Umat Kristiani merayakan Hari Natal dan Tahun Baru. Sudah menjadi kebiasaan umum perayaan umat Kristiani ini sering diisi berbagai habitus. Salah satu yang hemat saya jarang mendapat sorotan adalah pesta kembang api petasan dan mercon. Padahal, habitus ini kerap makan korban jika tidak mau dikatakan merugikan umat Kristiani sendiri.
Lantas, entah mengapa habitus ini kini semakin menggurita di berbagai kalangan? Untuk menghentikan habitus yang satu ini pun bisa-bisa menuai kontroversi. Bagi anak-anak atau sebagian remaja, ini sangat menghambat kesenangan masa kecil mereka. Bagi orang-orang dewasa dan sebagian orangtua, larangan kembang api petasan dan mercon jelang Natal akan mengurangi pundi-pundi sampingan mereka yang biasanya “meroket.”
Tetapi, bagi orang-orang tua yang sudah renta, mereka tak menyukai lagi bunyi-bunyi mercon. Belum lagi, ada orangtua yang memiliki riwayat serangan jantung atau struk, mereka amat terusik dengan bunyi-bunyi petasan dan mercon yang sewaktu-waktu menusuk telinga dan menghantam jantung mereka bertubi-tubi. Saya tidak terlalu “suci” untuk mengurai tulisan ini. Tulisan saya sekadar berbagi pengalaman agar kita semua bisa merefleksikan secara bersama-sama soal habitus yang satu ini.
Di Kota dan dusun
Tetapi ada beberapa hal urgen yang menjadi pembeda antara di kota dan dusun sebagaimana amatan saya. Di dusun, kami biasanya bermain “meriam bambu”. Meski tak punya ledakan mematikan seperti milik TNI, umumnya, tetapi bunyinya amat menggelegar. Tempat bermain kami jarang di tengah perkampungan. Di perkampungan, itu pun kalau orang-orangtua sedang ke laut atau ke kebun.
Jika orang tua sudah ke rumah, maka kita akan beralih ke tempat lain. Misalnya, di gunung, di pantai atau di pinggir kali. Itu untuk menghindari amukan orangtua. Kadang kami dikejar oleh orangtua yang merasa dirinya terjaili oleh kelakuan kami bermain meriam bambu yang sewaktu-waktu bisa mengagetkan mereka.
Kami juga memahami, karena ada beberapa orangtua yang “jantungan”, bahkan kami juga berempati pada anak-anak balita yang masih menyusui, karena kata orang-orangtua, anak-anak balita akan kaget, lalu bisa menangis sejadi-jadinya, lantas bisa jatuh sakit ketika mendengar bunyi meriam bambu secara tiba-tiba. Begitu pun dengan orangtua yang memiliki riwayat jantung.
Hingga kini, saya bersyukur di dusun saya, anak-anak sudah peka dengan hal-hal itu. Mereka tak ingin melawan orangtua dan dikatai “bebal”. Mereka sangat penurut terhadap orangtua. Mereka akan berhenti bermain jika ditegur atau dilarang. Tentu, kita tidak ingin ada korban berjatuhan.
Misalnya orang meninggal gegara ada anak-anak terkena ledakan petasan dan mercon. Atau ada bayi yang jatuh sakit atau ada yang terkena serangan jantung, lantas “meninggal dunia”. Apalagi pada malam natal di dusun, tak seorang pun yang berani membunyikan meriam bambu. Malam natal di dusun kemudian menjadi lebih teduh, khusuk, aman, dan damai penuh cinta kasih. Saya tidak ingin menghakimi bahwa malam natal di kota tidak khusuk dan damai.
Tetapi, “permainan petasan dan mercon” di kota, bagi saya sudah tidak terkendali lagi. Suara orangtua, bahkan tokoh agama pun bisa diabaikan begitu saja. Malam Natal yang seharusnya menjadi momen setiap insan berefleksi dan berkontempelasi atas peristiwa kelahiran Tuhan Yesus di dunia, justru disambut dengan bunyi petasan dan mercon yang membabi buta lantas menggetarkan “palungan hati”. Padahal, “Bayi Natal” tidak datang dengan mewah. Tuhan Yesus justru lahir di tempat sederhana bahkan hina; di Kandang Domba, Betlehem. Meski kita tahu, Tuhan kita sangat mewah dan kaya.
