Rabu, Maret 26, 2025

Nasionalisme, Patriotisme, dan Demokrasi

Karunia Kalifah Wijaya
Karunia Kalifah Wijaya
Laki-laki kelahiran 13 Maret 1997 yang berasal dari sebuah kabupaten kecil yang terletak di lereng Gunung Merapi, tepatnya di Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Saat ini sedang menempuh pendidikan S1 di Fakultas Psikologi Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa, ruang di mana perjalanan intelektual dan spiritual saya terus berkembang. Lebih dari sekadar mahasiswa, saya adalah seorang pembelajar yang terinspirasi oleh filosofi dan gagasan luhur Ki Hadjar Dewantara. Pemikiran beliau tentang pendidikan dan kemanusiaan menjadi kompas hidup saya, memandu setiap langkah dalam memahami jiwa manusia dan mencari makna dalam kehidupan.
- Advertisement -

“Nasionalisme adalah penyakit anak-anak. Itu adalah campak umat manusia.” Pernyataan Albert Einstein ini menggelitik pemahaman kita tentang bagaimana rasa cinta terhadap bangsa bisa menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, nasionalisme dapat menjadi kekuatan pendorong bagi persatuan dan identitas kolektif. Namun, di sisi lain, ia juga dapat menjadi virus yang menggerogoti akal sehat, mendorong masyarakat ke dalam sikap eksklusif, intoleran, dan bahkan agresif terhadap pihak lain.

Di tengah arus globalisasi yang semakin mengaburkan batas-batas negara, masyarakat dunia menghadapi dilema besar, bagaimana cara mencintai bangsa tanpa jatuh dalam jebakan superioritas dan chauvinisme? Apakah nasionalisme selalu berkonotasi negatif? Apakah patriotisme cukup sebagai pegangan moral untuk menjaga identitas kebangsaan? Ataukah kita membutuhkan paradigma baru yang lebih matang dalam membingkai cinta terhadap tanah air?

Dikotomi lama antara nasionalisme dan patriotisme kini semakin dipertanyakan. Pandangan klasik menyatakan bahwa nasionalisme mengarah pada eksklusivitas dan dominasi, sementara patriotisme dianggap lebih sehat karena bersifat inklusif dan sekadar mengekspresikan rasa cinta terhadap tanah air tanpa merendahkan bangsa lain. Namun, penelitian terbaru menunjukkan bahwa kategori ini masih terlalu sempit. Ada satu dimensi yang selama ini luput dari perhatian patriotisme demokratis suatu bentuk keterikatan terhadap negara yang tidak hanya berbasis emosi dan identitas, tetapi juga pada nilai-nilai fundamental seperti kebebasan, kesetaraan, dan hak asasi manusia.

Nasionalisme dan Patriotisme, Dua Sisi Mata Uang yang Berbeda?

Dalam sejarah politik modern, nasionalisme sering kali menjadi pendorong utama bagi terbentuknya negara-bangsa. Ia telah menjadi api perjuangan kemerdekaan, membangkitkan kesadaran kolektif, dan mempersatukan masyarakat dalam menghadapi ancaman eksternal. Namun, api yang sama juga bisa membakar tanpa kendali. Nasionalisme yang berkembang tanpa batas sering kali berubah menjadi mesin eksklusivitas yang mengklaim superioritas bangsa sendiri, meremehkan kelompok lain, dan dalam kasus ekstrem, melahirkan konflik etnis dan perang.

Di sisi lain, patriotisme kerap dipandang sebagai bentuk cinta tanah air yang lebih “sopan.” Jika nasionalisme berusaha menonjolkan dominasi dan ekspansi, patriotisme lebih bersifat internal, sebuah ikatan emosional yang membuat seseorang merasa bangga terhadap negaranya tanpa harus menjelekkan bangsa lain. Namun, benarkah patriotisme selalu lebih sehat? Dalam banyak kasus, patriotisme bisa menjadi alat legitimasi bagi kekuasaan otoriter, di mana kecintaan terhadap negara dikaburkan dengan loyalitas buta terhadap pemimpin atau ideologi tertentu.

Dari sini, jelas bahwa kita membutuhkan paradigma baru. Jika nasionalisme terlalu eksklusif dan patriotisme terlalu emosional, maka diperlukan alternatif yang lebih seimbang, lebih rasional, dan lebih berorientasi pada nilai-nilai universal.

Patriotisme Demokratis

Di sinilah konsep patriotisme demokratis muncul sebagai solusi yang relevan bagi masyarakat modern. Patriotisme demokratis bukan hanya sekadar kebanggaan terhadap tanah air atau sejarah bangsa, tetapi juga keterikatan terhadap prinsip-prinsip fundamental yang menopang kehidupan bernegara. Ini berarti bahwa seseorang mencintai negaranya bukan hanya karena warisan budaya atau garis keturunan, tetapi karena negara tersebut menjunjung tinggi demokrasi, keadilan, kebebasan, dan hak asasi manusia.

