Hari ini jagad pandang kita lumayan dilelahkan oleh kubangan informasi yang centang-perenang tentang berita politik. Berita yang datang silih-berganti dan lebih sering menguji kerja akal-sehat. Pada tulisan kali ini, saya ingin membuat selingan alias intermezo. Alih-alih menanggapi situasi kekinian tersebut, saya tertarik membagikan cerita tentang hal lain. Yakni kesan tentang film yang baru saja selesai saya tonton. Kebetulan film tersebut memiliki persinggungan dengan disiplin ilmu yang pernah saya tekuni.
Bila suatu hari ada yang bertanya seperti apa visualitas antropologi dan sejarah awal-mulanya, maka saya akan menjawab: cobalah menonton film “The Lost City of Z”. Film ini berkisah tentang para penjelajah gagah berani yang menyusuri sungai hutan asing di Amazon. Menonton film ini, sontak mengingatkan saya pada sebuah catatan perjalanan kuno yang pernah saya baca. Konon dari seorang petualang abad ke-14 ketika memijakkan kaki untuk pertamakali ke Pulau Jawa, yang disunting oleh sejarawan James Rush di dalam buku “Java A Traveller’s Anthology”. Tulisan itu diawali dengan kesaksian Biarawan Odoric dari Ordo Santo Fransis tahun 1330, berisi penggambarannya tentang Jawa. Ya, Jawa. Biarawan tersebut menulis;
“Saya pergi ke sebuah pulau lain bernama Jawa yang memiliki garis keliling pantai sepanjang 3.000 mil dan raja Jawa memiliki tujuh raja lain di bawah kekuasaan utamanya. Pulau ini dianggap sebagai salah-satu pulau terbesar di dunia dan sepenuhnya dihuni; berlimpahan cengkih, kemukus dan buah pala segala macam rempah lain juga banyak jenis makanan lain dalam jumlah besar, kecuali anggur. Raja Jawa memiliki istana besar dan mewah paling menakjubkan yang pernah saya lihat, dengan tangga lebar dan megah ke arah ruangan di bagian atas, semua anak tangga secara bergantian terbuat dari emas dan perak. Seluruh dinding bagian dalam dilapisi oleh lapisan emas tempa, dimana gambar-gambar ksatria diukirkan pada lapisan emas tersebut.. ”
Saya jadi membayangkan, barangkali seperti inilah dulu kesan para penjelajah ketika untuk pertamakali tiba dan memijakkan kakinya di kepulauan Nusantara. Takjub pada pemandangan baru yang ‘asing’, yang lantaran digerakkan oleh keingintahuan yang besar, mereka menempuh perjalanan jauh untuk mengenal dunia luar. Sebuah gambaran tentang dunia yang berada di luar tempurung masyarakat di zamannya. Tentu saja, itu bila kita melihat dari sudut pandang si petualang tersebut. Tapi mari kita kembali sebentar ke film yang tadi. Dalam “The Lost City of Z”, dikisahkan si tokoh utama, Percy Fawcett, melakukan perjalanan sampai tiga kali ke wilayah ‘berbahaya’ yang belum terpetakan. Mulanya ia diutus oleh lembaga studi geografi di Inggris, untuk melakukan pemetaan wilayah (barangkali semacam kartografer begitu apa,ya?) dengan maksud meredam perang antar negara yang dipicu oleh perebutan wilayah. Karena pada waktu itu, tidak ada batas yang jelas antar negara yang sedang terlibat kecamuk perang.
Salah-satu hal menarik yang dikisahkan di dalam film itu adalah pertemuan bangsa penjelajah kulit putih dengan kulit berwarna yang bagi orang kulit putih dianggap sebagai orang-orang liar, kanibal. Film ini mampu secara jeli menampilkan tendensi superioritas purba yang mengendap di benak bangsa berkulit putih ketika pertama kali berjumpa dengan “liyan”. Ada satu scene yang melukiskan dengan menarik bagaimana prosesi ritual perkenalan para penjelajah ketika mereka sedang mencoba memasuki jagad pandang suku pedalaman. Konon film ini didaptasi dari kisah nyata, dan atas penjelajahannya yang gagah berani itu, Fawcett diganjar medali kehormatan karena telah merintis wilayah kajian baru dalam perkembangan dunia ilmu pengetahuan.
Kalau boleh melantur sedikit, siapapun yang sudah pernah membaca disertasi Simon Philpott yang dibukukan dalam judul “Rethinking Indonesia” (saya membaca versi terjemahannya), akan mendapati kerangka pengisahan yang sama dengan film “The Lost City of Z”. Karena alur cerita semacam itu pula yang digunakan Philpott ketika menuliskan penelitian tentang situasi Indonesia melalui kacamata poskolonial. Yakni tentang bagaimana imajinasi para ilmuwan Amerika seusai perang dunia dua, melihat Asia sebagai sebuah wilayah ‘yang belum terpahami’. Mereka memandangnya dengan ketakjuban. Dengan keingintahuan yang besar. Maka kemudian lewat salah satu institusi pendidikannya, dengan penelitian yang telah lebih dulu dirintis oleh George Mc.Turnan.Kahin (seorang Indonesianis yang merekam dengan apik gejolak masa revolusi Indonesia dalam tulisannya berjudul “Nationalism and Revolution in Indonesia”) lahirlah sebuah pusat studi bergengsi yang khusus mengkaji soal-soal Asia, terlebih Indonesia – bernama Cornell Indonesian Modern Project. Tanpa menunggu waktu lama, satu-persatu penggambaran tentang bangsa asing di Asia itu pun bermunculan. Salah-satunya dan sempat membikin heboh dunia luar – terutama di kalangan akademisi, ialah buku berjudul “The Religion of Java”, hasil penelitian Clifford Geertz pada pertengahan tahun 50’an yang kemudian terbit di tahun 60.
Ada banyak pelajar dari Indonesia pada saat itu yang kemudian berbondong-bondong belajar ke negara tersebut (yang sebagian lulusannya kini ada yang telah menjadi guru besar dan intelektual mumpuni dan menyebar ke kota-kota di Indonesia). Terlebih, setelah lewat periode keruh 65. Peralihan rezim dari Sukarno yang dikenal anti-kapitalis dengan ekonomi berdikarinya bergeser ke Suharto yang berkiblat Amerika, memberikan kepercayaan penuh pada para sarjana Indonesia yang belajar di Amerika untuk memperbaiki krisis ekonomi – di mana oleh seorang peneliti AS sendiri yang saat itu kontra dengan kebijakan luar negeri AS (David Ransom), sarjana-sarjana perancang ekonomi Orde Baru tersebut dijuluki sebagai ‘Mafia Berkeley’. Untuk penjelasan yang lebih lengkap tentang hal itu bisa ditelusuri lewat judul buku dan beberapa kata kunci yang telah disebutkan. Sebab, ini tadi niatnya mau cerita tentang film malah nggladrah kemana-mana. Duh!