Kamis, April 25, 2024

Muhammadiyah, NU, dan Kerusakan Lingkungan Hidup

Adi Fauzanto
Adi Fauzanto
Pusat Studi Sosial Demokrasi dan Anti Korupsi

Melihat Indonesia dari sudut geografis menjadikan lingkungan hidup sebagai objek dari keberlangsung hidup masyarakat Indonesia, sebut saja seperti tempat tinggal, perkebunan, pertanian, hingga sumber daya alam.

Dalam hal ini peran dan campur tangan pemerintah dalam membuat kebijakan tentang lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan, seperti ekonomi hijau. Namun permasalahannya tetap ada, dari pencemaran hingga kerusakan lingkungan, baik skala mikro hingga makro. Data awal Walhi menunjukan pada tahun 2017 terdapat 302 konflik lingkungan hidup dan agraria, serta 163 orang dikriminalisasi dalam 13 provinsi di Indonesia.

Tentu ini menjadi tantangan bersama untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Secara prinsip pembangunan berkelanjutan menurut Sudharto P. Hadi (1998) terdapat 4 macam (1) pemenuhan kebutuhan dasar, (2) pemeliharaan lingkungan, (3) keadilan sosial, (4) kesempatan menentukan nasib sendiri meliputi unsur partisipasi demokrasi.

Pembangunan berkelanjutan diatas lingkungan hidup tidak akan terwujud tanpa adanya peran dari masyarakat dalam konteks negara demokrasi. Partisipasi masyarakat harus mendapatkan wadah sebagai penampung aspirasi yang tidak berorientasi pada kepentingan kekuasaan dan kepentingan ekonomi, wadah tersebut ialah organisasi masyarakat dan nantinya mewujudkan gerakan masyarakat yang membawa kepentingan dan nilai.

Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama sebagai salah dua dari organisasi islam tertua dan terbesar. Muhammadiyah didirikan 18 November 1912 dan Nahdlatul Ulama didirikan 31 Januari 1926. Muhammadiyah sendiri dikenal dengan gerakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar, gerakan tajdid dan gerakan sosial, serta dikenal organisasi dengan amal usaha sosialnya seperti Sekolah Muhammadiyah, Universitas Muhammadiyah, Rumah Sakit Muhammadiyah, Panti Asuhan Muhammadiyah dan sebagainya.

Sedangkan Nahdlatul Ulama sendiri didirikan untuk memelihara, melestarikan, mengembangkan, dan mengamalkan Islam Ahlu al-Sunnah Wal Jama’ah (Rif’atul, 2017). Arti dari Nahdlatul Ulama sendiri secara lugas ialah kebangkitan atau gerakan yang dipelopori para ulama (Said Aqil, 1998). Serta dikenal dengan basis gerakan kulturalnya dari pesantren-pesantren di Indonesia.

Tentunya kedua organisasi ini menjadi unsur penting dalam mengatasi permasalahan lingkungan hidup di Indonesia. Pertanyaan adalah sejauh apa permasalahan kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup di Indonesia, serta peran dan metode apa yang digunakan Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama dalam permasalahan lingkungan hidup.

Sebelum masuk kepembahasan selanjutnya, terdapat sedikit kerangka berfikir dalam pembahasan kali ini.

 

Kerusakan Lingkungan Hidup di Indonesia?

Secara definisi, arti dari kata pencemaran dan kerusakan merujuk kepada Undang-Undang No. 32 Tahun 2009. Kerusakan ialah perubahan langsung dan/atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup yang melampaui kriteria baku. Sedangkan Pencemaran ialah masuk atau dimasukannya mahluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu.

Kunci terdapat pada kerusakan ialah berubah secara ‘drastis’ sifat lingkungan hidup, jika pencemaran ialah berubah secara ‘perlahan’ sifat lingkungan hidup. Pencemaran dan Kerusakan ini disebabkan oleh beberapa pihak diantaranya adalah perusahaan atau korporasi dan keterlibatan pemerintah, yang memanfaatkan lingkungan hidup sebagai objek ekspolitasi untuk menjalankan kepentingan bisnisnya.

