Jumat, Maret 29, 2024

Nasib Pendidikan Keagamaan (Islam) Kita

Oman Baiturrahman
Oman Baiturrahman
Mahasiswa Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jika dihitung berapa lembaga pendidikan Islam di Indonesia, tentu jumlahnya sangat banyak. Misalnya saja mengambil salah satu bentuk pendidikan Islam madrasah, menurut data Emis (Education Management Information System) tahun 2015/2016 Kementrian Agama mencatat terdapat 77.336 Madrasah di Indonesia. Itu belum termasuk pesantren.

Bisa dibayangkan berapa jumlah peserta didik yang belajar, tentu jumlahnya tak terhitung. Namun kuantitas lembaga pendidikan Islam yang begitu banyak tak ada nilainya jika tidak mampu melahirkan SDM yang berkualitas, baik dalam aspek moral (afektif) maupun pengetahuannya (kognitif).

Saat ini, seolah-olah atau lebih tepatnya ‘benar’ bahwa pendidikan keagamaan (Islam) kita sedang dihadapkan dengan tembok besar yang bernama modernitas (perkembangan sains dan teknologi dengan tanpa bermaksud untuk menolak semuanya) yang telah merubah moralitas manusia. Kesenjangan sosial antara si miskin dan si kaya, si pintar dan si bodoh semakin melebar.

Di Indonesia sendiri, banyak problem  yang kompleks dialami oleh pendidikan Islam. Misalnya, penulis ingin menspesifikasikan pada permasalahan hubungan antar dan intra umat beragama yang kian lama kian rentan terhadap perpecahan, kecurigaan berlebihan dan praktik intoleransi. Ditambah lagi masuknya arus media sosial, semakin manembah riuhnya hubungan keberagamaan kita saat ini. Di mana peran pendidikan Islam saat ini?

Ini boleh jadi disebabkan ada proses “transfer of knowladge” (pemindahan ilmu) yang salah dan tidak selaras dengan nilai (velue) yang dimaksud dalam pendidikan Islam itu sendiri. Karena berbicara pendidikan Islam tidak bisa berhenti pada aspek pengetahuan saja.

Problem Kesarjanaan 

Diakui atau tidak, saat ini masyarakat kita terutama para anak mudanya, banyak yang mengenyam pendidikan di luar negeri, mulai dari Timur seperti Mesir, Maroko, Sudan, Pakistan, hingga ke Barat Amerika, Inggris, Australia dll. Jumlahnya tak bisa dibilang sedikit. Perlu diakui juga perantaun mereka belajar sampai ke ujung dunia itu disebabkan ketidakpuasan terhadap pendidikan di Indonesia. Pendidikan kita belum mampu memfasilitasi disiplin keilmuan yang sudah berkembang jauh.

Pola hubungan antara tempat Ia tinggal dan dilahirkan (Indonesia) dengan tempat perantauan mereka ketika belajar, ini mengakibatkan akulturasi budaya ketika Ia pulang ke Tanah Air. Dalam konteks pemahaman keagamaan, ini menjadi problem yang pelik dan tak kunjung usai sampai saat ini.

Penulis beri contoh; “Si A” yang baru lulus dari Timur, (maksudnya orang-orang lulusan Timur; Mesir, Maroko, Sudan dll) merasa perlu ketika tiba di Tanah Air, memberikan pencerahan keagamaan kepada masyarakat. “Si B” yang baru lulus dari Barat (maksudnya orang-orang yang belajar keagamaan di Barat di beberapa Universitas yang membuka Islamic Studies) pun demikian merasa ada kebekuan keagamaan, sehingga Ia juga merasa perlu memberikan pencerahan.

Pada akhirnya  kedua orang ini memberikan pengaruh besar terhadap pemahaman keagamaan kita, hilang lah sifat “Ke-Indonesiaannya” akhirnya yang terjadi adalah truth claim terhadap paham keagamaannya masing-masing. Merasa paham keagamaannya paling benar. Padahal, Timur dan Barat adalah dua daerah di mana Islam memiliki warisan Intelektual yang luas. Bak luasnya lautan yang di dalamnya masih tersimpan mutiara dan emas, artinya masih bisa digali dengan menyelaminya. Jadi, sesungguhnya meperdebatkan Timur dan Barat adalah mewariskan kebodohan.