Lantas, untuk apa Tuhan datang dengan kesederhanaan? Itu karena Tuhan ingin kita semua bisa menerima kehadirannya, bukan dengan pernak-pernik natal, pakaian yang serba mewah, kembang api, petasan mercon atau bahkan dengan menunjukkan kemewahan dan kegelimangan harta benda.
Jika Tuhan datang di tengah kemewahan. Lantas, bagaimana dengan posisi orang-orang miskin dan tertindas? Kelahiran Tuhan Yesus memang luar biasa karena mampu diterima secara universal. Justru kelahiran-NYA yang sederhana membuat Dia menjadi milik semua orang dengan perbedaan status dan kedudukan. Yang miskin maupun kaya.
Sebab, pada saat momen Natal pun kita masih menyaksikan, ada banyak orang hidup dalam kesusahan, kemiskinan dan penderitaan. Belum lagi mereka yang teraniaya karena nama Tuhan Yesus. Mereka butuh sentuhan dan uluran tangan kita. Ketika mereka ada dalam kesusahan, kesederhanaan dan penderitaan, sesungguhnya mereka adalah representasi dari Tuhan sendiri.
Sebagaimana kita menyambut Tuhan Yesus, kita pun harus bisa menyambut dan menerima sesama kita. Jika ada sesama manusia yang haus, lapar dan tidak punya tempat untuk menumpang, lalu mereka tidak ditolong dan dilayani, maka itu sama dengan kita tak memperlakukan “Tuhan Yesus” yang datang dalam kesederhanaan, bahkan kerendahan.
Karena sesama kita adalah Tuhan sendiri. Dan sesama kita adalah diri kita sendiri. Karena itu patutlah kita mengasihi Tuhan seperti mengasihi sesama kita, dan patutlah kita mengasihi sesame kita seperti mengasihi diri sendiri. Hal ini sebagaimana Lukas 10: 27 “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.”
Ganti mercon
Menyoal, petasan dan mercon, saya teringat Khotbah Pdt. Boy R. Takoi di Gereja Pniel Oebobo, Kota Kupang, ketika ia memimpin Ibadah kedua, Minggu (23/11/2019) lalu. Pdt. Boy menegaskan Natal dan Tahun Baru sejatinya tidak perlu gaduh dengan bunyi-bunyi petasan dan mercon yang amat menggelegar.
Sebab, kita seharusnya malu, jika kita membuat gaduh dan (bahkan) kacau perayaan kita sendiri. Percayalah, Tuhan Yesus tak suka dan tak senang mendengar bunyi petasan dan mercon, yang Tuhan Yesus suka adalah bunyi puji-pujian dari mulut kita untuk hormat dan kemuliaan nama-NYA. Sebagaimana Zakharia 9:9 “Bersorak-soraklah dengan nyaring, hai puteri Sion, bersorak-sorailah, hai puteri Yerusalem! Lihat, rajamu datang kepadamu; ia adil dan jaya. Ia lemah lembut dan mengendarai seekor keledai, seekor keledai beban yang muda.”
Sebagaimana putri Sion, seluruh umat Kristiani harus bersorak menaikan puji-pujian kepada Tuhan. Sebab, para malaikat dan bala tentara sorga telah ikut menaikan pujian bagi kedatangan Tuhan Yesus. “Dan tiba-tiba tampaklah bersama-sama dengan malaikat itu sejumlah besar bala tentara sorga yang memuji Allah, katanya: “Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya.” Lukas 2 : 13-14.
Ingatlah bahwa di beberapa belahan dunia, termasuk di Indonesia (Sumatera Barat) ada sekelompok Ormas bahkan pemerintah melarang perayaan Natal. Karena itu, selagi masih ada waktu, mari kita syukuri dan manfaatkan momen Natal dan Tahun Baru dengan puji-pujian dan sorak-sorai dengan penuh damai dan suka cita bersama keluarga dan orang-orang yang kita kasihi.