Sabtu, April 20, 2024

Muhammadiyah dan Tajdid Desa

Sofyan Sjaf
Sofyan Sjaf
Aktivitas keseharian sebagai dosen di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia IPB. Saat ini, saya diamanahkan sebagai Kepala Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan (PSP3) IPB.

Tulisan ini adalah refleksi dari dialog warga Muhammadiyah Kota Bogor dengan Ketua Umum Muhammadiyah, Dr. Haedar Nashir di pertengahan bulan Maret 2019 lalu. Memberikan perspektif bagaimana Muhammadiyah mengganggap penting ‘desa’ di dalam pokok-pokok pikiran Muhammadiyah ke depan.

Ini penting penulis sampaikan, karena sejauh pengamatan penulis, bahwa spirit tajdid yang dimiliki Muhammadiyah belum menyentuh dan meneropong subyek kekuatan umat dan bangsa ini, yakni desa.

Muhammadiyah dan Desa

Semenjak Muhammadiyah berdiri tahun 1912, Ormas besutan KH. Ahmad Dahlan ini telah menggoreskan sejarah sebagai ormas yang dikenal dengan gerakan pembaruannya. Adaptasi terhadap perubahan, membuat Muhammadiyah memiliki tingkat resiliensi yang tinggi terhadap perkembangan zaman.

Sehingga wajar, jika Muhammadiyah sampai hari ini (telah berusia 107 tahun) mampu berselancar di atas agenda-agenda keumatan dan kebangsaan yang begitu dinamis. Dengan meletakkan pendidikan dan kesehatan sebagai basis amar ma’ruf nahi mungkar, Muhammadiyah berhasil mencetak puluhan juta sumberdaya manusia.

Namun demikian, apakah Muhammadiyah memiliki habitus kepedulian terhadap persoalan desa saat ini? Dimana kenyataannya desa adalah struktur atau bangunan negeri yang bernama Indonesia.

Habitus kepedulian Muhammadiyah terhadap desa tidak sekedar ditandai dengan hadirnya jejaring Muhammadiyah hingga ke tingkat desa, melainkan sejauhmana Muhammadiyah memahami konteks desa dan memiliki strategi dalam penyelesaian persoalan yang dihadapi desa hari ini.

Untuk itu, menurut penulis terdapat lima pemahaman konteks desa terkait kehidupan keumatan dan kebangsaan yang bisa dielaborasi Muhammadiyah. Adapun lima pemahaman yang dimaksud: pertama, desa adalah tempat atau lokus produksi dan reproduksi pangan.

Sebanyak 73,14 persen dari total desa dan kelurahan di Indonesia adalah desa-desa bertipologi pertanian. Namun sangat disayangkan, komoditi pangan (seperti: beras, gula, jagung, dan lain-lain) masih bergantung dengan impor hingga saat ini; kedua, desa-desa bertipologi pertanian tersebut identik dengan desa tertinggal.  Secara spasial, sebaran desa-desa tertinggal tersebut memiliki persentase terbesar di kawasan timur Indonesia.

Ketiga, desa masih menjadi kantong kemiskinan. Sebesar 14–20 persen kantong kemiskinan di pedesaan terkosentrasi di kawasan timur Indonesia dengan subyek kemiskinan adalah golongan muda (White, 2011); keempat, desa sebagai penghasil pangan menentukan soal hidup–matinya bangsa Indonesia.

Minimnya pengembangan inovasi dan teknologi inklusif terkait pangan rakyat menyebabkan desa tidak memiliki kemampuan memproduksi dan mereproduksi pangan untuk kebutuhan masyarakat; dan kelima, menguasai pangan berarti menguasai politik, ekonomi, dan sosial.  Ke depan, pangan akan menjadi faktor determinan sebagai sumber konflik sekaligus sebagai instrumen tertib sosial.

Kelima konteks tentang desa di atas, memberi isyarat bahwa Muhammadiyah yang memiliki puluhan juta kader yang tersebar di pelosok-pelosok desa di negeri ini harus didorong menjadi kader inovator yang memiliki kemampuan mencerahkan warga desa.

Tajdid Desa

Tajdid desa adalah pembaruan desa dengan cara menghidupkan, membangkitkan, dan mengembalikan peran sentral desa (obyek-subyek) sebagai kekuatan ekonomi, politik, sosial dan budaya berbangsa dan bernegara.  Atas definisi ini dan uraian sebelumnya, membawa kesadaran kita bahwa tuntutan untuk menyegerakan Tajdid desa adalah keniscayaan.

