“Condong salero ka nan lamak” (setiap selera akan memilih makanan yang enak). Sepenggal pepatah minang ini telah berwujud menjadi produk kuliner yang hebat. Bahkan, predikat kuliner paling enak di dunia berasal dari ranah pemilik “Rumah Gadang” ini. Siapa yang tidak kenal Rendang. Jika, anda ke Sumatera Barat tidak mencicipi kuliner ini, maka sama halnya menari tanpa musik, “bergerak di ruang sunyi”, akan terasa ada yang kurang dalam perjalanan anda.
Kuliner sangat mewarnai cara hidup dan budaya orang minang, sangat terlihat pada tata cara kehidupan sosialnya. Ketika berkunjung ke rumah seseorang dalam perkara adat, tamu wajib makan. Ketika saya ikut rombongan “batagak pangulu” (semacam acara pemberian gelar adat) sebuah prosesi yang runut tersaji dengan apik. Bagaimana orang minang memperlakukan makanannya, mulai dari cara penyajiannya, siapa yang menyajikan (manatiang), sambal wajib yang harus tersedia, tidak diperkenankan terletak dua sambal yang sama secara berdekatan, tata cara memulai makan dengan “pasambahan”. Acaranya sangat tertata dengan baik, saling sambut menyambut petatih-petitih disampaikan, sebuah gambaran diplomasi adat yang telah ada sejak lama.
Orang minang sangat mengerti betul bagaimana berdiplomasi, sehingga para tokoh minang banyak yang menjadi diplomat ulung khususnya di zaman perjuangan. Diplomasi yang diperlihatkan melalui sajian makanan adalah diplomasi dengan cara “lembut”. Setelah rasa telah dibaurkan, maka tidak ada persoalan yang tidak dapat dituntaskan. Sehingga ketika akan menggelar pertemuan, maka selalu diawali dengan aktifitas makan terlebih dahulu. Istilah “barundiang sasudah makan” (musyawarah dilakukan setelah makan) adalah sebuah realitas yang sangat nyata adanya. Sebuah praktek diplomasi yang sangat “cair”.
Saat ini, diplomasi semacam itu semakin berkembang. Memulai sesuatu pertemuan dari “meja makan” sudah banyak dilakukan. Anda juga bisa melihat bagaimana keputusan besar di mulai dari meja makan. Teranyar, bagaimana perombakan kabinet diawali dari jamuan di meja makan. Atau, kedatangan bintang sepak bola dunia, Mesut Ozil di Jakarta dijamu dengan makanan nusantara. Semuanya demi memenangkan hati dan pikiran untuk mencapai tujuan.
Memulai dengan makanan, menjadi strategi diplomasi untuk kepentingan politik global saat ini. Diplomasi melalui meja makan telah menjadi trend dan berkembang sebagai bagian dari “soft power diplomacy”. Di beberapa negara seperti yang dilakukan oleh Jepang, Perancis, China, Thailand dan sebagainya, kulinernya semakin diperkenalkan. Jepang melakukannya dengan meluncurkan kampanye sushi secara global, Thailand dengan “Thai Kitchen to the world” yang mampu membranding diplomasi negaranya.
Pemerintah belum lama ini juga melakukan kampanye “Rendang Goes to Europe”. Ini bukti bahwa kuliner dari Ranah Minang mampu berkontribusi untuk negara.
Kuliner juga gambaran dari perspektif budaya dan identitas negara. Kuliner secara empirik dapat menjelaskan bagaimana kemampuan kreasi tingkat tinggi dari masyarakat dalam meracik beraneka bahan alam, menjadi beragam rasa, cocok bagi selera, indah dipandang mata ketika dihidangkan dan menimbulkan kenangan untuk kembali mencoba, bahkan juga cara menyajikan serta menikmatinya menggunakan kebiasaan yang berbeda.
Seluruh rangkaian aktivitas berkreasi menghasilkan produk kuliner ini, yang menjadi kebiasaan dan dikerjakan secara turun temurun adalah buah karya budaya yang luar biasa.
Satu lagi karya budaya yang perlu diketahui lebih banyak lagi oleh masyarakat dunia selain rendang yaitu Nasi Kapau, sebuah kebanggan masyarakat Nagari Kapau Kecamatan Tilatang Kamang Kabupaten Agam Provinsi Sumatera Barat.
Nasi Kapau ini telah dikenal sejak abad 19, di masa Kolonial Belanda. Meskipun tidak terdapat referensi yang cukup tentang sejarah panjang Nasi Kapau, dengan adanya jejak dokumentasi lama, saya yakin kuliner ini telah berperan dalam liku perjuangan masyarakat Minangkabau. Dan, kuliner ini tentunya telah memberikan semangat juang pada masyarakat, dalam bermufakat, menyusun strategi dan membuat keputusan penting dengan baik serta telah menjalani bagian dalam proses berdiplomasi, di masa dahulunya.
Saat ini, Nasi Kapau telah mengisi banyak pasar-pasar kuliner baik pada pasar tradisional maupun pasar modern, dalam negeri maupun luar negeri. Ciri khas Nasi Kapau terdiri dari sambal berupa lauk pauk khas Kapau, gulai sayur nangka, gulai tunjang, gulai kol plus kacang panjang, gulai ikan dengan telurnya, ada juga gulai usus sapi yang diisi olahan telur dan tahu yang diberi racikan bumbu, lebih dikenal dengan sebutan gulai tambusu.
Di warung-warung Nasi Kapau biasanya tersusun dengan panci-panci terletak agak jauh dari jangkauan tangan, sehingga pelayannya menyendokan gulai ke piring makan pembeli menggunakan sendok gulai dibuat dari tempurung kelapa dengan tangkainya yang panjang. Dengan ke-khas-annya itu, Nasi Kapau berasa hadir bukan saja untuk dinikmati namun dapat memberi suasana nostalgia kehidupan di masa lalunya.
Nasi Kapau juga dapat disajikan dalam bentuk acara formal seperti acara kenegaraan. Meskipun secara biasanya nasi kapau disajikan dalam porsi jumbo, namun bisa juga disesuaikan dengan selera dan bentuk acara yang dilaksanakan. Dan, disitulah potensinya dapat merambat pada meja-meja rapat dan kegiatan diplomasi.
Bagi saya yang paling terkesan ketika mencicipi Nasi Kapau adalah rasa kuah dan gulai tambunsu-nya. Rasa asamnya yang pas dan otentik. Apalagi dinikmati secara bersama dengan teman-teman lainnya. Nasi Kapau akan membuat suasana keakraban semakin kental, seperti kuatnya rasa yang membekas pada indera perasa, sensasinya akan membawa pertemuan ke dalam hubungan emosional yang cukup membekas, dalam dan penuh kenangan.
Nasi Kapau harus diperluas informasinya, sampai ke penjuru dunia. Dan, dijadikan menu di setiap pertemuan. Tujuannya agar Nasi Kapau dinikmati oleh ribuan perut-perut baru dan membujuk mereka untuk datang dan mengenali budaya Indonesia.
Menurut saya, Nasi Kapau adalah sebuah potensi Gastrodiplomasi yang sangat luar biasa. Diplomasi yang diawali dari atas meja makan yang dapat menghasilkan keputusan yang sangat menentukan. Sekaligus sebagai cara memperkenalkan budaya negara. “The flag can follow the fork” yang diartikan bahwa makanan dapat membantu memberikan pemahaman terhadap budaya suatu bangsa.