Pada suatu hari yang cerah, seorang anak lelaki kumuh masuk ke dalam angkutan kota. Penampilan tadi membuat penumpang lain menjadi was-was. Memakai topi yang seperti sudah lama tak dicuci, berpadu dengan banyak sisa lem yang menempel di wajah dan tangan si anak lelaki ini.
Setelah beberapa meter berjalan, anak lelaki itu mengeluarkan sebuah lem aibon dan menghisap tanpa menghiraukan kehadiran penumpang lain. Hisapan demi hisapan terus dilakukan anak lelaki ini, berpadu dengan tatapan risih penumpang lain.
Cerita anak pecandu lem aibon di atas, merupakan satu cerminan kecil potret buram generasi “anak zaman now” perkotaan yang terbuai dalam dunia anak jalanan. Kerasnya hidup dijalanan memberikan andil lahirnya generasi anak lem tadi. Aroma lem aibon bagi anak tadi, mungkin seperti hiburan murah di tengah kehidupan perkotaan yang memang kian menjauh dari nilai-nilai moral, hukum dan lokal.
Fenomena anak lem tadi jika ditelusuri, merupakan sindrom umum yang tengah melanda kehidupan masyarakat. Hamparan jalan yang mulus pada angkutan kota tadi, pada akhirnya tidak menjamin dapat memberikan hamparan rezeki bagi setiap penghuni jalanan tadi.
Indonesia pada beberapa tahun terakhir, sedang dibuai dengan pembangunan infrastruktur. Baik itu membangun bandara, pelabuhan, jalan dan tempat umum lainnya. Proyek besar yang seharusnya menjadi “jalan” untuk membangun peradaban baru, justru menyimpang dan menjadi “lem aibon” yang memabukan masyarakat.
Aroma lem aibon yang bernama proyek infrastruktur itu, membawa masyarakat Indonesia mabuk dan tidak sadar akan kemunduran satu langkah peradaban Indonesia. Dalam buaian lem aibon bernama infrastuktur, masyarakat tidak sadar akan hilangnya satu nilai berharga yang selama ini menjadi kekuatan bangsa ini, yaitu hilangnya nilai-nilai sosial masyarakat lokal.
Salah satu contoh proyek infrastuktur adalah dibangunnya proyek kereta cepat Bandung-Jakarta. Pembanguan proyek kereta cepat akan melahirkan ekonomi baru, tapi dari sisi lain, nilai-nilai lokal yang terhampar dari Bandung, Purwakarta, Bekasi dan Jakarta akan tertindih bersama kumpulan batu dan besi proyek kereta cepat.
Petani yang selama ini menanam padi dengan riang gembira, dipaksa pergi dan meninggalkan hijaunya padi disawah-sawah mereka. Bukan hanya itu, ikatan sosial yang sudah terbangun, hilang seiring dengan berubahnya sawah, rumah, masjid, sekolah menjadi proyek kereta cepat.
Berkaca pada kasus proyek infrastuktur lain yaitu bendungan Jatigede, masyarakat Jatigede yang kebanyakan petani, berubah dari masyarakat beradab berbasis nilai-nilai local dan agama menjadi masyarakat tak beradab tanpa nilai-nilai local. Hal ini bisa dilihat dari maraknya kasus pencurian, perampokan pasca perpindahan ke tempat baru. Perubahan ini dapat terjadi karena masyarakat mengalami kebingungan dengan budaya baru ditengah kebingungan identitas baru, pasca hengakang dari sawah-sawah mereka.
Bukan hanya hilangnya nilai-nilai local, ada bencana lain yang tidak disadari yaitu lahirnya bencana ekologis bagi masyarakat. Bencana ekologis merupakan bencana yang tak dapat terhindarkan, mulai dari banjir, longsor, kekeringan. Bencana ekologis ini akan mudah terjadi ketika terjadi perubahan pada bentang dan struktur alam.
Hilangnya area persawahan akan melahirkan 3 dampak langsung pada lingkungan hidup, yaitu berkurangnya tempat resapan air, bertambahnya daerah potensi yang akan terkena kekeringan dan degradasi kualitas kesehatan hidup bagi masyarakat.
Derita tak kasatmata ini, tak akan dirasakan dan disadari oleh masyarakat yang sedang mabuk akibat aroma lem infrastruktur. Aroma lem aibon ini membuat masyarakat hilang kesadarannya akan sesuatu yang sedang menghilang dibanyak tempat akibat proyek infrastruktur.
Layaknya anak lelaki dalam angkutan kota yang sedang menikmati lem aibon, masyarakat yang sedang mabuk karena kuatnya hegemoni dan dominasi proyek infrastruktur. Dan pada akhirnya lem aibon itu akan merugikan masyarakat sendiri.
Kini sindrom mabuk lem aibon ini akan kian meluas. Datangnya tahun politik pada 2018 dan 2019, secara tidak langsung akan memberikan tambahan “kaleng baru lem aibon” untuk “dikonsumsi” oleh masyarakat secara bersama-sama.