Jumat, Maret 29, 2024

New Normal, Perjudian Negara Menghadapi Pandemi

Almer Sidqi
Almer Sidqi
Wartawan

Sebulan sebelum kasus terinfeksi COVID-19 pertama di Indonesia, Menteri Kesehatan, Terawan Agus Putranto, secara terbuka menyangkal riset Universitas Harvard yang mengatakan bahwa virus corona seharusnya sudah masuk ke Indonesia. Menurut Terawan, proses pemeriksaan lalu lintas orang yang keluar-masuk dari luar negeri dilakukan dengan ketat sehingga kecil kemungkinan corona bisa masuk ke Indonesia.

Segera setelah betul-betul kejadian bahwa corona telah benar-benar hadir di Jakarta, sekaligus membuktikan bahwa Terawan keliru, negara melakukan hal yang sama: mengabaikan para ahli kesehatan yang menganjurkan agar negara segera melaksanakan karantina wilayah.

Negara enggan menggunakan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan yang mencantumkan bahwa setiap warga negara mempunyai hak mendapatkan kebutuhan medis, kebutuhan pangan, dan kebutuhan kehidupan sehari-hari lainnya selama karantina, dan negara berkewajiban untuk menyediakannya.

Wacana “new normal” atau kenormalan baru, sekali lagi, juga menjadi bukti bahwa negara menutup telinga dari para ahli kesehatan. Tatanan baru ini, seperti kata presiden, merupakan upaya agar kita berdamai dengan pandemi.

Kita tahu, dokter manapun di dunia ini, tidak akan pernah menganjurkan pasiennya untuk berdamai dengan sakit jantung, diabetes, atau asam urat sekalipun, yang mereka derita. Dengan cara yang sama: tidak ada dukun yang tega agar pasiennya berdamai dengan kiriman santet, teluh, ataupun pelet yang mereka terima.

Beberapa pekan lalu, tagar #IndonesiaTerserah menjadi respons dari para tenaga medis atas berbagai peristiwa tidak waras yang dilakukan oleh sebagian warga ibu kota yang mengabaikan pembatasan sosial—salah satunya dipicu kerumunan orang pada penutupan gerai McD Sarinah.

Kemunculan tagar tersebut sangat beralasan: sektor kesehatan kita bermutu rendah, fasilitas rumah sakit kita minim, dan tenaga medis yang sangat sedikit, sehingga wajar apabila tenaga medis kita sedikit terpukul, bahkan terluka, atas musibah yang menimpa mereka, sementara sebagian orang dengan khusyuk menangisi gerai waralaba.

Litbang Kompas mencatat bahwa jumlah tenaga medis untuk penanganan COVID-19 mencapai 159.720 orang untuk melayani seperempat miliar manusia yang ada di Indonesia. Jumlah tersebut terdiri dari tenaga ahli, 19.649 orang, dan perawat, 140.071 orang.

Faktanya diperparah bahwa 98,9% tenaga medis tersentralisasi di Jawa, dan 1,1% sisanya menyebar di luar Jawa. Orang-orang itu, para tenaga medis, berjuang di garis depan, bertaruh nyawa, dan memisahkan diri dari keluarganya sendiri, tetapi, di sisi lain, pemerintah tidak tegas dalam menjalankan hukum yang berlaku, dan masyarakat yang tidak mempedulikan perkara ini.

Kebijakan di sektor ekonomi, melalui berbagai stimulus, juga tidak berbuah ranum. Pengambilan keputusan semata-mata didasari pada spekulasi pasar; bahwa tingkat konsumsi akan menurun, maka dibutuhkan stimulus dari negara untuk para pengusaha.

Bantuan langsung tunai yang diberikan kepada masyarakat di tataran paling bawah bahkan didasari asumsi bahwa hal tersebut dapat mendongkrak daya beli. Tatanan baru tidak lepas dari pertimbangan ekonomi semacam ini; bahwa pasar jauh lebih penting ketimbang nyawa manusia. Bahkan, hal pertama yang dilakukan presiden untuk memastikan kenormalan baru ini berjalan mulus adalah dengan menyambangi salah satu mal di Bekasi.

