Menguatnya sentimen lokalitas dewasa ini mengisyaratkan kambuhnya apa yang disebut sebagai gejala “nasionalisme kultural”, yakni dua suku kata yang mewakili dua konsep beralur logika kontrakdiktif ketika diletakkan dalam konteks Indonesia yang memiliki latar belakang beragam budaya – dengan mode pengaturan yang seragam.
Bentuk nasionalisme kultural itu dapat dilihat misalnya, dari tren kebijakan akhir-akhir ini, seperti agenda yang dijalankan pemerintah melalui term Perhutanan Sosial yang menargetkan alokasi lahan seluas 12,7 juta hektar meliputi Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa (HD), Hutan Rakyat (HR), Hutan Adat (HA). Melalui penjelasan genealogis pengubahan cara pandang yang sebelumnya hutan ditempatkan sebagai prioritas pengelolaan salah-satu potensi sumber ekstraktif, kini dengan adanya aturan baru 12,7 hektar itu, pemerintah mempercayakan pengelolaan tersebut kepada masyarakat – atau lebih tepatnya kepada “desa” sebagai struktur terkecil yang mewakili kehadiran negara di daerah. Tujuannya, selain tentu hal ini dipandang lebih efisien, juga keberadaan hutan diharapkan dapat dimanfaatkan, diakses oleh masyarakat yang tinggal di desa-desa hutan.
Agaknya inilah jawaban atas “kegelisahan” para pemerhati isu lingkungan, peneliti, akademisi dan aktivis yang menceburkan diri di ranah itu selama ini. Kita bisa melihat representasi kegelisahan itu muncul misalnya, dalam sederet buku-buku tebal tentang lingkungan hutan seperti “Berebut Hutan Siberut” karya Darmanto dengan kajiannya di Pulau Mentawai, “Hutan Kaya, Rakyat Melarat” Nancy Peluso tentang hutan Jawa, “Di Bawah Bayang-bayang Ratu Intan” karya Anna Tsing tentang alam Kalimantan, atau berbagai reportase yang bertebaran di lembar media online maupun offline, yang merekam kontradiksi-kontradiksi pembangunan seperti marjinalisasi, konflik agraria dan sederet daftar muram lainnya.
Bila diabstraksikan ke dalam rangkaian konsep untuk memudahkan melihat peta besar yang sedang berjalan pada saat ini, formasi diskursif dari fenomena tersebut tidak dapat dilepaskan benang-merahnya dari respon atas agenda global dan kesepakatan-kesepakatan internasional yang terjalin untuk mengatasi permasalahan perubahan iklim yang melanda dunia (baca: kerusakan ekosistem, kebakaran hutan, perdagangan karbon). Tulisan ini tidak akan masuk lebih jauh ke wilayah itu, tetapi hanya akan mengamati reaksi-reaksi yang terjadi di skala nasional.
Membicarakan pola pengaturan yang dipraktikkan oleh pemerintah melalui kebijakan tentu tak bisa dilepaskan begitu saja dari dinamika politik baik yang berlangsung di lingkar kekuasaan rezim maupun di wilayah akar rumput yang selama ini menjadi subyek penerapan kebijakan – sebagaimana semangat yang melatarbelakangi policy brief perhutanan sosial. Melalui uraian ringkas ini, saya hanya akan mencoba mendekati, membuat sketsa-sketsa naratif dan bila mungkin menunjukkan pola yang berlangsung di baliknya.
