Belakangan ramai diperbincangkan tentang mural yang bergambar Joko Widodo dengan tulisan “404: Not Found” di Batuceper Tangerang, kemudian di Tigaraksa dengan hanya tulisan “Tuhan Aku Lapar, dan mural yang bertuliskan “Dipaksa Sehat di Negara Sakit” di Pasuruan Jawa Timur telah mendapatkan tindakan yang dinilai anti kritik atau “Paranoid. Kritik” hingga berujung kepada penangkapan oleh aparat karena tidak dianggap kritikkan yang tidak sesuai dengan koridor hukum.
Mural-mural tersebut direspon dengan pengecatan ulang menggunakan cat hitam dan kuning dan penggantian gambar. Hal tersebut adalah berlebihan jika mengingat bahwa mural hanyalah bagian dari perkembangan kesenian di dunia dan bagian dari bentuk aspirasi dan ekspresi yang mencerminkan keadaan yang terjadi di masyarakat.
Hal yang membuat saya membingungkan adalah mengapa penguasa merasa tersindir akan coretan-coretan dinding ini?, ini adalah pesan dengan jelas yang seharusnya dijadikan bahan untuk koreksi demi membangun Indonesia lebih baik. Bukan malah ketakutan dan memburu para seniman tersebut untuk dimasukkan ke dalam daftar hitam.
Takut yang tidak berdasar karena takut kepada tulisan dan gambar yang bisa mempengaruhi pandangan rakyat lainnya yang belum sadar atau kesusahan dalam hidupnya sekarang. Jikalaupun takut, harusnya takut kepada rakyat kecil yang sedang kesusahan, kelaparan, kemiskinan, kematian, dan segala-galanya yang terus dihadapkan di setiap harinya. Gambaran ketidakbecusan itu harus diterima dengan lapang dada dan jiwa besar dan harusnya berterimakasih karena rakyat masih mau mengingatkan pemimpinnya.
Ditilik dari sejarah perkembangan mural di dunia, Seni mural sebenarnya sudah ada sejak zaman dahulu kala. Mural sudah ada sejak 31.500 tahun yang lalu tepatnya pada masa pra sejarah. Lukisan yang menggambarkan gua di Lascaux yaitu daerah Selatan Perancis. Dibuat menggunakan sari buah sebagai cat air. Lukisan di dinding terus bermunculan hingga di zaman Paleolitik Atas seperti yang ditemukan di Mesir pada 1350 SM, di Pompei pada 100 SM hingga 79 SM dan Milan pada 1700-1600 SM.
Seiring waktu, lukisan mural terus berkembang hingga akhirnya muncul lukisan mural menggunakan teknik fresco secco (campuran cat air dan kapur) di Kerala pada abad ke-14. Seni lukis dinding pada plester basar ini berakar di Italia sekitar tahun 1300.
Sejarah mencatat banyak kasus seni protes yang ditemukan pada awal 1900-an, seperti Guernica karya Picasso pada tahun 1937, Mural yang bernama Gurnica y Luno saat terjadinya Perang Sipil di Spanyol. Tujuan dibuatnya mural ini yaitu untuk memperingati peristiwa pengeboman oleh Tentara Jerman yang terjadi di sebuah desa kecil dimana kebanyakan di antara mereka yaitu masyarakat Spanyol.. Hal ini memunculkan dalam beberapa dekade terakhir telah banyak mempengaruhi seniman mengadopsi seni protes sebagai gaya untuk menyampaikan pesan kepada publik.
Suzanne Lacy, dalam tulisannya Mapping the Terrain: New Genre Public Art, yang diterbitkan Bay Press Inc pada 1995 menyebutkan seni aktivis berawal dari iklim artistic dan politik tertentu. Menurutnya seni protes adalah media yang dapat diakses oleh semua kelas sosial ekonomi dan merupakan alat inovatif untuk memperluas struktur peluang.
Pengertian Mural menurut Bahasa yaitu mural berasal dari Bahasa latin yaitu dari kata “Murus” yang berarti dinding. Secara luas pengertian mural adalah menggambar atau melukis di atas media dinding, tembok atau media luas lainnya yaitu bersifat permanen.
Mural merupakan seni urban yang memanfaatkan tembok atau dinding sebagai medianya. Selain sebagai seni murni, mural biasanya mengandung pesan dari masyarakat urban melalui gaya Bahasa visual yang mereka sajikan. Secara umum, bentuk protes melalui seni telah dimulai sejak awal abad ke-20 dan telah berkembang pesat hingga sekarang.
Mural memiliki peran penting dalam mendokumentasikan peradaban. Banyak mural kuno menceritakan bagaimana budaya di zaman itu, berburu, tradisi dan keagamaan penduduk di zamannya. Banyak lukisan di dinding di dunia Tibet, baik kuno maupun kontemporer dibuat sebagai bagian dari praktik Buddhis yang meditative dan reflektif. Sementara, selama periode Baroque Prancis, Jerman, dan Inggris, mural difungsikan sebagai pelindung seni dan royalty yang kaya memiliki lukisan dinding dan alegoris di langit-langit dan rumah serta istana merdeka.
Dalam sebuah jurnal yang dimuat di jurnal Ilmiah Widya Sosiopolitika berjudul Street Art Sebagai Komunikasi Politik: Seni, Protes, dan Memori Politik, Gede Indra Permana dan Azhar Irfansyah menyebut mural atau graffiti merupakan salah satu praktik seni jalanan yang mengisi ruang publik. Karya-karya seni graffiti yang awalnya tumbuh di tembok-tembok kota ini kemudian menjadi ikon protes terhadap situasi sosial dan politik di Indonesia. Lebih spesifik gambar mural bersifat lebih bebas dan luas.
Di Indonesia, kemunculan mural dapat ditemukan paling tidak sejak periode revolusi. Mural-mural ini dapat ditemukan di dinding-dinding kota yang sedang bergejolak, seperti tullisan di gerbong-gerbong kereta yang berisi seruan upaya propaganda mendukung kemerdekaan Indonesia.
Perkembangan kesenian termasuk mural tidak bisa dilepaskan oleh basis ekonomi dan sistem politik di setiap negara. Kesenian tidak akan bisa berdiri sendiri meski seindah apapun itu dan tidak akan menjadi indah seperti bunga yang bermekaran apabila tidak memiliki makna perjuangan, karena seni seperti halnya mural adalah salah satu alat politik, atau alat perjuangan yang mewakili masing-masing golongan.
Kesenian dalam hal ini mural harus mampu mengekspresikan keadaan nyata. Apabila yang terjadi adalah kemiskinan, kelaparan, penyakitan maka tugas seniman menyuarakan lewat karyanya yang menggambarkan keadaan tersebut, begitu juga hal-hal lain yang sifatnya realistis dan bukan malah seni yang dianggap dan diakui adalah seni yang hanya dengan seleranya si penguasa.