Kamis, Maret 28, 2024

Norma dan Etik Kepala Daerah Menjadi Tim Sukses

Eko Setiobudi
Eko Setiobudi
Dr Eko Setiobudi, SE, ME Dosen di STIE Tribuana Bekasi

Banyak Kepala Daerah terlibat menjadi tim kampanye Capres-Cawapres, baik di kubu Jokowi-Ma’ruf Amien, maupun di kubu Prabowo-Sandi. Hal ini mengacu pada Undang-Undang No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu), khususnya pasal 281 yang mengatur tentang mengenai ketentuan cuti.

Berbagai kekhawatiran publik terkait dengan potensi abuse of power diantisipasi oleh KPU dengan mengeluarkan PKPU Nomor 23 tahun 2018, di mana pasal 62  menyatakan, kepala daerah yang menjadi tim pemenangan harus melakukan cuti berdasarkan izin Kementerian Dalam Negeri maksimal satu hari dalam seminggu.

Lalu, surat cuti tersebut diberikan kepada KPU, KPU Provinsi, atau KPU Kabupaten/kota selambat-lambatnya tiga hari sebelum pelaksanaan kampanye. Sementara Pasal 63 menyatakan, kepala daerah dilarang menjadi ketua tim kampanye. Saat mereka sedang kampanye, tugas pemerintahan akan dijalankan oleh sekretaris daerah dengan ketetapan Mendagri atas nama presiden.

Memang tidak ada ketentuan yang melarang kepala daerah untuk menjadi tim sukses calon presiden dalam Pilpres. Namun berpotensi menjadi  “blunder” pada saat Parpol maupun gabungan Parpol koalisi yang mengusung kepala daerah, berbeda pilihan politiknya pada saat mengusung calon presiden dalam pilpres 2019.

Atau bisa menjadi “blunder” pada saat Presiden incumbent mencalonkan diri kembali dalam Pilpres 2019. Pada satu sisi sebagai kepala daerah harus patuh dan tunduk pada atasan yang dalam hal ini adalah presiden, pada sisi lain harus tunduk pada keputusan partai atau gabungan koalisi partai yang mengusungnya.

Potensi “blunder” ini bisa menjadi semakin rumit pada saat keputusan politik kepada daerah untuk menjadi tim sukses Capres, disertai dengan praktek-praktek abuse of power, atau penyalahgunaan kewenangan dan penyalahgunaan penggunaan fasilitas negara. Seperti mobilisasi dan mengarahkan aparatur (ASN) di bawahnya untuk memenangkan pasangan Capres tertentu.

Peluang ini sangat terbuka lebar. UU No. 5/2014 tentang  ASN mengatur kedudukan kepala daerah sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) di tingkat daerah. Akibatnya, seorang kepala daerah juga memiliki kewenangan untuk menetapkan, mengangkat, memindahkan/mutasi termasuk memberhentian ASN di pemerintahannya.

Selain itu, kepala daerah juga berpotensi untuk mengabaikan rekomendasi-rekomendasi atas pelanggaran netralitas ASN, jika keberpihakan dianggap menguntungkan kepada daerah tersebut.

Hal yang demikian menjadi lazim, karena investasi politik Parpol atau gabungan koalisi Parpol yang sudah diberikan dalam bentuk rekomendasi bagi persyaratan Pilkada, dikemudian hari ditagih dengan dalam bentuk komitmen kepala daerah untuk membantu proses pemenangan pasangan Capres dan Cawapres yang diusung oleh Parpol atau gabungan koalisi Parpol yang bersangkutan.

Masih kuat dalam ingatan kita, viralnya Pakta Integritas Dedy Miswar di berbagai laman media sosial, sesaat setelah mendapatkan rekomendasi dari Partai Demokrat. Dimana dalam Pakta Integritas tersebut menyebutkan bahwa Dedy Miswar siap mengerakkan mesin partai untuk memenangkan Capres/Cawapres yang diusung oleh partai Demokrat pada Pilpres 2019.

Meskipun kemudian Pakta Integritas ini ramai-ramai di bantah dan dinyatakan sebagai hoaks, namun viralnya Pakta Integritas tersebut, “seolah-olah” memberikan sinyalemen tentang tuntutan adanya praktek balas budi politik atas rekomendasi yang sudah diberikan kepada para calon kepala daerah.

