Jumat, Maret 29, 2024

Mutual Aid dan Covid-19

Krisnaldo Triguswinri
Krisnaldo Triguswinri
Akademisi & Peneliti

Covid-19 menyebabkan menumpuknya banyak korban jiwa dalam ekalasi yang besar di satu sisi, dan menyebabkan krisis ekonomi di sisi yang lain. Implikasi kematian warga akibat terjangkit virus korona tidak sekadar meninggalkan kedukaan, tetapi juga menghasilkan perundungan oleh masyarakat; penolakan pemakaman, rasisme, serta kecurigaan yang kian hari kian menggelisahkan kerukunan antar warga lokal.

Selain itu, Pemutusan Hubungan Kerja sepihak kelas pekerja oleh korporasi, terputusnya akses masyarakat miskin kota terhadap kebutuhan pangan, kesulitan banyak mahasiswa membeli kuota demi kebutuhan penyelenggaraan kuliah online, pelunasan uang sewa kos dan pembayaran Uang Kuliah Tunggal (UKT) akibat krisis finansial orang tua, serta penumpukan tagihan kredit akibat penurunan daya beli kelas menengah yang disebabkan oleh pemotongan pendapatan bulanan. Fenomena tersebut merupakan satu realitas sosiologis yang muram yang menjadi konsumsi harian kita dalam jagat media massa dan sosial.

Sebagian orang secara masif sudah sedang menyelenggarakan dapur umum di banyak kota. Dapur umum merupakan aktivitas kolektif yang diajukan sebagai alternatif untuk mengatasi terjadinya krisis pangan. Dapur Sosial Bandung dan Dapur Umum Pusat Sosial dan Tunawisma Otonom di Salatiga, misalnya. Konsisten mendistribusikan bahan olahan makanan kepada pekerja informal dan masyarakat miskin kota.

Selain menerima bantuan donasi berbentuk uang atau bahan olahan, Solidaritas Sosial Bandung memanfaatkan lahan yang tesisah untuk ditanami sayuran. Tindakan tersebut dilakukan sebagai proyeksi terhadap ketahanan pangan dapur sosial mereka. Selain itu, Dapur Umum PSTO di Salatiga justeru membangun kerjasama dengan para petani Perkebunan Kopeng di Salatiga dan kelompok punk dalam keberlangsungan dapur mereka; memasak sesuai kemampuan, dan memberi makanan sesuai kebutuhan.

Sebagain yang lain secara populer menggalang donasi digital. Fokus utamanya sama, yaitu, mengorganisir peringanan beban penderitaan kelas terdampak Covid-19. Hasil donasi yang digalang secara digital mewujud dalam bentuk sembako atau masker yang kemudian didistribusikan kepada masyarakat di tempat dimana solidaritas itu diberlangsungkan. Solidaritas semacam ini biasanya diinisiasi oleh organisasi mahasiswa.  Dengan kata lain, solidaritas sosial harus segera diperluas. Tidak hanya pada kalangan mahasiswa, aktivis sosial, dan atau organisasi masyarakat sipil. Tetapi juga pada keluarga inti kita di rumah.

Dalam masa pandemi, tunawisma dan gelandangan menjadi salah satu kelas paling rentan terjangkit virus corona. kebijakan pemerintah yang meminta setiap orang untuk #dirumahaja menjadi tidak adil bagi tunawisma dan gelandangan yang tanpa rumah.

Selain itu, aktivitas kerja harian mereka yang, misalnya, dilakukan dalam rangka memenuhi kebutuhan harian, kerap berlangsung tanpa dilengkapi oleh Alat Pelindung Diri (APD) dan keterbatasan pengetahuan kesehatan. Hilangnya pemasukan harian karena pembatasan sosial total, menyebabkan tunawisma dan gelandangan menjadi sulit mengakses bahan makanan. Sayangnya tunawisma dan gelandangan sering lepas dari diskursus percakapan solidaritas publik. Oleh karena itu, solidaritas mendesak harus segera diorientasikan pada mereka.