Ditahun 2010, Walhi mencatat terdapat 75 perusahaan yang melanggar aturan mengenai pencemaran lingkungan. Terdapat 75 kasus pencemaran, salah satunya ialah peningkatan pencemaran minyak mentah dipesisir pantai utara Jawa. Pada 2011, Walhi mencatat peningkatan kasus dari tahun 2010, yaitu terdapat 141 kasus pencemaran, dampaknya ialah meningkatnya bencana banjir sebanyak 378 kasus banjir meningkat dari 345 kasus di tahun 2010.

Ditahun 2012, Walhi mencatat  permasalahan hutan dan perkebunan menjadi permasalahan tertinggi. Pemerintah yang dalam hal ini memberikan izin perambahan hutan 30 juta hektar per juni  2012, dan memberikan izin pelepasan hutan 22 provinsi. Jika ditotalkan pemberian izin dari pemerintah untuk pengolaan, pelepasan, pinjam pakai hutan di tahun 2012 kepada pengusaha 50,4 juta hektar atau 38.4 persen hutan Indonesia

Ditahun 2014, total produksi IUP (izin usaha pertambangan) selama 5 tahun mencapai 10.922, sedangkan total perkebunan sawit mencapai 13,5 juta hektar. Dampaknya ialah peristiwa kebarakan hutan hampir diseluruh Sumatera dan Kalimantan, yang menyebabkan kerusakan ekosistem gambut.

Dan sebenernya ada lagi hingga tahun 2019, karena keterbetasan tulisan di Geotimes.

Apa peran Muhammadiyah dan NU?

Peran di bidang hukum, Muhammadiyah sendiri mengamanatkan dalam Muktamarnya ditahun 2010, yaitu gerakan Jihad Konstitusi yang merupakan bentuk perjuangan dalam persidangan yang akan menggugat Undang-Undang yang tidak sejalan dengan kepentingan nasional.

Salah satunya ialah Undang-Undang Sumber Daya Air, yang menurut Din Syamsuddin, UU ini meruntuhkan kedaulatan negara dan merugikan rakyat sebagai pengguna air disebabkan oleh komersialisasi. Selain itu terdapat Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi, yang menurut Din Syamsuddin, UU ini dibuat pemerintah dengan berkonsultasi dengan pihak asing, dan berdampak pada kepentingan asing.

Berkaitan dengan kedua UU diatas, Nahdlatul Ulama juga memiliki peran yaitu perwakilannya dalam menggugat UU Migas yaitu mantan ketua PBNU Hasyim Muzzadi. Sedangkan secara keseluruhan peran Nahdlatul Ulama di bidang hukum cenderung berbeda dengan Muhammadiyah yang mengkaji hukum positif di Indonesia. Nahdlatul Ulama banyak mengkaji hukum islam.

Ditahun 1994 dalam Muktamar NU ke-29 diputuskan bahwa pencemaran lingkungan apabila menimbulkan kerusakan, maka hukumnya haram dan termasuk perbuatan kriminal. Ditahun 2015, Lembaga Bahstul Masail (forum ulama) membacakan kesepakatan keharaman pada aktivitas eksploitasi sumber daya alam yang menyebabkan kerusakan lingkungan. Ditahun 2019 dalam Muktamar ke-29 menetapkan bahwa buang sampah sembarangan, terutama sampah plastik yang membahayakan lingkungan hukumnya haram.

Peran di bidang advokasi,Pimpinan Pusat Muhammadiyah tidak membentuk secara khusus tim advokasi, tetapi inisiatif Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) untuk membentuk tim advokasi mengatasi permasalahan lingkungan, seperti Tim Advokasi PDM Sukoharjo dalam kasus Amdal PT Rayon Utama Makmur, Tim Advokasi PDM Kaltim dalam kasus pertambangan didesa Kutai Kartangera. Hingga hal tersebut termanifestasikan pada tahun 2018, mendirikan Kader Hijau Muhammadiyah.

Sedangkan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama tidak membentuk tim advokasi secara khusus, namun inisiatif jama’ah NU atau Nahdliyin membentuk Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA) pada tahun 2013. Beberapa advokasi yang dilakukan ialah kasus PT Semen Indonesia di Rembang Jawa Tengah, dan di Sumenep.

Tulisan ini merupakan ringkasan dari penelitian di program School of Researcher IMM Malang Raya

Adi Fauzanto
Adi Fauzanto
Pusat Studi Sosial Demokrasi dan Anti Korupsi
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.