa menjamin keakuratan memori manusia?

Bila ada seseorang yang suka mengagungkan masa lalu. Bisa jadi dia memang tidak menikmati masa kini-nya. Sehingga perlu untuk mengorek-ngorek sesuatu yang sifatnya sudah lewat. Kalau perlu, merekayasa masa lalu supaya bisa sesuai dengan keinginannya demi menghadirkannya kembali di masa kini yang tentunya memiliki konteks yang berbeda.

Masa lalu itu cukup dipelajari dan ditelaah secara mendalam untuk diserap intisari kebaikan-kebaikannya. Tanpa perlu untuk disembah sebagai sebuah kemutlakan yang berlaku selamanya. Ada nilai-nilai dan sifat yang tentunya dapat berubah seiring dengan perkembangan zaman.

Kalau ada yang suka berkata dan bercerita dengan kalimat: “dulu di zaman kami…”.

Generasi sekarang sebaiknya menjawab dengan singkat: “itu kan dulu, sekarang beda. Lagipula, apakah yang anda katakan sudah tentu benar seluruhnya?”

Setiap zaman akan melahirkan generasi-generasinya sendiri. Jangan terjebak kepada masa lalu.

Rahmat Tri Prawira Agara
Rahmat Tri Prawira Agara
Mahasiswa Fakultas Sains & Teknologi Universitas Terbuka. Instagram: @rahmat3prawira
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.