Indonesia adalah negara kesatuan yang berlandaskan hukum. Hukum dalam konteks Indonesia ini dimaknai dengan makna yang luas yakni hukum dapat berupa aturan- aturan yang berkaitan dengan norma- norma dan etika, hukum dapat pula berupa sebuah putusan yang dikeluarkan oleh seorang hakim di dalam sebuah sistem peradilan, atau bahkan bisa diartikan sebagai sebuah konstitusi dasar pembentukan sebuah negara. Konsep- konsep inilah yang kemudian secara tegas di jelaskan di dalam pasal 1 ayat 2-3 UUD 1945 yang berbunyi “ pasal 2 Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang- undang, pasal 3 Negara Indonesia adalah negara hukum.” Selain menganut asas negara hukum, Indonesia pun juga memilih sistem demokrasi sistem dianggap sistem yang paling pas digunakan untuk menjalankan roda pemerintahan yang berbasis aspirasi dari rakyat.
Dari kedua kutub keilmuan (politik dan hukum) inilah yang kemudian para founding fathers bangsa Indonesia beranggapan bahwa antara demokrasi dan nomokrasi/ hukum dapat disejajarkan dan posisinya pun saling mengalami timbal balik yang amat terasa. Dalam hal ini Prof Mahfud MD menjelaskan bahwa bila kita ingin melihat realitas politik dan hukum di Indonesia dapat dilihat dari beragam cara pertama dengan cara das sollen yakni hukum determinan atas politik karena pada hakikatnya setiap agenda politik di Indonesia ini harus tunduk pada aturan hukum yang berlaku, atau bentuk yang ketiga yakni politik dan hukum terdapat hubungan interdeterminan, politik tanpa hukum itu zalim dan hukum tanpa politik akan lumpuh. Dari pendapat ini dapat kita pahami secara sederhana bahwa hubungan politik dan hukum itu saling membutuhkan antar satu dengan yang lain. Maka tidaklah heran jika produk hukum undang-undang yang dikeluarkan oleh DPR, perda yang dikeluarkan oleh DPRD sarat bernuansa politik karena hukum tersebut merupakan sebuah kristalisasi dari perdebatan- perdebatan politik.
Hukum Dalam Amplop
Dari asumsi yang diungkapkan oleh Mahfud tersebut bila ditarik sebuah benang merah tampak sesuai dengan kondisi hukum saat ini, hukum kerap kali tunduk terhadap agenda agenda politik. Sebagai contoh di tahun 2008 terjadi penyuapan terhadap Jaksa Urip Tri Gunawan yang dilakukan oleh Artalyta Suryani (Ayin) dengan nilai yang cukup fantastis yakni sebesar Rp 6.000.000.000,- (enam miliar rupiah). Kasus ini mungkin adalah kasus yang cukup menggemparkan dunia hukum di era kepemimpinan Presiden SBY. Tidak hanya jaksa di kalangan hakim pun juga ikut melakukan hal yang demikian yakni menerima suap guna mempengaruhi atau bahkan merubah suatu putusan.
Publik tentu pasti masih ingat bagaimana kiprah Akil Mukhtar yang terjerat kasus korupsi dengan nilai yang sangat fantastis. Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi menyatakan, Akil terbukti menerima suap sebagaimana dakwaan pertama, yaitu terkait penanganan sengketa Pilkada Kabupaten Gunung Mas (Rp 3 miliar), Kalimantan Tengah (Rp 3 miliar), Pilkada Lebak di Banten (Rp 1 miliar), Pilkada Empat Lawang (Rp 10 miliar dan 500.000 dollar AS), dan Pilkada Kota Palembang (sekitar Rp 3 miliar).
Hakim juga menyatakan bahwa Akil terbukti menerima suap sebagaimana dakwaan kedua, yaitu terkait sengketa Pilkada Kabupaten Buton (Rp 1 miliar), Kabupaten Pulau Morotai (Rp 2,989 miliar), Kabupaten Tapanuli Tengah (Rp 1,8 miliar), dan menerima janji pemberian terkait keberatan hasil Pilkada Provinsi Jawa Timur (Rp 10 miliar).
