Pingitan adalah tradisi yang dilakukan calon pengantin sebelum hari pernikahan dilangsungkan sebagai pelindung bagi calon pengantin dari marabahaya, dipingit bisa diartikan calon pengantin dilarang bertemu sampai hari pernikahan.
Khusus untuk calon pengantin perempuan bukan sekedar dilarang bertemu dengan calon suaminya tetapi juga dilarang beraktivitas keluar rumah. Hal ini dikarenakan masyarakat Jawa meyakini bahwa calon pengantin itu memiliki darah manis yang akan rentan terhadap gangguan gaib sehingga lebih baik dipingit di dalam rumah menjelang hari pernikahan. Dengan cara ini maka calon pengantin perempuan akan terlihat lebih manglingi sewaktu akad berlangsung, aura kecantikannya lebih terpancar.
Proses pingitan ini dilakukan dalam tempo yang berbeda-beda, ada yang dilakukan 1 bulan sebelum hari pernikahan dan ada juga yang dilakukan 1 minggu sebelum hari pernikahan. Selama dipingit calon pengantin perempuan bisa mengisi waktunya dengan merawat diri, termasuk meminum minuman tradisional khusus atau bahkan berpuasa.
Di zaman sekarang ini pingitan berubah menjadi pilihan bukan lagi keharusan sebab perempuan zaman sekarang aktivitasnya lebih padat, harus bekerja dan menyiapkan pernikahannya sendiri. Sehingga pingitan semakin sulit dilakukan.
Ada beberapa manfaat pingitan antara lain:
1. Untuk menjaga kebugaran calon pengantin supaya siap menghadapi pernikahannya yang seringkali berjalan sibuk dan menyita tenaga
2. Menumbuhkan rasa rindu diantara kedua calon pengantin
3. Memberikan kesempatan bagi calon pengantin perempuan untuk merawat diri
4. Sebagai suatu latihan bagi calon pengantin yang setelah berumah tangga berniat untuk mengabdikan dirinya dirumah
5. Untuk meminimalisir resiko terjadinya sesuatu yang mengancam calon pengantin menjelang hari pernikahan
6. Untuk menumbuhkan rasa saling percaya antara calon pasangan meskipun tidak saling bertemu
7. Untuk melatih kesabaran
Pernikahan adalah penyatuan dua hati antara pria dan wanita. Namun dalam hal adat Jawa sendiri ada beberapa hal yang harus diperhatikan, bahkan adat Jawa menyatakan ada beberapa pantangan sebelum melangsungkan pernikahan yaitu, yang pertama adalah jilu atau pernikahan siji dan telu khususnya di Jawa Timur pernikahan jilu sangat dilarang.
Pernikahan Jilu adalah pernikahan antara anak pertama dengan anak ketiga, baik pihak wanita yang anak pertama dan pria anak ketiga juga pria anak pertama dan wanita anak ketiga sama-sama tidak boleh menikah menurut adat Jawa. Dalam kepercayaannya jika pernikahan ini tetap dilangsungkan maka akan mendatangkan kesialan bagi rumah tangganya di masa depan.
Yang kedua, menikah pada bulan suro. Bulan Suro dianggap sebagai pantangan menikah adat Jawa karena dianggap bulan keramat dan membuat malapetaka, padahal dalam pandangan islam bulan suro adalah bulan suci dan dinamakan bulannya Allah. Pada bulan suro ini masyarakat Jawa banyak yang percaya tentang mitos yang terkait Ratu Pantai Selatan atau yang lebih dikenal dengan nama “Nyi Roro Kidul” sedang melangsungkan hajatan, sehingga jika acara pernikahan tetap dilangsungkan pada bulan ini akan menimbulkan malapetaka bagi rumah tangganya dan keluarga di masa depan.
Yang ketiga, rumah berhadapan dilarang menikah dalam adat Jawa. Para orang tua di Jawa masih percaya mitos pernikahan tersebut, dan jika mitos ini ditentang maka mereka percaya keluarga mempelai dari kedua belah pihak akan mengalami hal buruk di kemudian hari.
Yang keempat, posisi rumah Ngalor Ngulon dilarang menikah. Arah ke barat laut atau sering disebut ngalor ngulon merupakan hal yang menjadi pantangan tetapi ada juga yang menganggap bahwa pernikahan arah ngalor ngulon dilarang merupakan mitos. Meskipun sudah memasuki era modern tetapi mitos ini masih sangat di percaya turun temurun khususnya pada masyarakat yang tinggal di pedesaan, orang tua keluarga Jawa percaya dengan tradisi primbon dan weton mereka.
Yang kelima, pernikahan siji jejer telu (satu berjajar tiga) adalah jika pasangan yang akan menikah sama-sama anak pertama dan salah satu orang tua dari pasangan juga merupakan anak pertama, sehingga jika disusun dalam angka menjadi 111 (satu berjajar tiga). Jika hal ini di tentang maka rumah tangga pasangan tidak akan sejahtera.
