Rabu, April 24, 2024

Netralitas ASN dalam Pilkada 2020

Bahrur Rosi
Bahrur Rosi
Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Jayabaya Jakarta

Setelah usai hiruk-pikuk penyelenggaraan pemilu serentak 2019 yang pertama kali dalam sejarah bangsa, kini masyarakat Indonesia kembali dihadapkan pada pesta demokrasi yang sama yakni pilkada serentak 2020.

Menurut data Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, pilkada serentak akan diselenggarakan di 270 daerah, dengan rincian 9 pemilihan gubernur, 224 pemilihan bupati, dan 37 pemilihan wali kota.

Pemilu 2019 bisa menjadi cerminan bersama bagaimana pilkada serentak 2020 akan terasa gegap gempitanya yang saat ini sudah mulai terasa. Selaian fokus pada bagaiman para kontestan akan bertarung, yang tidak kalah pentingnya adalah memperhatikan bagaimana para pendukung dan simpatisan dari masing-masing calon kepala daerah bekerja untuk memenangkan kandidatnya.

Salah satu persoalan mendasar dan klasik setiap kontestasi pesta demokrasi adalah netralitas birokrasi dan ASN dalam pilkada serentak 2020. Selain hoaks dan politik uang, netralitas ASN juga bisa menjadi duri dalam sekam yang dapat merusak iklim pesta demokrasi dan bukan merupakan pendidikan politik yang baik. Abdi negara memang dituntut untuk menjaga netralitasnya dalam setiap pemilu maupun pilkada.

Ternyata hingga pada saat ini setiap berlangsungnya kegiatan pemilu dan pilkada selalu diwarnai oleh maraknya pemberitaan tentang pelanggaran netralitas oleh pihak Aparatur Sipi Negera. Hal ini berarti bahwa akan persoalan netralitas belum terjawab dan dapat diasumsikan bahwa pemerintah masih kesulitan menemukan formulasi yang tepat untuk menjawab problematika netralitas.

Momentum pilkada yang terjadi seperti ini akan mengakibatkan birokrat berada pada posisi dilematis. Setiap pasangan calon pasti memiliki ikatan terhadap birokrat yang berada di bawah kepemimpinan pasangan calon. Saat ini para birokrat sedang dihadapkan pada situasi politik antara mendukung atau tidak mendukung. Memihak pada salah satu pasangan calin jelas akan melanggar aturan.

Perilaku partisan atau ketidaknetralan ASN dalam demokrasi elekterola sesungguhnya merupakan penyakit lama dalam praktik demokrasi di Tanah Air. Perilaku partisan atau ketidaknetralan ASN merupakan problem sistemik, terutama pada masa kekuasaan Orde Baru. Pada saat itu, sumber daya birokrasi pemerintahan; yang didalamnya terdapat para PNS;dimobilisasi secara terstruktur, sistemasi, dan masif untuk menjaga kepentingan kekuasaan, termasuk dalam memenangkan kepentingan politik rezim.

Regulasi Netralitas ASN

Regulasi terkait netralitas ASN dapat kita temukan dalam peraturan perundang-undangan, berbagai kerangka hukum yang berisi tentang netralitas ASN dalam Pilkada khususnya baik pada konteks legislasi maupun regulasi. Pada konteks regulasi, Pertama UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN Pasal 9 ayat (2) mengatur bahwa ASN harus bebas dari pengaruh dan intervensi semua golongan dan partai politik.

Kedua, UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihn Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi Undang-Undang. Pasal 70 ayat (1) huruf b dan Pasal 70 ayat (1) huruf c melarang pasangan calon dalam kamapnye melibatkan ASN, anggota Kepolisian dan TNI serta Kepala Desan atau sebutan lain/lurah dan perangkat desa atau sebuatn lain/perangkat kelurahan.

Demikian pula Pasal 71 ayat (1) yang melarang pejabat negara, pejabat daerah, pejabat ASN, anggota TNI/Polri, kepala desa atau sebutan lain/lurah membuat keputusan dan atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon.