Selain Akil kasus korupsi di lingkungan MK pun kembali terulang, Patrialis Akbar seorang hakim MK yang terbukti secara sah menerima hadiah dari Basuki Hariman dan Ng Feni. Basuki dan Feni adalah pemohon perkara nomor 129/PUU-XIII/2015 tentang uji materi UU no 41/2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Hadiah yang diberikan oleh Basuki dan Feni tersebut digunakan oleh Patrialis untuk mempengaruhi Hakim MK yang berbeda pendapat.
Dari kasus- kasus tersebut menunjukkan bahwa hukum di Republik Indonesia ini masih terbelenggu di dalam amplop- amplop yang bertebaran. Bukan hanya itu saja jual beli pasal di lingkungan DPR pun juga masih mewarnai dinamika hukum ketika harus berhadapan dengan politik. Legalitas dari putusan pengadilan kerap kali menjadi tameng bagi para pejabat yang melakukan tindakan korupsi, mereka masih bias leluasa berkeliaran bahkan tidak malu- malu untuk mengumbar senyum kepada publik. Secara hukum memang belum ditetapkan sebagai terdakwa, akan tetapi secara etika tidak bisa dibohongi bahwa seorang itu telah bersalah. Lantas pertanyaanya, apakah adanya amplop- amplop ini merupakan sebuah budaya di Indonesia?
Menjawab pertanyaan ini ada dua asumsi, asumsi yang pertama adanya amplop- amplop hukum ini bukanlah sebuah budaya. Akan tetapi adanya amplop ini dikarenakan kepanikan yang akut baik itu keluarga tersangka (dalam kasus pidana), atau dari pihak pemohon yang khawatir permohonannya ditolak (dalam perkara perdata, maupun uji materi di persidangan MK), sehingga menggunakan amplop ini sebagai pelicin di dalam perkara hukum. Sebastian Pompe seorang penulis buku The Indonesia Supreme Court, A Study of Institutional Collapse. Menulis bahwa kebiasaan amplop- amplop bertebaran di dunia peradilan ini dimulai semenjak tahun 1974 bersamaan dengan meletusnya peristiwa malari. Kala itu Presiden Soeharto mulai panik ketika kekuasaanya digoyang dan upaya mengkooptasi dunia peradilan dengan menggunakan kekuatan militer adalah solusinya supaya kekuasaan Presiden Soeharto tetap berdiri tegak.
Asumi yang kedua, kebiasaan amplop ini adalah sebagai budaya karena sudah sejak tahun 1974 ibarat kata sudah mengakar hingga ke setiap lini- lini di pemerintahan. Akan tetapi sekalipun ini sudah menjadi budaya bukan berarti ini tidak dapat dirubah. Budaya ini dapat dirubah jika ada sebuah konsistensi dan komitmen bersama antar rakyat dan pemerintah. Pemerintah wajib memberikan pendidikan anti korupsi sejak dini dan rakyat pun harus pro aktif memberi masukan kepada pemerintah terkait dengan kinerja pemerintah, menurut hemat saya layanan public yang transparan dan slogan- slogan anti korupsi di kantor- kantor pemerintahan sudah selayaknya menjadi bagian pendidikan karakter bagi masyarakat dan bukan hanya slogan kosong belaka. Dengan begitu budaya tersebut akan dapat diminimalisir dan bahkan dapat ditanggulangi.
Selain pendidikan, upaya membebaskan hukum dari jerat amplop-amplop ini juga menjadi tanggung jawab pemerintah penguatan lembaga yudiasial menjadi hal yang mutlak, KPK sebagai lembaga ad hoc dengan kuasi yudikatif pun juga harus menjadi perhatian bersama. Penambahan jumlah penyidik, pembukaan kantor- kantor KPK di dearah daerah adalah upaya pemberantasan dan pembebasan hukum dari belenggu- belenggu amplop seiring dengan pembukaan kamar peradilan Tipikor di lingkungan MA. Sebagai analoginya korupsi berkembang subur, maka negara akan semakin terkubur.