Jumat, Oktober 4, 2024

Narsisme Kolektif dan Kebinekaan Kita

Audi Ahmad
Audi Ahmad
Sarjana Psikologi Unair Dapat dihubungi lewat akun instagram: audiahmad_

Pernah mendengar, “Jika kelompok saya menguasai pemerintahan, negara akan dalam kondisi yang lebih baik!” atau “Kelompok saya adalah kelompok terbaik dan pantas untuk mendapat penghormatan dari kelompok lain!”?

Ungkapan-ungkapan tersebut adalah bentuk dari narsisme kolektif. Mungkin kita menjadi lebih sering mendengarnya akhir-akhir ini, entah itu berkaitan dengan tahun politik atau tidak, tetapi nampaknya fenomena ini mengalami eskalasi.

Salah satu contoh lain adalah slogan “Make America Great Again” dari Donald Trump ketika berkontestasi dalam pemilihan Presiden Amerika Serikat pada tahun 2016. Trump menggunakan strategi menyerang yang kelompok lain yang dianggap berbeda, seperti kelompok imigran atau kelompok agama tertentu.

Berbeda, tetapi tetap berkaitan, dengan etnosentrisme, narsisme kolektif tidak hanya membahas tentang etnis dan budaya, melainkan pula tentang agama, tanah air, dan negara.

Narsisme kolektif melekat pada suatu kelompok dan menganggap kelompoknya adalah kelompok yang terbaik. In-group dipersepsikan memiliki keagungan, tetapi sebetulnya memiliki group self-esteem yang rendah. Kelompok lain dianggap mengancam eksistensi dari in-group, ketidaksediaan untuk memaafkan kelompok lain, dan cenderung agresif terhadap kelompok lain (de Zavala, Cichoka, Eidelson, Jayawickreme, 2009).

Kelompok dengan narsisme kolektif cenderung berprasangka terhadap kelompok lain, tetapi hanya terhadap kelompok tertentu. Contohnya, orang-orang Amerika berprasangka terhadap orang-orang Arab, tetapi tidak kepada orang Eropa (de Zavala & Cichoka, 2012)Contoh lain adalah orang-orang di Indonesia kerap berprasangka terhadap orang Tionghoa, tetapi tidak dengan orang Arab.

Narsisme kolektif pun dapat mengantarkan pada siege mentality atau dalam terjemahan kasarnya adalah mentalitas terkepung. Siege mentality adalah keyakinan bahwa seluruh dunia berperilaku negatif terhadap in-group.

Dalam studi di Polandia, kelompok nasionalis dengan narsisme kolektif mengalami siege mentality tersebut dengan merasa bahwa kelompok Yahudi “mengepung” keberadaan orang-orang Polandia, terlebih kelompok Yahudi diyakini akan mengancam identitas nasional dan akan menguasai dunia (de Zavala & Cichoka, 2012).

Pernah mendengar kasus serupa di Indonesia? Tentu pernah, hehe. Contohnya adalah ketiak beberapa anggota dari sebuah kelompok merasa terancam dengan keberadaan tenaga kerja asing, khususnya dari Tiongkok. Salah satu kasusnya adalah ketika berita yang beredar mengenai adanya serbuan TKA asal Tiongkok di Morowali, ternyata setelah diusut berita tersebut adalah hoaks.

Dengan keragaman yang dimiliki Indonesia, apakah narsisme kolektif akan terus semakin meningkat? atau justru keragaman tersebut nantinya hanya akan menjadi sebuah kisah masa lalu belaka? Jawabannya ada pada diri kita sendiri, siap atau tidak untuk terus menjaga keragaman atau kebinekaan Indonesia.

Audi Ahmad
Audi Ahmad
Sarjana Psikologi Unair Dapat dihubungi lewat akun instagram: audiahmad_
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.