Konsep ini sangat relevan bagi negara-negara yang memiliki sejarah kelam akibat nasionalisme ekstrem. Jerman, misalnya, pernah mengalami nasionalisme yang mengarah pada fasisme, tetapi kini mereka lebih menekankan constitutional patriotism, kesetiaan pada prinsip demokrasi daripada kesetiaan pada identitas etnis. Begitu pula dengan Amerika Serikat, yang meskipun memiliki sejarah panjang nasionalisme kuat, juga mengembangkan gagasan bahwa menjadi patriot sejati berarti membela prinsip-prinsip kebebasan dan kesetaraan, bukan sekadar membela simbol-simbol negara.

Patriotisme demokratis memberikan alternatif yang lebih sehat bagi masyarakat yang ingin mencintai negaranya tanpa kehilangan akal sehat. Ini bukan patriotisme buta yang tunduk pada pemerintah tanpa kritik, tetapi patriotisme yang aktif, partisipatif, dan kritis dalam menjaga nilai-nilai kebangsaan yang lebih luas.

Tantangan Menerapkan Patriotisme Demokratis di Negara Berkembang

Namun, apakah konsep ini bisa diterapkan di semua negara? Tidak semua masyarakat memiliki tradisi demokrasi yang kuat, dan tidak semua pemerintah bersedia membiarkan warganya mencintai negara dengan cara yang kritis. Di banyak negara berkembang, nasionalisme masih menjadi alat utama untuk mempertahankan kekuasaan. Pemimpin populis sering kali menggunakan retorika nasionalisme untuk menutupi kegagalan mereka dalam membangun negara yang adil dan demokratis.

- Advertisement -

Di Indonesia, misalnya, nasionalisme sering kali dikaitkan dengan loyalitas terhadap negara dan pemimpin, tanpa mempertanyakan apakah negara benar-benar menjunjung tinggi hak-hak rakyatnya. Kritik terhadap pemerintah sering dianggap sebagai bentuk “tidak nasionalis” atau bahkan “pengkhianatan terhadap bangsa.” Dalam konteks ini, sulit untuk mengembangkan patriotisme demokratis jika ruang demokrasi sendiri terus dipersempit.

Jalan Tengah Menuju Identitas Kebangsaan yang Dewasa

Jika kita ingin membangun masyarakat yang sehat secara politik dan sosial, maka kita harus meninggalkan pemikiran hitam-putih tentang nasionalisme dan patriotisme. Model tiga faktor yang mengusulkan nasionalisme, patriotisme, dan patriotisme demokratis adalah pendekatan yang lebih realistis dalam memahami keterikatan kebangsaan. Nasionalisme yang berlebihan dapat melahirkan chauvinisme, sementara patriotisme yang hanya berbasis emosi dapat kehilangan arah. Sementara itu, patriotisme demokratis menawarkan keseimbangan antara cinta terhadap tanah air dan komitmen terhadap nilai-nilai universal.

Kita harus mulai mengajukan pertanyaan yang lebih kritis: Apakah kita mencintai negara ini karena tanahnya, budayanya, dan sejarahnya semata? Ataukah kita mencintainya karena negara ini berdiri di atas prinsip-prinsip yang adil dan demokratis? Jika jawabannya adalah yang kedua, maka kita harus lebih berani dalam memperjuangkan hak-hak sipil dan menolak bentuk nasionalisme yang sempit dan destruktif.

Cinta tanah air tidak boleh menjadi tameng bagi intoleransi, represi, atau dominasi. Jika kita ingin menjadi warga negara yang benar-benar mencintai bangsa ini, maka kita harus berani mencintainya dengan cara yang dewasa, bukan dengan menutup mata terhadap kesalahan, tetapi dengan berani memperjuangkan perubahan demi kebaikan bersama. Maka, pertanyaan terakhir yang harus kita renungkan apakah kita mencintai bangsa ini dengan cara yang sehat, atau hanya mengikuti arus tanpa berpikir kritis?

Karunia Kalifah Wijaya
Karunia Kalifah Wijaya
Laki-laki kelahiran 13 Maret 1997 yang berasal dari sebuah kabupaten kecil yang terletak di lereng Gunung Merapi, tepatnya di Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Saat ini sedang menempuh pendidikan S1 di Fakultas Psikologi Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa, ruang di mana perjalanan intelektual dan spiritual saya terus berkembang. Lebih dari sekadar mahasiswa, saya adalah seorang pembelajar yang terinspirasi oleh filosofi dan gagasan luhur Ki Hadjar Dewantara. Pemikiran beliau tentang pendidikan dan kemanusiaan menjadi kompas hidup saya, memandu setiap langkah dalam memahami jiwa manusia dan mencari makna dalam kehidupan.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.