Jumat, Maret 29, 2024

Nasib Pendidikan Tinggi dan Tenaga Kerja Kita

Eva Karina
Eva Karina
Dosen di Program Studi Hubungan Internasional, Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Jawa Timur dan Peneliti di Center for Identity and Urban Studies (CENTRIUS)

Selama ini di Indonesia mengakar sebuah pemahaman yang diyakini oleh khalayak ramai bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka semakin besar pula peluangnya mencapai kesuksesan.

Dalam hal ini berarti memiliki kondisi pekerjaan dengan jenjang karir yang baik sehingga berimplikasi pada meningkatnya jumlah pendapatan seseorang. Pendidikan dipercaya memiliki implikasi langsung terhadap penyerapan tenaga kerja dan tentunya peningkatan pendapatan serta kesejahteraan masyarakat.

Tidak heran ketika permasalahan klasik mengenai tingkat pengangguran di Indonesia diangkat, maka pemahaman linier inilah yang akan dijadikan satunya-satunya kerangka berpikir dalam membingkai permasalahan ini.

Media pemberitaan belakangan ini giat menyoroti permasalahan tingginya jumlah lulusan sarjana yang tidak terserap pasar tenaga kerja. Berdasarkan catatan Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti), sekitar 8,8 persen dari total 7 juta pengangguran di Indonesia adalah sarjana.

Menanggapi fakta ini, Menristekdikti menyampaikan bahwa persoalan ini berangkat dari relevansi antara kompetensi lulusan perguruan tinggi dan kebutuhan dunia industri yang masih rendah. Sebagai konsekuensinya, solusi utama yang ditawarkan untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah tuntutan bagi pendidikan tinggi untuk mereformasi kurikulumnya agar dapat sesuai dengan kebutuhan dunia industri.

Tidak sampai disana, atas rekomendasi Dinas Ketenagakerjaan (Disnaker) saat ini pendidikan tinggi pun dituntut untuk membekali lulusan S-1 dengan sertifikat kompetensi sebagai pendamping ijazah.

Betapa pekerjaan menempati posisi utama dalam memberi makna dan arti penting pendidikan di negeri ini. Semakin jelas pula bingkai pemahaman yang selama ini melandasi arah pembangunan pendidikan di Indonesia, dimana pekerjaan selalu menjadi tujuan dan muara yang paling utama.

Namun apakah makna dan fungsi pendidikan tinggi selayaknya hanya dinilai pada kontribusinya terhadap angkatan kerja? Apakah kita hanya bisa mengamini ketika pengembangan sistem pendidikan tinggi di Indonesia hanya dapat dilakukan dalam bingkai pembangunan dan pertumbuhan ekonomi?

Perguruan tinggi sejatinya merupakan wadah bagi geliat akademik dalam memproduksi pengetahuan tentang beragam aspek kehidupan masyarakat secara luas, yang membawa manfaat besar bagi transformasi sosial.

Ilmu pengetahuan lahir sebagai manifestasi dari upaya masyarakat untuk menghadirkan jawaban dan penjelasan atas berbagai perubahan dan dinamika yang terjadi di dalam kehidupan. Melalui kerja ilmu pengetahuan, hadirlah pelbagai pengetahuan yang menjadi pijakan bagi masyarakat untuk mengatasi berbagai kesulitan dan permasalahan yang muncul, seiring dengan dinamika dan perubahan dunia.

Lebih dari itu, tercatat dengan tinta tebal di dalam perjalanan sejarah umat manusia di dunia, bahwa ilmu pengetahuan adalah senjata perubahan sosial. Ia adalah instrumen, dan sekaligus menjadi pijakan bagi masyarakat untuk meretas transformasi bentuk kehidupan menuju kepada kondisi yang lebih baik.

Namun kini adalah suatu hal yang lazim di negeri ini, keberadaan dan fungsi dari perguruan tinggi tak ubahnya seperti pabrik yang memproduksi buruh dengan keterampilan dan kompetensi yang siap pakai. Upaya merestrukturisasi budaya akademis agar sesuai dengan prinsip pasar telah mengarah pada komodifikasi pendidikan yang mendorong lulusan untuk bersikap pasif dan instrumental.