Sebagian orang mungkin mengatakan bahwa virus corona juga turut berhasil memporak-porandakan Eropa dan Amerika, dan menjadi sangat wajar apabila Indonesia turut terdampak pada taraf yang mengkhawatirkan. Pikiran seperti itu keji, dan sudah pasti dibangun dengan logika sungsang.

Apakah batas kewajaran harus bertumpu kepada Barat? Vietnam telah berhasil membuktikan bahwa dampak bisa diminimalisir dengan langkah-langkah yang cepat dan kongkret tanpa harus menunggu negara-negara Barat pulih terlebih dahulu, apalagi berharap agar mereka segera menemukan vaksin, sebagai parameter keberhasilan manusia dalam membasmi virus.

Serangkaian kegagapan yang melanda pemerintah kita tidak lain hanyalah bukti bahwa kita tidak memiliki pilihan apa-apa selain menyerah kepada keadaan. Masalah utama negara adalah bahwa mereka berjarak dengan para ahli kesehatan. Negara memperlakukan berbagai anjuran yang dikemukakan ilmuwan sebagai rumor belaka. Dan, sejatinya sebuah rumor, maka tidak perlu dipercaya.

Kita perlu mempertanyakan kembali apa dasar yang diambil ketika negara memutuskan untuk menerapkan kenormalan baru di saat kurva semakin meninggi, rumah sakit mulai kewalahan, dan warga negara yang semakin abai terhadap pandemi. Jika tatanan kenormalan baru ini gagal maka yang akan menjadi pertaruhan utamanya adalah para tenaga medis itu sendiri, dan kerusakannya hanya akan memperburuk sektor kesehatan yang semestinya menjadi garda terdepan dalam peperangan melawan virus.

Bagaimanapun, pandemi telah berhasil mencabut kehidupan normal lama kita, dan, meminjam istilah Martin Suryajaya, menjadi game changer yang mengubah keseluruhan tata permainan masyarakat modern.

Slavoj Zizek, di bukunya yang paling anyar: Pandemic! COVID-19 Shakes the World tidak menyangkal bahwa kenormalan baru sudah pasti menanti kita, tentu dengan pemahaman yang berbeda: suatu usaha untuk menciptakan konstruksi kehidupan yang baru, yang didasarkan pada kesadaran bahwa krisis ekologi, yang diakibatkan oleh kapitalisme global, memungkinkan berbagai mikro-parasit yang berada di hutan-hutan terdalam merangsek masuk ke kota-kota besar.

Mengutip Bruno Latour: bahwa virus corona adalah “gladi bersih krisis berikutnya, krisis di mana reorientasi kondisi kehidupan akan dianggap sebagai tantangan bagi kita semua, seakan semua detail kehidupan sehari-hari harus kita pelajari untuk memecahkan persoalan dengan hati-hati.” Kenormalan baru oleh karenanya tidak dapat disangkal, meski berpotensi menciptakan barbarisme baru dalam penyelenggaraan kenegaraan.

Namun, dalam konteks Indonesia saat ini, jika tidak mempertimbangkan berbagai prakondisi yang seharusnya dicapai terlebih dahulu, dan tetap memaksakan tatanan ini berlaku adalah sebuah upaya bunuh diri massal. Wacana kenormalan baru sesungguhnya dibangun atas prasyarat yang tidak menguntungkan, dan lebih cocok dianggap sebagai perjudian ketimbang perhitungan yang akurat maupun pertimbangan yang bertanggungjawab. Kita sedang tidak baik-baik saja, dan kenormalan baru bahkan tidak membuatnya menjadi sedikit lebih baik.

Pandemi turut membuktikan bahwa seluruh aspek yang coba dibangun, diprioritaskan, dan diproyeksikan oleh negara selama ini rapuh belaka. Para elite negara mungkin akan lebih senang jika para investor menanamkan modalnya di negeri ini, membuka pabrik sebanyak mungkin, dan meminta rakyatnya untuk menerima pekerjaan yang telah disediakan. Namun, ketika semua itu diguncang oleh wabah, negara memaksa agar rakyatnya meminggir, dan mempersilakan para pemilik modal untuk menyelamatkan dirinya terlebih dahulu.

Almer Sidqi
Almer Sidqi
Wartawan
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.