Jumat, April 26, 2024

Muhammadiyah, Rekonstruksi Jihad Politik

Demokratisasi yang berkembang pesat sejak reformasi 1998 berdampak terhadap keterbukaan dan kebebasan dalam hampir semua lini kehidupan. Selain melahirkan budaya egalitarian, demokratisasi dalam politik Indonesia saat ini membangkitkan feodalisme  baru (neo-feodalisme) dalam bentuk politik dinasti di partai politik dan pemerintahan, elite politik yang berperilaku kebangsawanan, kekuasaan “raja-raja lokal” di daerah, dan dominasi kekuatan ekonomi kapital.

Neo-feodalisme juga tumbuh dalam lembaga dan organisasi agama yang melahirkan kultus individu yang relasi parokhial  yang ditopang pemahaman dan budaya keberagaman tradisional-konservatif. Proses demokrasi yang serba prosedural telah mereduksi esensi berdemokrasi, bersamaan itu tumbuh egoisme elite, kelompok dan golongan yang menjadikan penyelenggaraan pemerintahan sering kehilangan objektivitas dan prinsip meritokrasi.

Neo-feodalisme dan budaya parokhial merupakan salah satu penghambat kemajuan. Rakyat dan umat di bawah  seringkali dirugikan dan dibuat tidak berdaya dalam budaya neo-feodal dan parokhial tersebut.

Karena itu diperlukan perubahan regulasi politik yang memungkinkan masyarakat melakukan mobilitas sosial berdasarkan sistem meritokrasi dan budaya egalitarian dalam bidang politik, ekonomi dan kebudayaan.

Perlu pembatasan kewenangan politik kepala daerah, kepemilikan aset oleh perseorangan, penguatan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), dan peningkatan partisipasi public dalam berbagai bidang kehidupan publik dan institusi-institusi civil society perlu mengawasi penyelenggaraan pemerintahan dari pusat hingga daerah agar tercegah dari praktik politik dinasti, aji mumpung kelompok, korupsi, dan penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan perseorangan dan kelompok.

Beranjak dari hal tersebut maka perlu-Nya kita memahami atau mengkontekstualisasikan jihad politik Muhammadiyah untuk menjawab persoalan korupsi dengan membangun budaya egalitarian dan sistem meritoktrasi.

Oleh sebab itu, salah satu hal penting hikmah 107 tahun Milad Muhammadiyah adalah jihad politik yang lahir dari kesadaran warga Muhammadiyah bahwa meritokrasi kepemimpinan, sehingga dalam kepemimpinan tidak lahir generasi koruptor. Solusi dari isu kebangsaan sekarang adalah pendelegasian kader-kader Muhammadiyah untuk mengisi posisi strategis di pemerintahan.

Neo-Politik Muhammadiyah

Memang sangat dilematis ketika berbicara Muhammadiyah dan politik karena akhir-akhir Muhammadiyah dalam sudut pandang politik kehilangan arah, tetapi sangat kuat dalam pengembangan masyarakat dan kader-kader dalam meritokrasi politik. Perdebatan yang lumayan panas misalnya Muhammadiyah berpolitik kah?

Lalu, masing-masing individu akan menjawab dengan sudut pandang dan keadaan statis. Ada yang berpendapat bahwa Muhammadiyah berpolitik praktis, ada juga yang berkata bahwa Muhammadiyah tidak berpolitik.

Bahwa perlu di tegaskan bahwa tidak Muhammadiyah berpolitik atau tidak, yang terpenting adalah partisipasi politik Muhammadiyah berdampak bagi kemajuan bangsa dan negara.Mahsun dalam bukunya, Muhammadiyah sebagai Gerakan Tajrid dan Tajdid (2017), menjelaskan bahwa Khitah Ujung Pandang (1971) merupakan khitah yang paling sering dirujuk sebagai pedoman atau acuan pokok dalam menentukan sikap politik organisasi.

Poin pertama menyatakan, Muhammadiyah adalah gerakan dakwah Islam yang beramal dalam bidang manusia dan masyarakat, tidak mempunyai hubungan organisatoris dengan dan tidak merupakan afiliasi dari satu partai atau organisasi apa pun.

Kedua, setiap anggota Muhammadiyah dapat tidak memasuki atau memasuki organisasi lain sepanjang tidak menyimpang dari AD, ART, dan ketentuan lain dalam persyarikatan.Di dalam Khitah Denpasar (2002), sikap Muhammadiyah terhadap politik dipertegas. Pertama, melalui kegiatan politik yang berorientasi pada perjuangan kenegaraan (real politics) sebagaimana dilakukan oleh kekuatan politik lainnya.