Belakangan muncul Solidaritas Sosial Keluarga dalam rangka mendistribusikan makanan kepada orang-orang yang tidur di jalanan. Solidaritas Sosial Keluarga bersepakat untuk memanfaatkan bahan-bahan dapur yang tersisah. Seperti beras, telur, bawang, kecap, garam, serta mengusahakan lauk-sayur; ayam dan buncis, sebagai bahan olahan. Itu merupakan bentuk kepedulian keluarga sebagai kelas terdampak Covid-19 dan mengharapkan hal tersebut dapat menjangkit kelompok keluarga yang lain untuk melakukan solidaritas serupa.

Secara lokal, bila solidaritas keluarga diperluas, maka hal tersebut dapat membantu tunawisma dan gelandangan yang berlokasi di daerah dengan disparitas ekonomi yang jomplang, seperti di Sumatra atau daerah timur lainnya. Dengan kata lain, kita bisa meminimalisir kelaparan massal akibat krisis.

Selain itu, ketika gelombang protes mahasiswa dari beragam universitas di Indonesia membesar dalam lini masa twitter dengan mengajukan keberatan terhadap pembayaran UKT sehingga mendesak kampus dan pemerintah untuk membuat kebijakan penurunan uang kuliah atau bahkan pembebasan pembayaran, menariknya sebagian orang di Magelang justeru mengorganisir solidaritas horizontal dengan menghimpun para aktivis sosial untuk menulis.

Hasil tulisan tersebut kemudian dipromosikan sebagai buku; Tuguran, in Memoriam. Hasil 100% keutungan penjualan diorientasikan untuk membantu Mahasiswa di Magelang yang kesulitan membayar UKT atau mengakses kebutuhan pokok dalam rangka memenuhi kebutuhan harian. Peran keterlibatan dalam hajat agenda solidaritas tersebut dilaksanakan secara sukarela, inklusif dan longgar. Pun, didasarkan pada satu prinsip; kita bisa keluar dari krisis, bila saling bahu-membahu, dan tidak sikut-menyikut.

Solidaritas horizontal berbeda dengan kebijaksanaan politisi, charity atau aksi filantropis. Kebijakan politisi dalam membantu korban terdampak Covid-19 adalah tidak benar-benar bijaksana karena kuatnya intensi politik dalam donasi; kepentingan statistik pemilu atau pilkada. Selain itu, charity selalu diandalkan pada borjuis yang memiliki akses terhadap sumber daya ekonomi karena dapat menggunakan fasilitas keuangan hasil akumulasi kapital dari penghisapan kerja buruh untuk membantu mereka yang terdampak.

Seperti kebijaksanaan politisi dan charity para borjuis, agenda filantropis adalah sama. Yaitu, kebaikan hati industri perusak lingkungan dalam memanfaatkan corporate social responsibility. Hal-hal tersebut tidak lain adalah delusi. Mengapa? Karena merekalah yang menyebabkan terjadinya ketimpangan kelas dan kehancuran ekologi.

Solidaritas horizontal adalah solidaritas sesama kelas terdampak akibat penyebaran pandemi Covid-19. Bukan berarti yang memberi lebih tinggi dari yang menerima. Dan sebaliknya, yang menerima lebih rendah dari pada yang memberi. Solidaritas horizontal hendak mengorganisir kesadaran kelas yang, misalnya, semua orang bisa segera terbebas dari kelaparan, kecemasan dan rasa takut bila kohesi sosial antar manusia dipererat dan memperlebar skema solidaritas berdasarkan bentuknya yang beragam. Tentu dibasiskan pada satu prinsip yang emansipatoris.

Kedaruratan yang disebabkan oleh krisis harus dilihat sebagai bagian yang saling berkaitan dan berhubungan dalam satu kesatuan. Tidak hanya pada kedudukan Covid-19, tetapi ilusi kebijakan politik elit yang sejak awal tidak berpihak pada pesakitan kaum miskin serta penghancuran ekologi-sosial yang disebabkan oleh dominasi bisnis yang agresif. Oleh karena itu, solidaritas warga terhadap warga yang lain, kendati semua kita adalah terdampak, harus diamplifikasi. Dengan itu, kita bisa segera keluar dari kesulitan sekaligus meminimalisir tutorisasi politik dan bisnis.

Krisnaldo Triguswinri
Krisnaldo Triguswinri
Akademisi & Peneliti
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.