Konsekuensinya adalah muncul  ancaman terhadap pengembangan pengetahuan dan otonomi keilmuan di perguruan tinggi. Lulusan dan kurikulum pendidikan sarjana dirancang semata-mata agar sesuai dengan kebutuhan pasar yang mengedepankan ilmu-ilmu terapan dan meminggirkan ilmu-ilmu yang menjelaskan fondasi ontologi dan epistemologi suatu disiplin ilmu. Akibatnya adalah tenaga dan peserta didik terjerumus dalam batas-batas pengetahuan yang sempit.

Perguruan tinggi, yang hakikatnya merupakan wadah bagi bekerjanya ilmu pengetahuan, tidak pernah dinilai berdasarkan ukuran mengenai kiprahnya terhadap perbaikan kondisi kehidupan masyarakat. Tampak seakan arti penting pendidikan dan ilmu pengetahuan hanyalah sebatas tempat untuk mendapatkan keterampilan dan kompetensi yang dibutuhkan guna mendapatkan pekerjaan. Sehingga cukup diukur dan direduksi berdasarkan reputasinya di kalangan pemberi kerja.

Tidak heran jika perguruan tinggi tidak bergairah untuk menggerakkan aktivitas keilmuan guna meretas transformasi sosial di masyarakat. Kalaupun ada, wujudnya didominasi oleh program-program pengabdian masyarakat dan penelitian yang berujung pada transformasi kehidupan masyarakat di berbagai wilayah menuju terciptanya kondisi-kondisi yang sesuai bagi kebutuhan akumulasi kapital skala nasional dan global. Program-program yang mendorong transformasi struktur ekonomi masyarakat yang menjadikan kehidupan mereka tersedot ke dalam rantai produksi kapitalis global.

Sebaliknya, laju pertumbuhan perguruan tinggi di Indonesia selama beberapa tahun terakhir terus saja digerakkan oleh semangat dan ambisi untuk menjadi universitas kelas dunia. Menjadi universitas yang terkemuka di dunia, namun tidak mampu memperbaiki kehidupan masyarakat di sekitarnya. Universitas yang tampak memukau di mata dunia, namun justru tak berarti di tengah kehidupan masyarakat sekitarnya yang terus digelayuti kemiskinan dan penindasan.

Demikianlah, kondisi dan arah perkembangan pendidikan di Indonesia yang diperbudak dan digerakkan untuk memenuhi pasokan tenaga kerja yang selaras dengan kebutuhan industri, justru menjadi semakin jauh dari peran pentingnya sebagai pijakan bagi transformasi sosial menuju kehidupan berkeadilan sosial.

Oleh sebab itu bingkai sempit neksus pendidikan dan pekerjaan harus segera ditinggalkan. Pendidikan, sejatinya, memiliki kekuatan dan cita-cita yang lebih besar ketimbang hanya diabdikan sebagai wadah produksi dan reproduksi tenaga kerja semata.

Paulo Freire (1970) dalam salah satu bukunya, Pedagogy of The Oppressed, menegaskan bahwa pendidikan harus diarahkan pada pembebasan idealisme melalui persinggungannya dengan keadaan nyata dan praksis. Konsep pendidikan yang diusung Freire berangkat dari konsepnya tentang manusia.

Baginya, manusia adalah incomplete and unfinished beings. Untuk itulah manusia dituntut untuk selalu berusaha menjadi subjek yang mampu mengubah realitas eksistensialnya. Menjadi subjek yang lebih manusiawi adalah panggilan ontologis (ontological vocation) manusia.

Dengan demikian, tugas utama pendidikan sebenarnya mengantar peserta didik menjadi subyek. Untuk mencapai tujuan ini, proses yang ditempuh harus melalui dua gerakan ganda, yaitu meningkatkan kesadaran kritis peserta didik sekaligus berupaya mentransformasikan struktur sosial yang menjadikan penindasan berlangsung.

Sebab, kesadaran manusia itu berproses secara dialektis antara diri dan lingkungan. Ia memiliki potensi untuk berkembang dan mempengaruhi lingkungan, tetapi ia juga dipengaruhi dan dibentuk oleh struktur sosial tempat ia berkembang.

Untuk itulah, pendidikan perlu diarahkan sebagai wadah berlangsungnya proses emansipasi dan transedensi tingkat kesadaran peserta didik, bukan belaka sebagai medium untuk memproduksi tenaga kerja siap pakai.

Eva Karina
Eva Karina
Dosen di Program Studi Hubungan Internasional, Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Jawa Timur dan Peneliti di Center for Identity and Urban Studies (CENTRIUS)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.