Beberapa waktu belakangan berseliweran di media sosial permintaan data donor plasma konvalesen untuk pasien covid-19. Dikutip dari website Palang Merah Indonesia, plasma konvalesen diberikan sebagai terapi pendamping pasien Covid-19 yang saat ini diyakini dapat meringankan dan membantu menyembuhkan pasien Covid-19.
Menurut obrolan dengan beberapa teman dokter, sampai saat ini belum ada terapi yang secara pasti dapat menyembuhkan pasien Covid-19. Oleh karena itu, beberapa peneliti mencoba berbagai metode yang pernah dilakukan untuk menangani pasien yang terinveksi virus pada masa-masa yang lalu.
Plasma konvalesen diperoleh dari orang yang pernah terinveksi (penyintas) virus SARS-Cov19. Plasma darah yang mengandung antibodi ini dimasukkan ke tubuh pasien dengan harapan akan memperkuat sistem imun pasien sehingga dapat melawan serangan virus. Dengan demikian diharapkan dapat mempercepat kesembuhan pasien.
Di sini saya menyoroti banyaknya permintaan donor plasma konvalesen di media sosial. Kenapa? Karena ternyata mencari donor di media sosial lebih cepat mendapat tanggapan, dan bahkan mendapatkan donor yang dimaksud. Padahal seperti kita tahu, virus ini sudah menginfeksi lebih dari tiga juta penduduk Indonesia dengan jumlah pasien sembuh lebih dari dua koma enam juta orang.
Dalam pikiran kita tentunya akan mudah mencari donor itu apabila ada data yang lengkap dan mudah diperoleh dari dua koma enam juta orang penyintas Covid-19 tersebut dari pihak-pihak yang berwenang. Namun ternyata tidak semudah itu.
Palang Merah Indonesia sebagai instansi yang mengurusi masalah donor darah ternyata lebih sering mengatakan tidak ada stok darah saat itu. Apakah data penyintas dari RS atau tempat perawatan pasien Covid-19 tidak dapat dihubungkan dengan PMI? Padahal apabila data penyintas dimiliki oleh PMI hal tersebut memudahkan PMI menghubungi penyintas bila ada permintaan donor plasma konvalesen.
Ah, mungkin pemikiran saya saja yang terlalu berharap. Karena yang terjadi belakangan ini masalah data malah menjadi berita yang cukup mengganggu pikiran. Bukan hanya hoax tentang Covid yang meresahkan, namun angka-angka terkait Covid itu juga mengganggu pikiran.
Beberapa waktu lalu suatu kanal laporan warga yang dibangun oleh sekelompok orang yang memiliki kepedulian terhadap pandemi Covid-19 mengungkapkan fakta mengenai perbedaan jumlah kasus yang dirilis pemerintah pusat dengan akumulasi angka kematian di tiap provinsi. Pada temuan terakhirnya, kanal ini memberitakan angka kematian akibat Covid-19 yang terdapat selisih sebesar 19.000 kematian.
Wow, angka yang sangat fantastis dan sekaligus menyedihkan. Sementara itu data tersebut belum mencakup beberapa provinsi yang belum memperbaharui data atau datanya tidak dapat diakses melalui situs pemerintah daerahnya.
Selisih data yang sedemikian besar. Salahnya dimana? Padahal kita punya e-KTP yang digadang-gadang sebagai satu-satunya data kependudukan warga negara Indonesia. Di e-KTP tercantum Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang merupakan identitas tunggal setiap warga negara Indonesia dan berlaku seumur hidup.
Dalam pikiran saya, dengan adanya e-KTP akan memudahkan semua urusan, seperti contohnya pada kasus Covid-19 ini. Bila kita terinfeksi virus ini, maka di sistem kependudukan yang ada di Kementerian Dalam Negeri, secara otomatis kita akan tercatat sebagai kasus positif. Demikian juga saat kita sembuh ataupun bagi mereka yang meninggal, sistem akan mencatatnya.
Mengapa saya berpikir begitu? Karena saat kita terinfeksi dan mungkin dirawat di fasilitas kesehatan, data kependudukan kita pasti dicatat. Atau misalkan kita isolasi mandiri, kita lapor ke Puskesmas pasti data kita dicatat juga. Dan saya berpikir dengan mengetikkan NIK kita otomatis data di pusat akan ter-update.
Tetapi ternyata pemikiran saya keliru. Dari berita yang saya lihat di televisi, ternyata data tersebut dikumpulkan secara manual dan berjenjang ke pusat untuk kemudian dirilis oleh Kementerian Kesehatan. Ternyata sistem data kependudukan kita belum secanggih apa yang saya pikirkan hahaha..
Walaupun untuk urusan vaksin, NIK benar-benar menjadi satu-satunya data yang “dipegang” untuk seseorang dapat divaksin. Saat pendaftaran kita harus menunjukkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang memuat NIK masing-masing warga negara Indonesia. Semestinya dengan menggunakan NIK, data mengenai jumlah penduduk yang sudah divaksin ini lebih valid.
Pada kasus yang lain ketika kami diminta untuk menyampaikan data capaian nasional air minum layak, angka yang bisa kami berikan adalah angka capaian kinerja yang kami lakukan sendiri. Padahal untuk angka nasional, tentu saja ada peran dari pemerintah daerah, swasta dan mungkin masyarakat.
Data yang dibutuhkan untuk angka nasional tidak terkumpul di satu tempat dan bisa jadi dikumpulkan dengan indikator yang berbeda. Hal ini menyulitkan untuk melihat dan menganalisis capaian nasional yang akan dipergunakan untuk pengambilan keputusan selanjutnya.
Data yang tidak valid, tidak seharusnya digunakan sebagai bahan pengambilan keputusan. Seperti tren kasus positif yang diberitakan mengalami penurunan signifikan, sedangkan ada sebagian yang berpendapat sebenarnya angka yang dipublikasikan itu belum angka real yang terjadi di masyarakat.
Akan sangat berbahaya bila misalkan dari angka publikasi terlihat tren penurunan kasus, sehingga kegiatan masyarakat dilonggarkan pagi. Padahal ternyata angka real di masyarakat belum terjadi penurunan atau malah bahkan terjadi peningkatan.
Masalah data ini memang menjadi PR penting untuk negara ini. Sampai kemudian Bapak Presiden mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2019 tentang Satu Data Indonesia. Tujuan dari dikeluarkannya peraturan itu adalah untuk memperoleh data yang akurat, mutakhir, terpadu, dapat dipertanggungjawabkan, mudah diakses, dan dibagipakaikan.
Semestinya peraturan ini dapat dilaksanakan di seluruh tataran sehingga harapan untuk memperoleh data yang valid dan terpadu dapat dicapai. Agar kebijakan yang diambil untuk pembangunan negeri ini berdasarkan kondisi nyata yang ada di masyarakat. Sehingga kebijakan dan strategi yang akan diambil dan dijalankan dapat menyejahterakan masyarakat.