Abdurrahman Wahid (Gus Dur) salah satu Cendekiawan Muslim Indonesia yang juga Presiden RI ke-4 pernah memberikan gagasan cemerlang. Ia menyebutnya dengan “Pribumisasi Islam”. Sayangnya gagasan ini disalahfahami oleh oknum tertentu yang membenci kepribadiannya. Simple saja yang difahami Gus Dur;

yang ‘dipribumikan’ adalah manifestasi kehidupan Islam belaka, bukan menyangkut inti keimanan dan peribadatan formalnya. Tidak diperlukan Qur’an Batak dan Hadits Jawa. Islam tetap Islam, di mana saja berada. Akan tetapi tidak semuanya harus disamakan bentuk luarnya”(Wahid : 2019).

Lulusan Timur tak perlu merasa bahwa Ia harus memberikan pencerahan hingga merubah pola struktur ‘Ke-indonesiaannya’ cukup membawa nilai ‘ke-Islamannya’ dan dimanifestasikan dalam kehidupan ‘Ke-Indonesiaan’. Tak perlu juga menganggap mereka yang belajar Islam di Barat sebagai antek liberal, Isreal, atau mengagap sinis paham keagamaannya. Karena, perlu diakui jika lulusan kita lemah dalam studi riset ilmiah. Mereka yang belajar di Barat juga perlu mengakaji kitab-kitab classik ulama-ulama terdahuul, sebagai sumber dan refrensi.

Dan yang paling penting dan di butuhkan kita hari ini adalah dialog antar maupun intra keagamaan. Menyatukan persepsi dalam satu tujuan yaitu ‘Ke-Indonesiaan’. Dengan begitu, akan menampakan perbedaan yang harmonis dan sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan. Agama tidak dianggap lagi sebagai biang konflik dan kemunduruan peradaban manusia.

Berpikir ‘Out Of The Box’

Seorang jurnalis A. N Wilson dalam bukunya Againts Religion: Why We Should Try to Live Without It [Melawan Agama; Mengapa Kita Tidak Mencoba Hidup Tanpa Dia] mengungkapkan secara sinis bahwa agama adalah tragedi umat manusia. Ia juga menganggap bahwa agama yang mengakibatkan umat manusia terjerembab dalam peperangan, tirani dan penindasan. Pun demikian dengan Marx yang menggapa agama sebagai candu (Nugroho : 2019).

Dua pernyataan ini bisa dikatakan ‘benar’ sebagai sebuah kenyataan tetapi Ia ‘salah’ sebagai suatu ide. Karena pada dasarnya tidak ada agama yang mengajarkan umatnya untuk menindas sesama manusia. Yang salah dalam hal ini ialah orang yang beragama bukan agamanya.

Maka, disinilah peran pendidikan Islam. merubah pola fikir image masyarakat tentang agama. Bahwa agama tidak berhenti pada ritualitas dan formalisme ibadah. Di Indonesia kuantitas lembaga pendidikan Islam bisa terbilang banyak, seperti dijelaskan di atas. Artinya Indonesia sebetulnya punya modal sosial untuk merealisasikan pesan keagamaan dan kemanusiaan. Potensi ini perlu menjadi perhatian.

Masalahnya dalam konteks pendidikan Islam, Sekolah juga para Guru/Pendidik mau atau tidak berpikir “Out Of The Box’” berpikir di luar kebiasaan. Terutama dalam pola pengajarannya. Misalnya membiasakan para peserta didik untuk berbeda pandangan, dalam pengajaran Fikih sebagai contohnya, minimal memperkenalkan ada empat Imam Mazhab terkenal yang berbeda pandangan menyangkut soal urusan ke-Fikihan.

Contoh lainnya, memberikan pandangan terhadap sikap keberagamaan ketika ada temannya yang Non-Muslim sedang merayakan hari rayanya. Jangan ditakut-takuti akan merusak akidah, dan jangan menyembunyikan kebenaran jika itu termasuk masalah khilafiyah (perbedaan).

Itulah tantangan yang harus dihadapi oleh pendidikan Islam. Memberikan pandangan tentang pluralisme agama. Pluralisme bukan dalam artian sempit. Melainkan pluralisme dalam makna menerima adanya kenyataan berbeda dalam realitas sosial. Bukan juga dalam artian menyamakan agama. Konsep teologis setiap agama tentu jelas berbeda.

Namun apakah tidak mungkin menyamakan persepsi atau paling tidak menemukan titik temu hubungan antara manusia ‘muamalah’ melalui konsep agama. Disitulah tugas pendidikan Islam menjadikannya lebih sederhana untuk bisa difahami.

Oman Baiturrahman
Oman Baiturrahman
Mahasiswa Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.