Sudah 72 tahun Indonesia merasakan kemerdekaan. Pada masa kemerdekaan pertama yang dibacakan oleh sang proklamator Ir.H Soekarno dan Drs. H Moh. Hatta menyatakan bahwa Indonesia telah merdeka. Terbebas dari embel-embel penjajahan. Pada masa itu Indonesia yang dikenal dengan Hindia-Belanda sudah terkenal dengan berbagai macam keanekaragaman pada setiap sudutnya. Misal pada suatu pulau dengan populasi terbesar di Indonesia pulau Jawa, mempunyai berbagai macam perbedaan. Mulai bahasa, adat istiadat, ras suku dan agama. Bahkan jika diteliti dengan akurat dari berbagai data, jauh sebelum kemerdekaan dan terbentuknya national government Indonesia sudah terbentuk sendirinya dengan perbedaan. Kerajaan Islam Demak yang terletak di pesisir pantai utara Jawa, kesultanan Banten, kesultanan Cirebon, kesultanan Mataram, kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat menjadi corak khas bahwa Indonesia mempunyai berbagai perbedaan dalam mempertahankan kekuasaan. Jika dilihat, bisa saja seluruh kerajaan Islam bersatu dan menjadi kekuatan dalam menguasai tanah Jawa. Namun hal itu itu bukanlah suatu jalan untuk mempertahankan sebuah kerukunan dan kesosialan. Jadi sudah menjadi hal yang lazim jika Indonesia mempunyai berbagai macam perbedaan.
2016 akhir hingga sekarang Indonesia bisa dikatakan dalam situasi tegang. Isu-isu SARA menjadi santapan hangat bagi setiap individu. Tanpa mengenal siapapun. Kita bisa bebas mengekspresikan apapaun hal yang kita inginkan. Dengan media seosial menjadi senjata revolvernya. Dan hal itu menjadi pemicu hilangnya rasa saling menghormati satu sama lain. Baik antar individual atau komunal.Perbedaan sering menjadi sebuah pemisah dalam kehidupan bersosialisasi. Bahkan menjadikan sifat individualis serta apatis. Rasa ingin menang sendiri serta tidak mau menerima pandangan orang lain. Merasa paling benar dengan pemikirannya, padahal belum tentu kebenarannya. Semua itu tercipta karena besarnya egoisme yang tertumbuh dalam mindset seseorang bahkan menyalahkan pemikiran orang lain. Pemikiran yang demikian sesungguhnya pemikiran sempit, yang akan menjadikan seseorang memiliki fanatisme buta dan akibatnya bertindak sewenang-wenang dan semau-maunya. Ini seperti fanatisme yang di tunjukkan oleh presiden Amerika kala itu, John F. Kennedy, ketika mengatakan; “Right or wrong is my country.”
Ungkapan ini jelas sangat keliru dan bertentangan dengan keadilan dan prinsip prikemanusiaan. Sesungguhnya perbedaan akan menjadi sebuah warna dalam kehidupan. Perbedaan yang berlandaskan sebuah persatuan dan kesatuan akan mampu menguatkan tiang-tiang kehidupan. Khususnya tiang-tiang dalam agama dan budaya. Hal senada telah di sampaikan C Holland Taylor, Direktur Bayt Rahmah, California, Amerika Serikat, Kelompok Islam moderat terus memperkenalkan keislaman yang ramah seperti Indonesia. Masyarakat di Amerika dan Eropa, yang tidak mengenal baik tentang Islam, hanya melihat aksi yang dilakukan kelompok teroris yang selalu mengatasnamakan Islam. (Kompas, 10 Mei 2016)
Perbedaan adalah pemeerat persatuan
Artinya :“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (Q.S Al-Hujrat : 13)
Al-Qur’an di turunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantara Malaikat Jibril sejak berabad-abad yang lalu. Namun sudah menjelaskan tentang perbedaan yang bertujuan pemersatuan, inilah salah satu hal yang menjadi keistimewaan Al-Qur’an. Jika kita merujuk pada kalimat ayat tersebut, di mulai dengan panggilan “Annasu” (manusia) yang menunjukan isim nakirah. Mempunyai perngertian yang sangat universal, tidak merujuk pada pengertian tertentu atau terkhususkan. Imam Suyuthi dalam kitab tafsirnya Al-Durr Al-Mantsur fi Tafsir Bil-Ma’tsur menyebutkan dua kisah turunnya surat al-Hujurat ayat 13. Salah satunya adalah Kisah Abu Hind adalah bekas budak yang kemudian bekerja sebagai tukang bekam. Nabi meminta kepada Bani Bayadhah untuk menikahkan salah satu putri mereka dengan Abu Hind. Tapi mereka menolak dengan alasan: “Ya Rasul, bagaimana kami hendak menikahkan putri kami dengan bekas budak kami?” Lalu turunlah ayat 13 surat al-Hujurat.