Ini diperkuat lagi dengan pasal 71 ayat (2) yang melarang Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Wali Kota atau Wakil Wali Kota dilarang melakukan penggatian pejabat 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapat persetujuan tertulis dari menteri, dan pasal 71 ayat (3) yang melarang kepala daerah petahana menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon baik di daerah sendiri maupun di daerah lain dalam waktu 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan penetapan pasangan calon terpilih.

Pasal 71 ayat (5) mengajukan ancaman sanksi tegas bagi kepala daearah petahana yang melanggar yakni pembatalan sebagai calon.

Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) Pilkada Serentak 2020

Senin, 25 Februari 2020 Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) merilis Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) dalam pilkada serentak 2020. Berdasarkan hasil penelitian Bawaslu, rata-rata penyelenggaraan pilkada di kabupatan/kota berada dalam kategori rawan sedang dan penyelenggaraan pilkada provinsi masuk dalam kategori rawan tinggi.

Dimensi-dimensi kerawanan pada tingkat kabupatn/kota memiliki skor rata-rata 51,56 yang masuk dalam kategori rawan sedang. Artinya, kerawanan pilkada di tingkat kabupaten/kota berada pada level 4 yang berarti lebih dari setengah indikator kerawanan berpotensi terjadi. Sedangkan pada pemilihan gubernur, sembilan provinsi yang menyelenggarakan pemilihan memiliki skor rata-rata skor 73,8 yang masuk dalam kategori tinggi, yang berarti hampir seluruh indikator kerawanan berpotensi terjadi.

Angka tersebut diambil dari pengukuran atas empat dimensi dan 15 subdimensi yang mencerminkan kerawanan penyelenggaraan pilkada. Empat dimensi yang diukur dalam IKP Pilkada 2020 adalah (1) dimensi konteksi sosial dan politik dengan subdimensi keamanan lingkungan, otoritas penyelenggara pemilu, otoritas penyelenggara negara, dan relasi kuasa di tingkat lokal; (2) dimensi pemilu yang bebas dan adil dengan subdimensi hak pilih, pelaksanaa kampanye, pelaksanaan pemungutan suara, ajudikasi keberatan pemilu, dan pengawasn pemilu; (3) dimensi kontestasi dengan subdimensi hak politik, proses pencalonan, dan kampanye calon; dan (4) dimensi partisipasi dengan subdimensi partisipasi pemilih, partisipasi partai politik, dan partisipasi publik.

Data IKP Pilkada Serentak 2020 yang sudah dirilis oleh Bawaslu, didapatkan bahwa indikator dominan IKP Pilkada Serentak 2020 per dimensi konteks sosial politik didapatkan bahwa ketidak netralan ASN berada dirangking teratas yang tersebar di 167 Kab/Kota artinya tersebar di separuh lebih kabupaten/kota yang akan menyelenggarakan pilkada. Putusan KASN terkait tidak netralnya ASN tersebar di 109 kabupaten/kota, dan mobilisasi ASN untuk mendukung calon tertentu berada 52 kabupaten/kota.

Data IKP yang dirilis oleh Bawaslu hendaknya menjadi perhatian khusus oleh berbagai pihak. Problem berulang dan tingginya praktik partisan atau ketidak netralan ASN dalam pilkada harus disudahi demi meningkatkan kualitas demokrasi lokal dan memberikan pendidikan politik yang baik bagi masyarakat.

Untuk mewujudkannya, hal yang paling mendasar adalah dibutuhkan komitmen yang nyata dari seluruh stakeholder pilkada untuk menjada dan memastikan seluruh abdi negara bersikap. Secara khusus bagi Bawaslu dapat meningkatkan dan memakasimalkan proses pencegahan dalam seluruh tahapan penyelenggaran pilkada 2020.

Bahrur Rosi
Bahrur Rosi
Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Jayabaya Jakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.