Setidaknya terdapat tiga alasan mengapa Tajdid desa perlu disegerakan Muhammadiyah: pertama, hadirnya kepercayaan dari pelaku pembangunan desa bahwa pendekatan westernisasi mampu memberikan kesejahteraan dan kemakmuran bagi warga desa; kedua, dominannya orientasi pelaku pembangunan desa yang menempatkan negara-negara maju sebagai kiblat kesejahteraan dan kemakmuran warga desa; dan ketiga, kapitalisme (isme sejenis) dan bermitra dengan dunia barat, masih diyakini pelaku pembangunan desa sebagai pembawa kemajuan.

Beranjak dari uraian di atas, saya berharap Muhammadiyah sebagai organisasi yang memiliki spirit Tajdid, perlu memasukkan pokok-pokok pikiran mengenai kemungkinan dilakukannya Tajdid desa dalam sidang Tanwir kali ini. Ini didasari bahwa hanya dengan cara melakukan Tajdid desa kekuatan ekonomi, politik, sosial dan budaya berbangsa dan bernegara akan kembali pulih.

Sehubungan dengan itu, terdapat tujuh langkah melakukan Tajdid desa, pertama, memahami konteks masa depan desa-desa Indonesia. Indonesia 20–30  tahun ke depan mengalami bonus demografi dan pertambahan kelas menengah disatu sisi, dan disisi lain mengalami populasi penduduk yang terus bertambah disertai dengan perebutan sumberdaya alam.

Situasi ini menuntut penguasaan teknologi oleh generasi muda untuk memproduksi dan mereproduksi pangan berkelanjutan. Dalam konteks ini, maka Muhammadiyah harus hadir mewujudkan pangan berkelanjutan yang berimplikasi secara politik, ekonomi, maupun sosial.

Kedua adalah melakukan pengorganisasian sosial. Untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani, maka diperlukan peran pemuda desa dan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).

Para pemuda desa dicetak menjadi inovator dan BUMDes sebagai institusi ekonomi lokal yang mengembangkan bisnis saprotan secara masif. Lemahnya pengorganisasian pemuda desa dan diorientasinya pengembangan BUMDes memberikan ruang untuk Muhammadiyah berkarya di pedesaan.

Ketiga, melakukan pengorganisasian ekonomi-produksi. Langkah ini menitikberatkan pada pengorganisasian desa di tingkat hulu sampai dengan hilir.  Dibagian hulu, pengorganisasian dilakukan untuk memproduksi sarana produksi pertanian dengan green technology (pupuk dasar, herbisida, perstisida, insektisida).

Dibagian produksi, pengorganisasian dilakukan dalam bentuk menanam komoditi pertanian (hortikultur, umbi-umbian, padi, dan lain-lain). Sementara dibagian hilir, pengorganisasian dilakukan dengan mengelola dan memasarkan hasil produksi. Pengalaman panjang spirit socio-preneur Muhammadiyah sangat memungkinkan melakukan langkah ketiga ini secara terorganisir.

Selanjutnya langkah keempat adalah melakukan pengorganisasian karakter.  Langkah ini menekankan pentingnya memperkuat norma dalam bentuk totalitas, integritas, dedikasi, dan loyalitas kader-kader Muhammdiyah untuk mengawal agenda kedaulatan pangan. Kemudian langkah kelima adalah mencetak aktivis desa.

Sebagai organisasi kader, Muhammadiyah dengan mudah menggerakkan kader-kadernya masuk ke desa dan membantu petani, nelayan, dan peternak untuk menyelesaikan persoalan kehidupannya. Dengan cara ini, Muhammadiyah kembali mempertegas dirinya sebagai kader keumatan.

Langkah keenam, yakni mencetak kader yang menguasai teknologi. Di era distrupsi yang penuh dengan ketidakpastian, Muhammadiyah harus membekali kader-kadernya dengan penguasaan teknologi agar tidak digilas perkembangan Industri 4.0.

Terakhir, langkah ketujuh, membangun sekolah pembaruan desa. Langkah atau upaya ini sudah dilakukan Muhammadiyah, namun demikian yang membedakannya adalah sekolah pembaruan desa lebih bersifat pendidikan vokasi informal yang mampu menjawab kebutuhan-kebutuhan warga desa dengan cepat.

Semoga Muhammadiyah mau bertajdid lagi!

Sofyan Sjaf
Sofyan Sjaf
Aktivitas keseharian sebagai dosen di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia IPB. Saat ini, saya diamanahkan sebagai Kepala Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan (PSP3) IPB.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.