Kedua, kegiatan politik tidak langsung (high politics) yang bersifat memengaruhi kebijakan negara dalam perjuangan moral (moral force) untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik di tingkat bangsa dan negara. Pada poin 6 dari 9 poin yang ada juga ditegaskan kembali bahwa Muhammadiyah tidak berafiliasi dan tidak mempunyai hubungan organisatoris dengan kekuatan politik maupun organisasi mana pun.

Meskipun demikian, Muhammadiyah secara kelembagaan tidak melarang kader-kadernya untuk berpolitik, asalkan tidak berpolitik praktis. Hal menarik misalnya antara Muhammadiyah dan PAN sama-sama berlambang matahari, lalu apakah menjadi tolok ukur bahwa PAN adalah partai Muhammadiyah?

Sangat banyak sekali kader-kader Muhammadiyah yang terjun ke politik dengan berbeda partai misalnya Amien Rais di PAN, Din Syamsuddin dan Hajriyanto Y. Thohari berafiliasi di Golkar, Riza Ul Haq di PSI dll.Ketua PP Muhammadiyah Prof Dadang Kahmad juga menegaskan bahwa Muhammadiyah secara kelembagaan tidak akan pernah bermain di wilayah politik praktis.

Jika ada orang struktural yang menjadi caleg, misalnya, dia harus mengundurkan diri dari kepengurusan (bukan keanggotaan).Wakil Ketua PW Muhammadiyah Jawa Timur Nadjib Hamid pernah menulis opini di Jawa Pos  dengan judul Jihad Politik Hadang Politik Transaksional.

Dalam tulisan itu, tokoh Muhammadiyah yang dikehendaki dan didorong kader-kadernya untuk maju dalam kontestasi DPD ini menyatakan bahwa memasuki usia ke-106 ini persyarikatan menelurkan spirit baru, yaitu jihad politik. Kebijakan jihad politik itu lahir dalam konsolidasi nasional yang digelar Maret 2018.

Jihad politik ini diejawantahkan bahwa kader-kader yang dinilai punya kapasitas dan integritas dalam politik untuk ikut berlaga dalam kontestasi Pemilu 2019 melalui parpol-parpol yang dianggap sevisi dengan persyarikatan.Keputusan jihad politik itu pun membuat Muhammadiyah seperti berada di persimpangan jalan.

Apakah keputusan tersebut sebatas untuk menandai spirit gerakan yang bebas tafsir seperti jihad-jihad lainnya (ekonomi, konstitusi, digital), ataukah langsung menjadi instruksi yang sifatnya top down. Apakah warga Muhammadiyah patuh dan Taat dengan calon yang diajukan oleh Muhammadiyah. Seakan-akan jihad politik itu paradoks hingga ke Grassroots.

Barangkali memang banyak kader yang sepakat dengan spirit jihad politik ini, yang bertendensi ke wilayah real politics. Namun, saya yakin tak kalah banyak pula yang menganggap bahwa Muhammadiyah lebih baik tetap mengutamakan bergerak ke high politics (politik adiluhung) seperti cita-cita di awal.

Doktrin high politics mengisyaratkan, Muhammadiyah sebagai organisasi sosial keagamaan tidak akan pernah terlihat dalam politik praktis. Muhammadiyah akan lebih berkonsentrasi pada gerakan dakwah amar makruf nahi mungkar sehingga tercipta masyarakat madani (civil society) yang sejahtera, adil, dan makmur.

Dalam kaitan ini, High politics Muhammadiyah adalah gerakan moral dalam rangka turut serta memberikan sumbangsih kepada agama dan negara. Muhammadiyah tidak menghamba kepada salah satu partai politik, dengan kata lain Muhammadiyah Siap kapan saja ketika dibutuhkan oleh negara.

Pada akhirnya petuah Haedar Nashir bahwa Muhammadiyah bukanlah Monolitik, Muhammadiyah selalu cair sehingga tidak seorang, partai, golongan pun yang bisa memaksimalkan kehendak tersebut.

Pada waktu yang lain Sa’ad Ibrahim mengatakan bahwa Muhammadiyah tidak boleh ikut andil dalam politik praktis, kalaupun ada keuntungannya hanya jangka pendek, sedangkan berdakwa itu sepanjang Hayat. Hal ini sekaligus menjadi otokritik Muhammadiyah tetap mengutamakan politik adil luhung alih-alih politik praktis.

Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.