Sabtu, April 20, 2024

Nietzsche, Tuhan, dan Terorisme

Menarik untuk membicarakan Nietzsche, di saat mencuatnya kasus terorisme di Indonesia. Atas nama sebuah kepercayaan, tindak terorisme mencuat ke permukaan. Sebuah kepercayaan yang mengklaim dirinya sebagai orang yang benar-benar tahu tentang tuhan menjadi akar dari tindakan terorisme di Indonesia.

Dalih agama menjadikan sarana pembenar setiap tindakan terorisme. Memvonis orang lain yang tak sejalan dengan kepercayaannya sebagai musuh ialah sebuah konsekuensi dari adanya idee fixe yang ada pada kerangka berfikir kelompok teroris. Nietzsche sendiri begitu membenci sebuah sikap manusia yang merasa benar-benar mampu memahami tuhan maupun realitas. Karena menurut Nietzsche realitas itu terus menjadi, tidak stagnan, sementara tuhan tidak bisa dikonsepsikan oleh manusia.

Peristiwa pengeboman gereja di surabaya yang menewaskan sembilan orang serta 40 orang luka-luka dengan lokasi pengeboman yang berbeda, gereja santa maria tak bercela, gereja kristen Indonesia, Gereja Pantekosta pusat surabaya (cnnindonesia.com). Menurut Tito sebagaimana dilaporkan idntimes.com, bahwa peristiwa pengeboman yang terjadi disurabaya ialah sebagai sebuah aksi yang diinstruksikan oleh isis dalam menanggapi keterpojokannya akibat kekuatan-kekuatan dari barat maupun pihak lainnya.

ISIS sebagai kelompok Islam konservatif, mendasarkan setiap gerakannya pada sebuah doktrin yang mereka yakini, menjadikan musuh kelompok yang tak sejalan dengan ajarannya merupakan sebuah akibat dari kepercayaan yang bersifat tertutup. Lagi-lagi atas nama kepercayaan, manusia rela mencederai kemanusiaan itu sendiri. Lalu bagaimanakah seharusnya manusia memahami serta menghayati agama maupun sebuah kepercayaan?

Idee Fixe Dasar Fanatisme

Realitas terbentuk tanpa adanya determinisme. Begitulah Nietzsche sebagaimana ditulis Setyo Wibowo dalam Buku Gaya Filsafat Nietzsche, bahwa realitas itu bersifat kaotis, selalu menjadi. Lalu kenapa belakangan ini banyak orang yang menganggap dirinya mampu memahami realitas?

Menurut Nietzsche  manusia selalu memaksakan dirinya dalam memenuhi kebutuhan untuk percaya. Namun, setelah manusia memiliki sebuah kepercayaan, terbentuklah sebuah idee fixe. Pola berfikir yang menganggap suatu hal itu salah, apabila tidak sejalan dengan nilai yang dipercayainya. Sains sebagai sebuah representasi sebuah idee fixe, menggambarkan bahwa segala sesuatu harus diteliti secara ilmiah dan obyektif.

Dalam hal ini Nietzsche menyebutnya sebagai aktivitas yang kurang ajar, bahwa sains telah mengangkangi realitas, merasa benar-benar tahu tentang sebuah realitas, dan yang terjadi ialah fanatisme dalam tubuh sains sendiri dengan menganggap yang tidak sejalan dengan kepercayaan sains itu salah. Sebuah idee fixe yang mengakar pada tubuh sains.

Lalu bagaimana dengan agama? Bahwa agama selalu membutuhkan sebuah kepercayaan dalam mendasarkan segala aktivitasnya? Tentu berbeda dengan sains, kebutuhan kepercayaan dalam sebuah agama bersifat metafisika.

Semua penganut agama dalam mendasarkan tingkah lakunya pada sebuah kepercayaan. Namun, di sisi lain terlalu fanatis dalam menganut sebuah kepercayaan tidaklah dibenarkan. Menyatakan sebuah kepercayaan sebagai satu-satunya kebenaran menjadikan manusia intoleransi dalam menilai perbedaan.

Nietzsche memandang sebuah agama tidaklah benar dan salah. Artinya seseorang memang membutuhkan sebuah kepercayaan, namun bukan berarti manusia langsung menganggap kepercayaan tersebut sebagai kebenaran tunggal. Sifat kebenaran dalam sebuah agama bersifat relativ. Manusia memiliki otoritas dalam menganut sebuah nilai apapun dalam sebuah agama, tanpa menyalahkan orang lain. Ringkasnya Nietzsche menganggap, bahwa orang yang merasa dirinya benar termasuk orang yang masih terbelenggu, bahkan bersifat kekanak-kanakan.

Namun dalam realita sekarang ini, banyak kelompok islam konservatif memposisikan dirinya sebagai satu-satunya kelompok yang memiliki kebenaran. Ambil contoh ISIS, ISIS memposisikan sebuah kepercayaannya terhadap sebuah nilai, dengan serta menyalahkan kepercayaan kelompok lain. Mencita-citakan agam Islam secara frontal merupakan sebuah bentuk pendewaan terhadap sebuah nilai atau singkatnya sebuah idee fixe. Dampaknya ialah fanatisme yang berujung kekerasan, hingga pembunuhan.

Memandang fenomena ini, Nietzsche menyangsikan sebuah kematian tuhan. Tuhan tidak benar-benar dihayati oleh manusia. Justru manusia sendiri telah membunuh tuhan dengan cara memposisikan dirinya sebagai tuhan. Dalam sebuah ajaran agama, yang memiliki hak untuk membunuh ialah hak tuhan. Realitanya sekarang justru terorisme tumbuh subur di dunia, khsusunyaa di Indonesia. Lalu bagaimana seharusnya Indonesia yang memiliki pemerintahan, serta rakyat, dalam menyikapi hal ini?

Terorisme dan Indonesia

Manusia dalam bertindak selalu didasarkan pada sebuah kepercayaan pada sebuah nilai. Terorisme berakar pada fiksasi sebuah kebenaran yang dijadikan dasar dalam bertindak. Idee fixe menjadi sebuah awal dari terbentuknya sebuah tindak anarkis. Tanpa mementingkan sebuah kemanusiaan, kekerasan menjadi sebuah cara untuk mempertahankan kebenaran tunggal tersebut.

Maka seharusnya orang beragama harus mampu memahami relativita suatu kebenaran, bahwa tidak ada kebenaran yang paling benar. Dalam fenomena ini pemuka agama harus turut andil dalam mengkampanyekan toleransi antar umat beragama.

Pemerintah sebagai salah satu pihak yang berpengaruh dalam menentukan sebuah kebijakan, harus membentuk sebuah produk hukum yang mampu menjadikan sebuah dasar bagi aparat hukum untuk melakukan pencegahan. Jangan sampai pemerintah bertindak setelah terjadi peistiwa tanpa ada kewaspadaan, atau antisipasi sebelum peristiwa terjadi.

Melalui pendataan kelompok-kelompok yang ada di Indonesia, serta penindakan terhadap kelompok yang memiliki potensi mengancam stabilitas keamanan Indonesia. Serta melalui edukasi terhadap masyarakat tentang perlunya menghindari ajaran yang berdampak terorisme, perlu untuk dilakukan pemerintah, sehingga masyarakat memiliki budaya tabayun dalam masyarakat seharusnya tidak mudah percaya dalam menghadapi hal-hal yang mencurigakan. Karena bagaimanapun sebuah tindak kekerasan, apabila tidak memiliki masa, maka tidak akan memiliki dampak yang massif.

Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.