Judul di atas mewakili hipotesa dari tulisan ini. Nasionalisme kultural yang saya maksud adalah perayaan lokalitas dalam skala nasional tentang segala yang berbau adat, tradisi dan budaya dalam skala nasional. Semua itu termanifestasikan dalam produk kebijakan yang sayangnya agak mengabaikan diferensiasi sosial yang berpengaruh dalam dimensi politik lokal. Membayangkan desa yang harmoni berikut beserta kearifan lokalnya yang terjaga merupakan imajinasi “mooi indie”, mitos Hindia molek warisan kolonial yang dihidup-hidupi untuk memaksimalkan eksploitasi di tanah jajahan yang mengabaikan silang-sengkarut feodalisme politik lokal. Inilah salah-satu aspek yang sepertinya melatarbelakangi upaya pelimpahan kewenangan pengelolaan hutan kepada masyarakat, karena anggapan atas model kebijakan top-down yang selama ini terevaluasi carut-marut menimbulkan pembayangan bahwa pengelolaan itu akan menjadi “beres” jika masyarakat sendiri yang turun tangan, sebab ada asumsi yang menganggap mereka lebih paham akan kondisi lingkungan tempat tinggalnya ketimbang pemerintah yang hanya tahu lembar-lembar peta dan bejibun data statistik. Tentu saja, ini adalah suatu dilema tersendiri, di mana hal tersebut menunjukkan ketaksadaran akan ketaksanggupan/atau ketidakpercayaan diri pemerintah dalam memecahkan persoalan lingkungan selama ini, yang membuat dirinya kemudian melimpahkan kewenangan itu kepada masyarakat untuk mengatur, mengelola dan memanfaatkan potensi yang ada dengan harapan persoalan mengenai lingkungan akan dapat terselesaikan dan grafik ekonomi dapat meningkat. Pepatah bilang “sambil menyelam, minum air”. Dan semoga tak sampai tenggelam karena terlalu banyak minum air.
Gejala nasionalisme kultural ini dapat ditandai barangkali sejak munculnya aturan “domein verklaring” rezim Raffles seabad silam yang dilatarbelakangi oleh apa yang disebut Tania Li sebagai upaya “formalisasi” (pemetaan/pengukuran/pembagian lahan/penciptaan legalitas tentang pengelolaan lahan) yang dilanjutkan dengan introduksi tanaman perkebunan serta peningkatan produktifitasnya melalui kebijakan transmigrasi masa kolonial, dan ketika memasuki masa Indonesia merdeka, terbitlah undang-undang pokok agraria dimana dalam poin yang tertera menginstruksikan pembagian kepemilikan lahan (dan seperti diketahui bersama, isu ini dipolitisir sedemikian rupa sehingga menyulut pertumpahan darah saudara sebangsa). Kebijakan itu sontak berhenti ketika Sukarno jatuh dari tampuk kepemimpinan dan rezim digantikan oleh Suharto. Selama tiga puluh tahun lebih, melalui strategi ekonomi “open door policy”, Indonesia mengalami familiarisasi istilah “revolusi hijau”, di mana penelitian Clifford Geertz tentang involusi pertanian sedikit banyak memberikan legitimasi atas program pengendalian jumlah penduduk melalui term “Keluarga Berencana” yang dimaksudkan untuk menambal krisis yang diakibatkan oleh kebijakan anti-imperialisme pada masa revolusi melalui pernyataan “Go to hell with your aid” ala Sukarno.
Zaman berganti, dan selanjutnya sejarah mencatat keruntuhan rezim orde baru Suharto diikuti oleh menguatnya isu masyarakat sipil dan kebijakan desentralisasi (pakar politik gaek saudara kandung Soe Hok Gie, Arief Budiman, pada saat itu dalam sebuah wawancara mengusulkan amandemen UUD untuk menjadikan Indonesia sebagai negara federal, dan menurut Budiman istilah desentraliasi hanya persoalan eufimisme saja dari kata federalisasi) yang membagi kewenangan pengaturan dari yang semula terpusat kemudian menyebar. Kebijakan desentralisasi ini memiliki peran besar dalam menghidupkan kembali dimensi-dimensi politik lokal di mana sebelumnya terepresi oleh gaya pemerintahan Suharto yang “ABS” (Asal Bapak Senang).
Kembali pada uraian di awal, sebagai sebuah gejala, kambuhnya demam nasionalisme kultural ini perlu ditangani secermat mungkin oleh para pemangku kepentingan – tanpa mengabaikan potensi chaos yang bisa terjadi di ranah lokal, di mana biasanya disebabkan perebutan akses sumber daya oleh elit-elit lokal yang bermunculan dari rahim desentralisasi dan dilapangkan jalannya lewat politik-politik kebijakan.