Jumat, April 26, 2024

New Normal dan Ancaman Gelombang Kedua

Wacana kebijakan new normal dengan norma kehidupan baru atau nilai baru yang beradaptasi dengan keberadaan virus Covid 19, menjadi langkah relaksasi dari kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar ( PSBB ) yang telah berjalan selama tiga bulan terakhir, rencana yang sangat membutuhkan disiplin tinggi dalam melaksanakan protokol kesehatan, baik dari masyarakat dan semua pihak

Berdasarkan protokol WHO untuk pemberlakuan kebijakan New Normal, ada beberapa persyaratan minimum, seperti Negara yang bersangkutan telah mampu mengendalikan proses transmisi Covid-19, sistem kesehatan Negara terbukti memiliki kemampuan untuk melakukan identifikasi, isolasi, menguji dan melacak kontak person terjangkit atau diduga terjangkit untuk dikarantina, dan pengurangan risiko wabah dengan melakukan pengaturan ketat posisi fisik berjarak yang di Indonesia dikenal dengan istilah PSBB.

Salah satu alasan yang disampaikan pemerintah adalah pertimbangan bahwa hingga saat ini, belum ada ditemukan vaksin atau obat Covid 19, sementara kegiatan ekonomi sangat memerlukan kepastian dan telah berhenti cukup lama lama, New Normal diharapkan menjadi upaya dalam menekan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan kembali membangkitkan industri serta produksi khususnya oleh UMKM.

Berdasarkan penyampaian Gugus Tugas Covid 19, saat ini ada 102 daerah yang diizinkan untuk menerapkan New Normal, sebagai langkah strategi keluar [exit-strategy] dari situasi kebuntuan dengan membuka kembali kegiatan ekonomi secara terbatas, karena jika kebuntuan ekonomi terus berlanjut, dikhawatirkan akan memunculkan ancaman resesi ekonomi, yang pemulihannya akan jauh lebih sulit dan berat.

Kedisiplinan sebagai tantangan terberat 

Belajar dari tiga bulan terakhir penganganan Covid 19 di Indonesia, persoalan terberat yang dihadapi, justru adalah kedisiplinan yang merupakan prasyarat utama dari pola kehidupan New Normal, jika melihat proses pelaksanaan protokol kesehatan baik di daerah yang melakukan Pembatasan Sosial Skala Besar ( PSBB ) maupun yang hanya menerapkan “ physical-social distancing “ maka dapat dikatakan merupakan cermin buruk dari kedisiplinan di hampir di semua daerah dan level pemerintahan.

Belum lagi penggunaan terminologi New Normal sebagai pola peradaban baru yang banyak belum dipahami masyarakat secara utuh, terutama tentang pengertian, tahapan dan praktek yang harus dijalankan, terminologi yang sangat memungkinkan terjadinya miskomunikasi, miskoordinasi hingga salah pemahaman oleh masyarakat, yang mungkin akan mengakibatkan pengabaian protokol kesehatan karena tak paham.

Persoalan ketidakpahaman tentunya akan mempersulit masyarakat untuk di gerakkan, padahal salah satu kunci keberhasilan penerapan New Normal adalah partisipasi masyarakat yang sangat ditentukan oleh tingkat pemahamannya. Diluar persoalan sanksi yang selalu dikedepankan dalam hampir setiap pengambilan kebijakan, maka seharusnya seluruh terminologi yang digunakan adalah dalam konteks menempatkan rakyat sebagai subyek dan bukan sekadar obyek permasalahan

Belajar dari penggunaan terminologi sebelumnya seperti ‘physical-social distancing’ yang bisa dikatakan gagal dipahami masyarakat dalam waktu cepat, maka sangat diperlukan kepekaan pemerintah untuk mendekatkan kebijakan dengan ragam sosial-budaya yang mudah ditangkap dan dicerna masyarakat.