Yang keenam, larangan menikah Jawa-Sunda. Larangan ini sudah dipercaya sejak zaman dulu dan jika hal ini dilanggar maka hidupnya akan sengsara. Sejarah dari munculnya mitos ini berasal dari kisah zaman dulu yaitu terjadinya perang babat antara Kerajaan Majapahit dengan Kerajaan Sunda, sehingga antara Jawa dan Sunda di nilai tidak akan pernah bisa rukun meskipun dengan cara pernikahan.
Nilai Tradisi Pingitan
Tradisi pingitan memiliki nilai sebagai proses pembekalan bagi calon pengantin wanita yang akan menjalani kehidupan rumah tangga. Tradisi pingitan sangat umum dilakukan oleh masyarakat Jawa. Dipingit artinya calon pengantin wanita dan pria dilarang untuk bertemu hingga waktu yang telah ditentukan (biasanya hingga hari pernikahan).
Nilai-nilai dalam tradisi ini sangat penting bagi kedua calon pengantin terutama calon pengantin wanita. Mengapa demikian, karena pingitan menjadi masa pendewasaan pola pikir dan tingkah laku wanita dalam menghadapi kehidupan rumah tangga dengan penuh tanggung jawab. Dalam tradisi pingitan calon pengantin wanita lah yang paling banyak terlibat.
Ketidakmampuan untuk bertemu satu sama lain dalam jangka waktu yang telah ditentukan mengharuskan kedua calon untuk meningkatkan rasa kepercayaan satu sama lain. Nilai yang dimiliki tradisi pingitan berguna bagi masing-masing calon pengantin. Nilai-nilai penting lainnya yang dapat dirasakan oleh calon pengantin selama dipingit, antara lain:
Calon pengantin wanita lebih siap mentalnya karena dalam kehidupan berumah tangga tidak hanya menjalankan kehidupan yang enak, tetapi juga harus siap menghadapi segala cobaan dan rintangan hidup.
Calon pengantin wanita dikuatkan untuk membantu suami kelak dalam aspek lahir maupun batin. Istri yang kuat akan memberikan dorongan yang kuat pula kepada suami dalam menjalani pernikahan.
Menjaga calon pengantin dari marabahaya, karena masyarakat Jawa meyakini bahwa calon pengantin memiliki darah manis yang rentan terhadap gangguan gaib. Terlepas dari anggapan itu, memang banyak cobaan yang akan terjadi bagi calon pengantin menjelang hari pernikahan dan untuk meminimalisirnya calon pengantin wanita dilarang untuk beraktivitas keluar rumah.
Melatih kesabaran bagi dua calon pengantin agar mereka tidak merasa terburu-buru dan menyiapkan diri matang-matang, karena pernikahan merupakan hal yang sakral dan pernikahan bukan ajang perlombaan siapa cepat dia dapat, tetapi mengenai kesiapan untuk mejaga dan menjalin hubungan sehidup semati.
Calon pengantin wanita diberi kesempatan untuk merawat dirinya selama menjelangan hari pernikahan tiba. Perawatan diri dilakukan agar pengantin wanita terlihat ‘manglingi’ saat hari pernikahan tiba. Meminum jamu tradisional yang diramu khusus untuk wanita dan ramuan perawatan tubuh, dan juga disarankan bagi calon pengantin wanita untuk berpuasa.
Melatih kebugaran calon pengantin agar siap dalam menjalani hari pernikahannya yang sibuk dan pasti akan menyita cukup banyak tenaga.
Melatih calon pengantin wanita untuk bersiap menjadi istri dari seorang lelaki yang akan menemaninya beeribadah seumur hidup dan menjadi calon ibu dari anak-anak yang sholeh sholehah.
Memupuk kerinduan diantara kedua calon pengantin. Kedua calon pengantin yang dilarang untuk bertemu hingga hari pernikahan memunculkan rasa rindu dan deg-degan, yang nantinya akan terbayar saat berada di pelaminan.
Dewasa ini, tradisi pingitan tidak lagi menjadi sebuah keharusan melainkan pilihan. Berkembangnya zaman membuat peran wanita meluas, yang dulunya hanya sebatas kasur, sumur, dapur menjadi berbagai kesibukan yang ada. Aktivitas padat yang dimiliki seperti bekerja, belajar, belum lagi mempersiapkan pernikahannya seperti, meeting vendor, dan gladi resik keluarga yang membuat calon pengantin tidak memiliki waktu yang cukup untuk dipingit. Jika memiliki waktu yang cukup untuk melaksanakan tradisi pingitan tidak ada salahnya dilaksanakan sebagai sebuah penghormatan budaya.