Islam penuh dengan perbedaan, dengan perbedaan itu sepatutnya mampu mempererat Ukhuwah Islamiyah berdasarkan prinsip Islam sesuai ajaran Rasulullah SAW, Islam Rahmatallil ‘alamin. Islam yang penuh prikemanusiaan, adil, dan saling menghargai perbedaan yang sepatutnya mampu menjadi barisan pengikut Rasulullah SAW. Seperti contoh pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, kebijakan sahabat Umar bin Khattab yang menyatakan bahwa tanah milik petani Qibthi[1] bukan ghanimah, sahabat Umar mengembalikan hak kepemilikan kepada kaum Qibthi, sekalipun pemilik tanahnya beragama Kristen (Madjid, 1992)
Ayat di atas sudah sangat jelas mempunyai tujuan untuk mempersatukan sebuah perbedaan, tidak mengenal entah kulit hitam, putih, ras, suku, budaya, bahkan Agama Sekalipun. Selama konsep ta’aruf masih dalam ruang lingkup koridor syatiat Islam, hendaknya perbedaan antar umat mampu menjadikan persatuan.
Perbedaan yang terjadi di masyarakat Indonesia dengan berbagai aspek. Agama, suku, ras, dan budaya. Bahkan Islam sudah mempunyai banyak golongan. Nampaknya harus di bungkus dengan sebuah kunci “Nasionalisme”. Dengan nasionalisme, konsep perbedaan untuk saling mengenal akan tercipta dengan harmonis. Sebagaimana lazimnya barisan pengikut Rasulullah SAW mampu saling menghargai antara umat beragama, walaupun penuh perbedaan. Hal ini bahkan sudah tertuang dalam piagam madinah yang bertujuan untuk membangun negara menjadi lebih baik..
Hakekat yang terdalam dari nasionalisme, tidak lain dari kemauan untuk bersatu sebagai satu bangsa dalam arti politik. Semakin besar jumlah individunya yang mau bersatu, semakin kuatlah persatuan bangsa itu. Dengan ungkapan lain hakekatnya tidak lain dari keinsafan sebagai suatu persekutuan yang tersusun menjadi satu; keinsafan yang terbit karena percaya atas persamaan nasib dan tujuan. Keinsafan itu bertambah besar oleh karena sama seperuntungan, malang yang sama diderita, mujur yang sama didapat, oleh karena jasa bersama, kesengsaraan bersama, pendeknya oleh karena peringatan kepada riwayat bersama yang tertanam dalam hati dan otak Kemauan untuk bersatu itu bisa mengendor dan bisa semakin kuat, tergantung kepada berkurang atau bertambah kuatnya, perasaan senasib dan setujuan itu (Naseh, 2014).
[1] Tanah petani Qibthi Kristen di sita oleh para jendral tentara Romawi di jadikan lapang main Polo. Permainan semacam golf. Bedanya pemainnya dengan mengendarai kuda dalam memukul bola untuk di masukkan ke dalam lubangnya.
Madjid, N. (1992). Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina.
Naseh, A. H. (2014). Nasionalisme Dalam Tinjauan Islam. Jurnal Ulumuddi Volume 4, nomor 2. Desember , 13-23.