Dengan strategi komunikasi publik yang efektif dan massif, serta gampang diserap atau dipahami masyarakat beragam latar pendidikan, budaya dan tingkat pengetahuan, sekaligus menghindari mispersepsi kebijakan antara pemerintah dan masyarakat adalah penting.

Terutama terkait dengan seluruh skenario dan panduan kegiatan yang sangat memungkinkan hadirnya keramaian dan terjadinya kontak fisik seperti di kantor, pabrik, sekolah, mall, dan lainnya, sampai pada pelaksanaan simulasi dan sosialisasi yang intensif kepada masyarakat agar bisa menerima program new normal tanpa menimbulkan prasangka yang tidak perlu.

Dalam hal ini, tanpa perlu memberi sejumlah contoh, pada tingkat pelaksanaan bisa dikatakan setengah gagal atau masih jauh dari harapan, bahkan beberapa Kota seperti Medan hingga Nasional, sampai ini tetap mengalami penambahan kasus dan trasmisi Covid 19 yang cukup sigifikan.

Maka sebelum mengeluarkan kebijakan New Normal, pemerintah wajib memperhatikan persoalan sangat rendahnya kesadaran dan pemahaman masyarakat tentang kewajiban menjalankan protokol kesehatan, seperti penetapan jarak fisik, penggunaan masker, penyediaan fasilitas cuci tangan, sebagai prasyarat, termasuk fasilitas untuk melakukan tracking hingga fasilitas kesehatan yang belum memadai.

Karena kalau mau di akui secara jujur, segala prasyarat dan protokol kesehatan yang dijadikan acuan, dan disandingkan dengan tingkat kepatuhan masyarakat yang masih rendah, maka upaya pemerintah untuk menghidupkan perekonomian sekaligus menanggulangi penularan Covid-19 lewat kebijakan New Normal sangat mungkin berpotensi gagal.

Efektivitas Komunikasi dan Perencanaan yang matang

Kalaupun New Normal kemudian menjadi pilihan dan harus dipaksakan, maka memastikan munculnya persepsi yang sama kepada publik adalah langkah pertama yang harus diambil oleh Pemerintah, hal ini sangat ditentukan dengan keselarasan kebijakan dari Presiden, Kementerian, Lembaga Negara hingga ke level Pemerintah terdepan.

Prioritas kedua adalah melibatkan sebanyak mungkin elemen masyarakat untuk melakukan perencanaan, edukasi dan himbauan, untuk mencapai kematangan dalam penerapan kebijakan, sehingga kesadaran dan pemahaman dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat, diluar rencana pengawasan yang melibatkan TNI/POLRI dan segala sanksi bagi pelanggar aturan.

Dan yang terakhir adalah memastikan seluruh elemen dan variabel, hingga sistem monitoring dan evaluasi yang ketat dan memiliki integritas yang mumpuni sebagai penentu keberhasilan dan prasyarat utama, untuk mencapai target, menjamin kesehatan masyarakat dan keamanan masyarakat untuk dapat kembali produktif, sebagai langkah membangkitkan perekonomian nasional di tengah kondisi pandemi virus Corona (Covid-19).

Karena kebijakan New Normal ibarat dua mata pisau yang bisa memberikan efek  perbaikan ekonomi, namun disisi lain juga bisa memperburuk penanggulangan pandemi Covid 19, dan kebijakan tentunya harus menghindari istilah “ the survival of the fittest “ di mana yang kuat yang bertahan.

Kebijakan New Normal yang direncanakan haruslah bersandar pada titik temu kepentingan kesehatan dan kepentingan ekonomi, karena merupakan elemen yang saling terkait erat dan tidak bisa saling menafikan. Karena itu sangatlah penting untuk melakukan perencanaan yang matang, komunikasi publik yang efektif, fasilitas kesehatan dan tracking yang memadai, serta kedisiplinan dan integritas semua pihak sebagai stimulan utama, kalau tidak mau munculnya gelombang kedua dari badai pandemi Covid 19.

Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.