Masyarakat Indonesia dikenal dunia sebagai masyarakat yang ramah dan murah senyum. Namun agaknya, gambaran ini sedikit berbeda jika menyangkut masyarakat digital Indonesia. Awal tahun lalu Microsoft merilis sebuah hasil survei yang menyebut netizen Indonesia sebagai kelompok paling tidak sopan dalam bermedia sosial di antara negara Asia-Pasifik yang lain. Tentu saja penduduk maya Indonesia tidak terima dengan sebutan tersebut dan langsung menyerbu Microsoft yang mirisnya justru membenarkan hasil survei.
Jika diperhatikan dalam keseharian, akan banyak orang yang sepakat dan meng-iyakan hasil temuan Microsoft. Salah satu contoh yang masih hangat baru saja terjadi di mana supporter salah satu tim sepak bola ibu kota menyerang media sosial salah satu K-pop idol yang akan manggung di GBK.
Pendukung tim sepak bola yang tidak perlu disebutkan namanya merasa bahwa adanya konser tersebut mengakibatkan tim kesayangan mereka tidak jadi berlaga, sehingga untuk melampiaskan kekecewaan mereka pun membombardir akun resmi grup idol dari Korea Selatan tersebut. Perlawanan sengit pun diberikan oleh fans K-Pop Idol -yang juga tidak perlu disebut namanya- sehingga pertikaian komentar di media sosial instagram dan twitter pun terjadi. Saya berdoa semoga perselisihan ini berakhir damai dan tidak terbawa ke dunia nyata.
Contoh lain dapat ditemukan pada kasus GitSav yang menyampaikan pilihannya untuk child free. Netizen Indonesia yang tidak sepakat dengan opini Gita Savitri pun tanpa tedeng aling-aling langsung melontarkan komentar yang tidak menyenangkan bahkan menyerang. Kasus-kasus serupa juga kerap kita temukan di media sosial selebritis dan artis Indonesia yang penuh dengan komentar julid netizen. Fenomena ini menandakan bahwa netizen Indonesia bersumbu pendek yang sulit mengontrol emosi dalam hal berperilaku digital dan bermedia sosial.
Pertanyaan yang muncul adalah kenapa. Kenapa masyarakat kita yang dikenal ramah di dunia nyata memiliki tabiat yang 180 derajat berbeda ketika berada di dunia maya? Tulisan ini akan mencoba memberikan satu alasan dan penjelasan, bukan untuk membenarkan perilaku netizen, tetapi sebagai perluasan sudut pandang.
Pemanasan Global, Agresivitas, Privasi Identitas, dan Algoritma Media Sosial
Perilaku netizen Indonesia masuk kategori agresivitas verbal pada konteks online, karena dilakukan di media sosial. Menariknya, berbagai temuan penelitian mengungkapkan bahwa telah terjadi peningkatan perilaku agresivitas masyarakat dunia (secara offline maupun online) yang berkaitan dengan peningkatan suhu udara atau pemanasan global.
Kejadian konflik bersenjata di wilayah Afrika dan Timur Tengah lebih marak terjadi seiring dengan peningkatan suhu udara selama 3 (tiga) dekade terakhir (baca Helman & Zaitchik (2020) sebagai rujukan). Agresivitas di dunia maya juga meningkat seiring dengan peningkatan suhu udara, yang dibuktikan oleh temuan Stechemesser dkk. (2022) di Amerika Serikat di mana telah terjadi lonjakan jumlah tweets berisi ujaran kebencian ketika suhu ekstrem panas dibandingkan pada suhu normal.
Pasti akan banyak yang bertanya bagaimana peningkatan suhu udara dapat memicu perilaku agresivitas seseorang. Sebenarnya, terdapat 3 jalur untuk menjelaskannya yaitu secara langsung, tidak langsung, dan dampak jangka panjang. Namun di sini saya hanya akan menjelaskan sistematika pertama yang saya rasa paling cocok untuk fenomena ini.
Pemanasan global atau peningkatan temperatur udara dapat secara langsung mempengaruhi perilaku agresif karena memicu peningkatan produksi adrenalin di otak. Orang yang mengalami peningkatan produksi adrenalin akan cenderung lebih mudah terprovokasi dan bertindak agresif.