Nilai Tradisi Pingitan menurut Pandangan Agama Islam
Allah SWT. telah menjelaskan dalam Al-Qur‟an pada surat Al-Ahzab (33)
وَقَرْنَ فِيْ بُيُوْتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْاُوْلٰى وَاَقِمْنَ الصَّلٰوةَ وَاٰتِيْنَ الزَّكٰوةَ وَاَطِعْنَ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ ۗاِنَّمَا يُرِيْدُ اللّٰهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ اَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيْرًاۚ
33. Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan (bertingkah laku) seperti orang-orang jahiliah dahulu, dan laksanakanlah salat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai ahlulbait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.
Hukum pingitan dalam islam adalah boleh (mubah), karena wanita dalam pingitan menunjukan kemuliaan dan kesucian. terdapat dalam sejarah dari dulu hingga kemudian. Dalam pingitan malu menjadi hiasan. Wajarlah bila menjadi primadona dan dambaan. Bukankah Allah ciptakan bidadari surga dalam pingitan. Pingitan sendiri sangat dianjurkan islam dan itu sudah ada dalam Al-qur`an
Sedangkan Mitos yang berkembang di tradisi ini sangat unik. Dalam kondisi pingit, orang yang dipingit tidak boleh keluar rumah, dengan alasanya karna mereka memiliki `darah manis` (atau darah manisan kata orang Banjar). Dikatakan bahwa orang yang akan menikah itu rentan terhadap marabahaya.
Menurut kepercayaan Jawa kuno banyak sarap, sawan, dan sambekala (penyakit yang tidak kelihatan) atau hal yang mencemaskan dan berbagai halangan sehingga sebagaian masyarakat, ketika calon pengantin dipingit, juga di anjurkan minum “ jamu sawanan” agar terhindar dari berbagai halaman, kecemasan, dan aneka penyakit.
Kepercayaan seperti itulah yang harus diluruskan, karena musibah itu bisa datang kapan saja dan dimana saja, serta tidak mengenal usia, bisa pada anak kecil, orang dewasa ataupun lansia, dan dalam Islam tidak diperbolehkan, karna kepercayaan seperti itu masuk katagori syirik
Masalah mereka yang mempunyai darah manis itu tergantung dengan kepercayaan adat saja, yang pasti dalam islam pingitan diperbolehkan dengan tujuan menjaga wanita dari marabahaya seperti menghindarkan dari nafsu-nafsu kaum pria yang belum bisa mengontrol diri, bukan musibah yang disebut oleh orang Jawa dengan setan sarap, sawan dan sambekalo (penyakit yang tidak kelihatan), mengenai kehawatiran masyarakat yang takut tertimpa musibah thiyarah yaitu meramal bernasib sial karna melanggar sesuatu.
Masalah puasa yang dilakukan calon pengantin dalam prosesi pingitan tersebut hukumnya dalam islam diperbolehkan dengan catatan bila calon pengantin tersebut melakukan puasa dengan niat beribadah kepada Allah SWT.Sedangkan niat puasa itu untuk menghindari musibah atau kepercayaan lain seperti terhindar dari sawan, sarap dan sambekolo (penyakit yang tidak kelihatan) dalam islam tidak diperbolehkan.
Tinjauan Kritis terhadap Tradisi Pingitan
Saat pingitan pengantin dilarang keluar rumah selama satu bulan atau satu minggu sebelum pernikahan, untuk mengisi kegiatan dirumah calon pengantin wanita bisa merawat diri. Perawatan dilakukan dengan ramuan tradisional yang diramu khusus untuk wanita, mulai ramuan perawatan khusus hingga minuman tradisional yang wajib di minum, dengan perawatan pengantin lebih percaya diri karena tampil cantik, bersih, dan wangi. Perawatan yang calon pengantin wanita lakukan berguna untuk mempersiapkan calon pengantin wanita secara fisik luar dan dalam. Calon pengantin wanita disiapkan dirinya akan tugas sebagai seorang istri dan calon ibu.
Wanita dalam pingitan menunjukkan kemuliaan dan kesucian. Terdapat dalam sejarah dari dulu hingga sekarang. Dalam pingitan malu menjadi hiasan. Wajarlah bila menjadi primadona dan dambaan. Pingitan memberikan aura kemuliaan yang terpancar dalam diri calon pengantin wanita. Pingitan mengajarkan wanita akan rasa malu yang harus dimiliki dalam diri seorang wanita. Yang dimana kini hal itu sudah hampir jarang ditemukan.
Selama waktu dipingit, kedua calon pengantin memiliki waktu untuk mempersiapkan diri masing-masing. Selain persiapan fisik, mental juga harus disiapkan. Pingitan memberi waktu bagi masing-masing calon pengantin untuk memperkuat niatnya dalam melaksanakan pernikahan. Calon pengantin pria mempersiapkan hati dan akalnya untuk menerima segala kekurangan calon pasangan hidupnya dan membimbing kehidupan keluarganya sebagai kepala rumah tangga. Calon pengantin wanita, disiapkan mentalnya untuk bersiap atas segala terjangan kelak yang akan menimpa keluarganya, dan bersabar akan ujian yang akan dihadapi dalam pernikahan mereka.