Ahmad Syafii Maarif telah kenyang diganjar berbagai penghargaan, di dalam dan luar negeri. Mulai dari Magsaysay Award 2008 untuk kategori Perdamaian dan Toleransi Internasional (Peace and International Understanding), Habibie Award 2010, hingga Tahir Foundation Award 2017 untuk kategori life achievement award. Pada 2020, Buya Syafii dinobatkan sebagai People of The Year kategori lifetime achievement dalam HUT ke-20 Metro TV. Pada November 2021, UIN Imam Bonjol memberi penghargaan atas pemikirannya tentang relasi Islam dan negara yang menjadi fondasi Islam moderat di Indonesia.
Kali ini, Buya Syafii dipilih sebagai salah satu penerima penghargaan dalam ajang Bike To Work Indonesia Awards 2021. Komunitas Bike To Work Indonesia memberikan beberapa penghargaan sebagai wujud apresiasi bagi tokoh individu, komunitas, lembaga dan instansi yang dinilai telah turut mendukung budaya bersepeda. Para penerima penghargaan ini dinilai aktif menerapkan gaya hidup dan memberikan kontribusi positif dalam pemahaman tentang baiknya budaya bersepeda.
Penghargaan ini diberikan dalam sembilan kategori, yaitu: kategori insan yang berdedikasi kepada budaya sepeda; kategori ruang publik yang ramah sepeda; kategori gedung yang ramah sepeda; kategori media massa/pers yang ramah sepeda; kategori unit usaha yang berdedikasi kepada budaya bersepeda; kategori B2W konsisten dan dedikasi >10 tahun; kategori komunitas yang konsisten dan berdedikasi menginspirasi budaya bersepeda di Indonesia; kategori lifetime achievement award; dan kategori kota ramah sepeda.
Di kategori insan yang berdedikasi kepada budaya sepeda, penghargaan tokoh inspirasi dinobatkan kepada Ach. Budi S dan Rahmat Suprihat; dari TNI/POLRI dipilih Laksamana Pertama Muda Elka Setyawan; tokoh perempuan diberikan kepada Aristi Madjid; tokoh seniman/artis diberikan kepada Nugie dan Ade Putri. Sementara bagi tokoh rohaniawan yang dinilai konsisten dalam mendukung budaya bersepeda diberikan kepada Buya Ahmad Syafii Maarif.
Penghargaan ini tidak salah alamat. Publik tahu keseharian Buya Syafii. Sampai saat ini, Buya Syafii yang sudah berusia 87 tahun masih konsisten bersepeda dalam jarak dekat dan sedang. Sejak kecil di kampungnya Sumpur Kudus, Buya Syafii terbiasa menempuh perjalanan dengan menggunakan sepeda atau berjalan kaki. Ketika di Yogyakarta, Buya Syafii menggunakan sepeda dari rumah kontrakannya di Kotagedhe untuk menuju ke banyak tempat, mulai ke kantor Suara Muhammadiyah hingga ke kampus Universitas Negeri Yogyakarta.
Buya Syafii juga terinspirasi dari budaya bersepeda para insan akademisi di Jepang. “Komunitas sepeda ini hebat, karena mengajak orang untuk bergerak dengan sepeda kemana pun. Di kampus-kampus di Jepang, itu lazim dan jamak ribuan orang bersepeda. Hebat jika kita di sini bisa meniru hal baik ini,” kata Buya Syafii di sela-sela menerima kunjungan perwakilan Bike To Work Indonesia Korwil Daerah Istimewa Yogyakarta di rumahnya, yang bersilaturahim untuk menyerahkan piagam dan plakat penghargaan, 2 Februari 2022.
Penghargaan ini punya urgensi karena alat transportasi tak bermesin yang ramah lingkungan ini mulai ditinggalkan oleh orang-orang modern. Padahal pada zamannya, sepeda menjadi simbol kemajuan teknologi dan modernisasi, yang mampu menaikkan derajat sosial para penggunanya.
Penelusuran Majalah Intisari edisi Juni 2021 menemukan bahwa pada periode 1910-1970, sepeda menjadi alat transportasi yang begitu populer, dan bahkan digunakan juga dalam aktivitas kolonial, dakwah, hingga khotbah. Di masa itu, yang memiliki sepeda hanya kalangan kelas menengah atas yang dianggap cukup berada, sebab harga sepeda yang masih tidak terjangkau oleh rakyat jelata.
Belakangan, sepeda telah menjadi lambang kesederhanaan, kerap digunakan oleh kelas sosial tertentu yang tidak mampu membeli sepeda motor atau mobil. Orang yang bersepeda diidentikkan dengan orang yang hidup kekurangan. Selain sebagai lambang kesederhanaan atau bahkan kemiskinan, sepeda belakangan juga bergeser maknanya menjadi alat olahraga bagi kalangan kelas menengah atas. Sepeda bukan lagi sebagai alat transportasi, tetapi sekadar digunakan di hari weekend untuk berolahraga sambil menikmati alam. Terkadang, sepeda diangkut dengan mobil dan baru dikayuh dalam jarak dekat ketika sudah tiba di tempat tertentu.
Budaya sepeda memang telah berubah. Sepeda ditemukan pertama kali oleh Karl von Draise pada 1817 dalam bentuk yang masih sangat sederhana dan belum terlalu efektif. Perlahan sepeda mengalami beberapa modifikasi yang dilakukan dengan mempertimbangkan: kecepatan, kenyamanan, keamanan, dan daya tahan. Meskipun tidak lagi sama persis dengan sepeda pertama yang ditemukan ratusan tahun yang lalu, bentuk sepeda hari ini tidak mengalami banyak perubahan. Yang banyak berubah adalah kebiasaan manusia, tidak lagi menempatkan sepeda sebagai prioritas, di tengah mobilitas yang begitu padat dan tanpa jeda.
Bagi Buya Syafii, bersepeda merupakan aktivitas rutin yang telah mendarah daging selama puluhan tahun. Tidak ada yang luar biasa dengan bersepeda, rasanya tidak perlu mendapat penghargaan khusus. Namun masyarakat perlu keteladanan. Ketika perubahan iklim dan polusi udara semakin parah, bersepeda adalah salah satu jawaban. Ketika jalanan semakin padat merayap oleh mobil pribadi, sepeda menjadi salah satu solusi. Ketika orang-orang modern semakin mudah sakit-sakitan yang disebabkan oleh kebiasaan kurang aktivitas gerak, sepeda bisa menjadi salah satu pilihan.
Bersepeda merupakan jenis olahraga yang sering direkomendasikan bagi yang baru memulai berolahraga, mengalami obesitas, atau orang yang rentan cedera. Olahraga ini dinilai cenderung mudah dilakukan dan minim risiko terkena cedera, sehingga direkomendasikan bagi siapa saja. Jumlah kalori yang terbakar saat bersepeda, tergantung kepada durasi waktu, jarak tempuh, dan kecepatan mengayuh pedal sepeda. Seperti halnya olahraga kardio lainnya, bersepeda dapat menguatkan otot jantung dan paru-paru, memperbaiki sirkulasi darah, serta membantu mengurangi risiko penyakit kardiovaskular. Bahkan, bersepeda juga diketahui dapat meningkatkan produksi hormon dopamin yang menopang perasaan bahagia.