Panas udara yang tinggi juga menimbulkan ketidaknyamanan secara fisik sehingga membuat seseorang lebih cepat marah dan cenderung memiliki pikiran negatif kepada orang lain. Kondisi ini ditambah perlindungan privasi yang memungkinkan menutupi identitas asli akan semakin memberikan kenyamanan pada netizen untuk berujar dan berkomentar semau jidat di media sosial orang.
Anonimitas yang disediakan oleh media sosial selayaknya pisau bermata dua. Di satu sisi memberikan jaminan keamanan karena melindungi privasi masyarakat maya. Tetapi di sisi lain, anonimitas ini dimanfaatkan secara keliru oleh mereka yang ingin menyebarkan berita bohong, ujaran kebencian, perundungan, atau bentuk kejahatan online lain tanpa diketahui identitasnya. Akhirnya membuat para netizen julid merasa bebas berpendapat tanpa batas tanggung jawab karena merasa aman dan tidak akan ketahuan.
Selain itu, para pelaku agresivitas verbal di media sosial juga diuntungkan dengan algoritma digital yang mengumpulkan netizen toxic menjadi satu. Algoritma digital akan mengarahkan pengguna media sosial sesuai preferensi dan aktivitas serupa yang dilakukan.
Komentar, like, ataupun aktivitas berbagi yang dilakukan netizen julid tidak akan jauh dari preferensi maupun aktivitas sebelumnya yang akhirnya mengumpulkan mereka menjadi koloni. Pemahaman bahwa mereka tidak sendirian akan menjadi dorongan dan penguat bagi netizen julid untuk memberikan komentar negatif tanpa mengindahkan batas-batas norma dan kesopanan.
Proyeksi Masa Depan Netizen Indonesia
Indonesia merupakan salah satu negara yang rawan mengalami dampak pemanasan global. Laporan dari World Bank Group & Asian Development Bank pada tahun 2021 menempatkan Indonesia sebagai negara paling rentan terhadap gelombang panas ekstrem di akhir abad ke-21. Kondisi ini akan menambah ketidaknyamanan pada masyarakat Indonesia akibat suhu udara panas yang semakin meningkat. Dampaknya, mengacu pada penjelasan sub-bab sebelumnya, netizen Indonesia akan semakin berisiko untuk melakukan agresivitas sebagai pelarian dari rasa tidak nyaman yang dirasakan.
Media sosial sebagai wadah relasi interpersonal menyediakan ruang bagi netizen untuk meluapkan emosi tanpa takut dihakimi dan dipersalahkan di dunia nyata. Sehingga jangan heran apabila ke depan akan semakin banyak netizen Indonesia yang membanjiri media sosial untuk “berkeluh kesah” yang sayangnya kerap menyinggung orang lain. Media sosial akan bisa berubah sepenuhnya menjadi tempat orang mengeluarkan unek-unek terpendam dan ruang untuk menampakkan persona yang tidak bisa diperlihatkan di dunia nyata.
Literasi semata tidak akan cukup jika akar permasalahan tidak hanya pada pengetahuan dan kebijaksanaan bermedia sosial, tetapi berasal dari ranah yang lebih besar. Tindakan berkesinambungan perlu dilakukan, satu sisi untuk meningkatkan kesadaran bermedia sosial yang beretika bagi netizen, dan di sisi lain aksi kolektif untuk mencegah pemanasan global semakin memburuk. Tindakan kedua merupakan tanggung jawab bersama pemerintah dan masyarakat Indonesia secara keseluruhan.
Daftar Pustaka
Helman, D., & Zaitchik, B. F. (2020). Temperature anomalies affect violent conflicts in African and Middle Eastern warm regions. Global Environmental Change, 63(July 2019). https://doi.org/10.1016/j.gloenvcha.2020.102118
Stechemesser, A., Levermann, A., & Wenz, L. (2022). Temperature impacts on hate speech online: evidence from 4 billion geolocated tweets from the USA. The Lancet Planetary Health, 6(9), e714–e725. https://doi.org/10.1016/S2542-5196(22)00173-5