Fakta lain menyebutkan bahwa berdasarkan pada penanganan pelanggaran-pelanggaran Pilkada serentak tahun 2018 lalu, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menemukan adanya 3.567 dugaan pelanggaran Pilkada yang ditangani. Dari total pelanggaran tersebut, sebanyak 721 (20%) merupakan pelanggaran netralitas dari ASN.

Jumlah pelanggaran netralitas ASN ini tentunya menjadi jumlah yang cukup besar, di tengah gencarnya pemerintah dan instansi-instansi pemerintah yang terus menyuarakan dan mendorong netralitas ASN dalam pilkada maupun pemilu. Oleh sebab itu, wajar jika banyak kalangan mempertanyakan netralitas ASN dalam pilkada maupun pemilu.

Berangkat dari hal tersebut di atas, maka potensi pernyataan Mendagri untuk menjadi “blunder” cukup besar. Selain itu dapat membuka peluang terjadiya abuse of power serta netralitas ASN dalam Pemilu 2019 mendatang.

Padahal jelas bahwa semua peraturan perundang-undangan memang mengharuskan netralitas ASN dalam pilkada dan pemilu. Sebut saja UU No. 10 Tahun 2016 tentang Perubahan; Kedua Atas UU No. 1 Tahun 2014 tentang Penetapan; Perpu No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota; kemudian UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN; Peraturan Pemerintah No. 42 tahun 2004, tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik PNS/ASN; Peraturan Pemerintah No. 53 tahun 2010 tentang Disiplin PNS dan lain sebagainya.

Sementara penanganan dan pemberian sanksi terhadap ASN yang tidak netral juga menjadi pertanyaan masyarakat, akibat kurangnya sosialisasi pemerintah terkait dengan kasus-kasus tersebut. Ketentuan mengenai sanksi sendiri diatur dalam Pasal 7 PP Nomor 53 Tahun 2010 yang terdiri dari tiga tingkatan, yaitu ringan, sedang, dan berat. Sesuai dengan Pasal 4 (12) Pasal 12 dan 13, pelanggaran netralitas PNS dapat dikenakan hukuman hingga pemberhentian secara tidak hormat.

Berangkat dari hal-hal tersebut di atas, menjelang pelaksanaan pemilu 2019 khususnya Pilpres 2019 sebaiknya pemerintah segera megambil langkah-langah strategis agar netralitas ASN tidak terus dipertanyakan kepada publik. Beberapa langkah strategis yang bisa dipertimbangkan oleh pemerintah diantaranya adalah ;

Pertamamengembalikan wewenang Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) dari Kepala Daerah kepada Sekretaris Daerah. Hal ini sebenarnya sudah diatur dalam UU No. 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, sayangnya UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN, mencabutnya dan memberikan kewenangan PPK kpada kepala daerah. Hal ini juga penting, pasalnya kepala daerah adalah jabatan politik yang didapatkan juga melalui proses politik atas nama demokrasi elektoral. 

Keduaperaturan perundangan hanya memberikan sanksi terhadap ASN terkait dengan ketidaknetralan ASN dalam pilkada maupun pemilu. Sementara langkah terobosan untuk menghindari abuse of power serta penyalahgunaan kewenangan yang lainnya, sebagaimana yang sudah dijelaskan tersebut di atas, juga perlu untuk dipertimbangkan dengan cara mengharuskan netralitas juga terhadap kepala daerahnya.

Sehingga kepala daerah yang tidak netral juga dapat dijatuhi sanksi. Hal yang demikian bukan saja akan mengurangi potensi abuse of power, sekaligus dapat meminimalisir praktek-praktek “balas budi” kepala daerah terhadap Parpol atau gabungan koalisi Parpol pengusungnya.

Ketigamemperbaiki tata kelola dan manajemen ASN melalui perwujudan merit sistem dalam menata manajemen ASN. Dengan mendorong pengangkatan pejabat melalui seleksi terbuka untuk penjaringan serta fit and proper yang transparan dan akuntabel.

Tiga langkah strategis tersebut dibutuhkan untuk melengkapi langkah dan strategi pemerintah yang selama ini sudah dijalankan pemerintah seperti penegakan hukum (sanksi) dan pengawasan secara internal.

Eko Setiobudi
Eko Setiobudi
Dr Eko Setiobudi, SE, ME Dosen di STIE Tribuana Bekasi
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.