Yani (nama samaran) mengeluh sekaligus mensyukuri kehamilan keduanya. Dua hal bertentangan yang ternyata bisa berjalan beriringan. Menurutnya, ‘anak’ akan menjadi ‘penghalang’ untuk berkarir atau mencari nafkah.
Dia melanjutkan, bahwa baik pekerja kantoran, petani, atau pedagang sama saja, seringkali pekerjaan mereka tidak optimal karena atasan atau kolega bisnis sering mempertimbangkan fungsi perempuan sebagai ‘ibu’.
Kalau bukan karena keinginan dari suaminya, sebetulnya dia belum siap punya anak lagi. Kehidupan finansial yang belum mapan dan jenjang karirnya adalah pertimbangan utamanya. Pimpinan di kantor membatasi pekerjaannya karena kehamilan dianggap sebagai kelemahan padahal rekapan gaji dihitung dari seberapa banyak pekerjaan/proyek yang diberikan. Tetapi Yani harus menghargai kehendak suami yang sangat menginginkan kehadiran seorang anak lagi, tambahnya.
Norma gender yang tidak setara tidak menguntungkan posisi perempuan dalam bernegosiasi seputar pemanfaatan organ reproduksi yang mereka miliki. Norma yang menentukan sikap, peran, dan relasi antar anggota dari struktur masyarakat ini bersifat relatif, bukan hukum baku. Tetapi karena sifatnya hirarki sehingga ada kedudukan yang terpinggirkan dari sistem itu.
Dan perempuan yang merupakan pusat reproduksi justru terkesan dipisahkan dari tubuhnya. Sistem reproduksi yang mereka miliki diatur oleh orang lain. Relasi kuasa akan berpengaruh pada pengambilan keputusan. Perempuan (istri) dalam budaya patriarki seringkali ditempatkan di kedudukan yang lebih rendah dari suami. (Aristiana Prihatining Rahayu dan Waode Hamsia, 2018; International Centre for Research on Women and Girls Not Brides, 2015)
Kesehatan reproduksi adalah keadaan sejahtera secara kompleks, di mana tolak ukur yang digunakan bukan hanya dari segi fungsi biologis semata melainkan aspek sosial dan mental yang kadang kala justru dipinggirkan ketika menilai status kesehatan. Sementara norma gender mengatur bagaimana seseorang bertindak, memahami, bahkan berperasaan tumbuh dari unit sosial terkecil yaitu keluarga sampai unit besar di lingkungannya yaitu: teman, masyarakat, tempat kerja/berpendidikan, bahkan media dan kebijakan pemerintah.
World Health Organization telah mencanangkan tiga faktor penentu status kesehatan reproduksi, diantaranya: (1) perbedaan biologis yaitu anatomis, fisiologi, genetik, dan sistem imunitas (2) perbedaan sosial budaya seperti peran dan tanggung jawab, serta norma yang berlaku di masyarakat (3) akses dan kontrol terhadap sumber daya kesehatan: ekonomi, sosial, politik; ketersediaan dan kualitas informasi dan edukasi tentang kesehatan reproduksi; ketersediaan waktu untuk berpartisipasi dalam program kesehatan reproduksi; ketersediaan dan kualitas layanan; keterbatasan sumber daya internal; otoritas terhadap tubuh sendiri untuk memilih layanan yang diinginkan; kontrol antara pengambilan keputusan dan keterampilan mencegah komplikasi penyakit.
Sustainable Development Goals atau SDGs yang merupakan kelanjutan Millennium Development Goals (MDGs) berlaku dari tahun 2016-2030 menegaskan bahwa salah satu poin penting pada ‘Tujuan 3’ (Goals III) yaitu menargetkan akses layanan untuk perawatan kesehatan seksual dan reproduksi, termasuk di dalamnya adalah keluarga berencana, informasi dan pendidikan, serta adanya integrasi kesehatan reproduksi ke dalam strategi dan program nasional.
Lebih lanjut di ‘Tujuan 5’ (Goals V), menempatkan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan sebagai poin utama. Selain terbebas dari diskriminasi dan kekerasan, perempuan berhak mendapatkan edukasi dan akses terhadap kesehatan reproduksi dan seksual.
Kaitan antar norma gender dan status kesehatan reproduksi perempuan sangat nampak ketika menganalisis faktor-faktor penyebab masalah kesehatan reproduksi yang terjadi. Namun sayang, meskipun menimbulkan morbiditas sampai mortalitas pada perempuan, belum ada perhatian penuh yang berspektif gender untuk menanganinya. Karena norma masyarakata yang dinaturalisasi sehingga dianggap bukan persoalan krusial.
Secara tidak langsung, Yani masuk dalam kategori unmet need, yaitu kebutuhan kontrasepsi yang tidak terpenuhi. Meskipun dia secara sadar melakukan program kehamilan kedua, tetapi sebagai perempuan yang memiliki kehendak atas pusat reproduksinya memerlukan kontrasepsi. Berbagai penelitian mengungkapkan bahwa unmet need disebakan oleh tidak adanya dukungan suami untuk mengakses kontrasepsi, meskipun fasilitas kesehatan sudah memadai.
Biasanya, perspektif suami dipengaruhi oleh kepercayaan budaya yang dianut. Suami yang berperan sebagai pemimpin dalam rumah tangga mendapat posisi istimewa ketika bernegosiasi. Karena kepemimpinan yang jalankan adalah sebagai ‘pengatur’ bukan ‘pelindung’ bagi keluarganya. Jika suami berperan sebagai ‘pelindung’ maka mereka akan memikirkan risiko-risiko kesehatan yang akan menimpa anggota keluarganya sebelum mengambil keputusan.
Edukasi mengenai alat kontrasepsi lebih banyak menyasar perempuan ketimbang laki-laki. Alat-alat kontrasepsi dari bahan kimia banyak mengakibatkan efek negatif untuk tubuh perempuan jika yang berpengaruh terhadap sistem tubuhnya: sakit kepala, muntah, haid tidak teratur, bintik-bintik hitam pada kulit atau, kesakitan di bagian lengan yang disisipi implan. Padahal efek negatif dari alat kontrasepsi pada laki-laki justru sangat minim.
Berbagai keyakinan akan tafsir agama juga mempengaruhi norma gender dan keputusan. Kita pernah mendengar perihal mati syahidnya seorang perempuan jika meninggal dalam persalinan. Kematian ibu yang tidak memperlihatkan penurunan signifikan sebetulnya bisa diminimalisir melalui pemeriksaan kehamilan rutin untuk menganalisis faktor-faktor risiko berbahaya jika melahirkan atau mendeteksi penyakit/kemungkinan sakit sebelum kehamilan sehingga hal-hal negatif bisa diminimalisir.
Kesakitan seperti itu ditempatkan sebagai takdir yang tidak bisa diubah, padahal ada usaha preventif yang bisa dilakukan, bukan hanya pasrah dan ikhlas kemudian berharap diberikan pahala sebagai impact dari kesakitan yang telah dijalaninya.
Praktek merugikan lainnya yang berkaitan erat dengan norma gender adalah perkawinan anak dan Female Genital Mutilation. Namun norma gender biasanya tidak berdiri sendiri dalam mempengaruhi status kesehatan reproduksi, melainkan memiliki faktor pendukung seperti kebijakan politik, ekonomi, pendidikan, akses fasilitas, dll