Sabtu, April 27, 2024

New Normal dan Cengkeraman Kapitalisme

Fransiskus Raenputra
Fransiskus Raenputra
Mahasiswa Sosiologi FISIP Universitas Airlangga

Masyarakat di era postmodern ditandai dengan kaburnya batasan antara kebutuhan dan keinginan. Tindakan-tindakan yang sebenarnya adalah keinginan dianggap sebagai kebutuhan.

Pada dasarnya, sederhana saja perbedaan antara kebutuhan dan keinginan. Kebutuhan menyangkut kontinuitas dalam mana apabila tidak terpenuhi maka kelangsungan hidup akan terancam. Makan adalah contohnya. Sebaliknya, keinginan menyangkut temporer yaitu apabila tidak terpenuhi keberlangsungan hidup tidak akan terancam. Membeli pakaian baru adalah contohnya.

Fenomena kaburnya batasan antara kebutuhan dan keinginan ini terjadi akibat ekspansi kapitalisme begitu masif yang menciptakan nilai-nilai baru dalam kehidupan masyarakat. Rasa percaya diri, modis, modern dan rasa minder, kuno, kolot adalah nilai-nilai yang dibawa kapitaslime ketika seseorang menggunakan atau tidak menggunakan produk yang dijual di pasar.

Dengan kata lain, kapitalisme bekerja dengan tidak menawarkan fungsi tunggal terhadap produk yang dijualnya, tetapi juga dengan fungsi kedua. Fungsi kedua dari produk ini adalah fungsi sosial karena mampu memberi definisi atau tanda terhadap orang yang memakainya. Seseorang yang memakai baju keluaran terbaru tidak hanya untuk menutup tubuh, tetapi juga untuk menunjukkan status sosial atau dari kelas sosial mana ia berasal. Status sosial dan kelas sosial yang direpresentasi oleh baju yang digunakan itulah fungsi sosial dari sebuah produk.

Ketika nilai-nilai yang dibawa kapitalisme itu berdampak dalam mendefinisikan diri seorang individu, maka pemenuhan terhadap nilai-nilai itu dianggap sebagai kebutuhan. Batas antara kebutuhan yang asli dan kebutuhan yang palsu telah menjadi begitu cair.

Kesatuan yang tak terpisahkan antara yang asli dan yang palsu inilah yang disebut oleh filsuf Jean Baudrillard sebagai simulacra yaitu sebuah dunia yang terbangun dari sengkarut nilai, fakta, tanda, citra, dan kode (Suyanto, 2017:206). Atas dasar itu, maka seakan menjadi masuk akal apabila seseorang rela mengeluarkan uang yang begitu besar hanya untuk mengonsumsi produk terbaru yang keluar di pasar demi meningkatkan harga dirinya di mata orang-orang di sekitarnya.

Perilaku konsumsi masyarakat selama ini

Sebelum pandemi covid-19 muncul, mal-mal sangat ramai didatangi oleh pengunjung. Berbelanja menjadi gaya hidup dari masyarakat, terlebih khusus masyarakat kelas atas dan menengah. Seiring dengan munculnya berbagai produk baru di pasar, sifat konsumerisme masyarakat juga semakin tinggi yakni perilaku membeli barang tanpa kontrol. Perilaku konsumerisme itu terjadi karena masyarakat hidup dalam dunia simulacra, yang hemat saya adalah bentuk diperbudaknya masyarakat oleh kapitalisme. Masyarakat menghamba tak berdaya berhadapan dengan cengkeraman kuat kapitalisme.

Fenomena mal-mal yang sangat ramai didatangi pengunjung itu berhenti akibat munculnya virus corona. Pemerintah mengeluarkan kebijakan  sosial distancing, physical distancing, dan PSBB yang membuat aktivitas di luar rumah dari masyarakat menjadi terbatas. Banyak mal kemudian ditutup akibat sepinya pengunjung dan sebagai respons terhadap kebijakan pemerintah agar ruang-ruang publik dibatasi operasinya.

Fenomena mal-mal yang ditutup itu menyiratkan bahwa keberadaan pandemi covid-19 berdampak pada hadirnya sebuah kondisi yang memberi kesempatan bagi masyarakat untuk sedikit membebaskan diri dari cengkeraman kuat kapitalisme.

Dikatakan sedikit karena masyarakat masih mampu membeli berbagai produk kapitalisme secara non-fisik atau online. Pandemi covid-19 menyebabkan masyarakat sedikit terbebaskan dari dunia simulacra karena upaya setiap individu untuk menampilkan diri sedemikian rupa menggunakan aksesoris kapitalisme di hadapan orang lain menjadi berkurang akibat terbatasnya interaksi sosial dengan orang lain.

Masih terus menghamba kepada kapitalisme?

Pemerintah telah menyatakan bahwa masyarakat akan hidup dalam sebuah kondisi new normal atau keadaan baru. New normal atau kenormalan baru adalah konsep yang menjelaskan tatanan baru yang akan dihidupi oleh masyarakat di tengah pandemi covid-19 yang belum mereda secara signifikan. Masyarakat akan kembali beraktivitas di ruang-ruang publik tetapi dengan mengikuti protokol kesehatan.

Memang apabila melihat kasus corona yang masih terus bertambah di Indonesia, new normal idealnya belum layak untuk diterapkan. Risikonya besar. Dasar dari kebijakan new normal ini adalah agar perekonomian yang adalah sektor fundamental bagi keberlangsungan hidup masyarakat dapat digenjot kembali pemulihannya. Dapat diyakini berbagai pusat perbelanjaan seperti mal akan dibuka kembali karena aktivitas masyarakat di ruang-ruang publik dilonggarkan.

Era new normal ini sebenarnya adalah ujian bagi masyarakat terhadap cengkeraman kapitalisme. Dalam kondisi kasus corona yang belum menurun secara signifikan, apakah masyarakat akan menahan dirinya tidak pergi ke mal untuk membeli barang-barang yang pada dasarnya hanyalah keinginan sebagaimana yang biasa dilakukan masyarakat sebelum virus corona muncul? Manakah yang akan lebih diutamakan masyarakat, kehidupannya atau pemenuhan keinginannya yang sifatnya sementara?

Di era new normal akan ada fenomena yang memberi pelajaran baru bagi manusia. Apabila aktivitas belanja masyarakat secara langsung tidak intensif seperti sebelum pandemi corona muncul, berarti masyarakat berani untuk berhenti sejenak menghamba di hadapan kapitalisme karena mereka mengutamakan arti dan harga dari hidup mereka.

Sebaliknya, apabila aktivitas berbelanja secara langsung dari masyarakat tetap intensif, berarti daya tarik kapitalise telah merobohkan arti dan harga dari hidup seorang manusia. Manusia rela mempertaruhkan nyawanya untuk meladeni kebutuhan ilusi yang diciptakan oleh kapitalisme.

Jika demikian yang terjadi, maka terpenuhilah keresahan Alexis de Tocqueville tentang pasar yang menciptakan kondisi di mana “raganya bebas, tapi jiwanya telah diperbudak” (Latif, 2019:493)—Karena manusia sudah sulit mengontrol dirinya secara kuat dan otonom di hadapan kapitalisme.

Fransiskus Raenputra
Fransiskus Raenputra
Mahasiswa Sosiologi FISIP Universitas Airlangga
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.