Berangkat dari bangku perkuliahan, saya mendapatkan tugas presentasi perihal “Paham Islam dalam Muhammadiyah.” Saya membuat PPT dengan memasukkan tokoh-tokoh seperti David Hume, Rene Descartes, S. Pierce, dan Simone de Beauvoir.
Di awal presentasi saya memberikan pertanyaan sederhana, “sejak kapan tokoh-tokoh filsuf seperti mereka menjadi bagian dari Muhammadiyah?” “Mereka sebenarnya bukan bagian dari Muhammadiyah secara organisasi, tetapi karena konsep pengetahuan Muhammadiyah yang menjadikan mereka hadir sebagai bagian dari kajian keilmuan,” pungkas saya.
Saya melihat bahwa Muhammadiyah bukan sekadar hadir sebagai gerakan organisasi keagamaan. Lebih dari itu, Muhammadiyah bergerak dengan landasan-landasan filsafat sebagai ilmu pengetahuannya. Saya merasa jika ada empat konsep filsafat yang mendasari Muhammadiyah, yakni rasionalisme, empirisme, pragmatisme, dan feminisme.
Empirisme dan Pragmatisme Muhammadiyah
Dalam tataran empirisme, sudah terlihat sejak awal berdirinya Muhammadiyah oleh Ahmad Dahlan. Muhammadiyah pada awal berdirinya mendapatkan tanggapan dari masyarakat sebagai gerakan yang tidak berarti dan jauh dari bagian identitas masyarakat, utamanya masyarakat Jawa. Masyarakat menilai jika Muhammadiyah anti terhadap jawaisme dan tradisionalisme.
Ahmad Dahlan menjawab persoalan tersebut dengan humanis. Ahmad Dahlan mendirikan lembaga sekolah modern berbasis agama bernama Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah. Pendirian sekolah berangkat dari pengalaman Ahmad Dahlan, bahwa untuk memajukan pemikiran masyarakat dan membawa masyarakat keluar dari takhayul harus berangkat dari sekolah. Ahmad Dahlan juga mengembangkan kurikulum pembelajaran modern yang bervariatif.
Seiring berjalannya waktu, empirisme sebagai pondasi Muhammadiyah semakin mantap. Teraktualisasikan dari pendirian Lazismu pada tahun 2002. Pendirian Lazismu berangkat dari kondisi kemiskinan masyarakat di Indonesia, sehingga Muhammadiyah berinisiasi mendirikan Lazismu untuk memberikan bantuan dengan landasan keadilan.
Bahkan dalam tragedi di Kanjuruhan, Muhammadiyah ikut hadir memberikan bantuan tangan melalui Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). UMM menurunkan bantuan pendampingan psikologis. Berdasarkan berita yang saya baca, penurunan bantuan psikologis berdasarkan pada data di lapangan, jika banyak keluarga korban dan korban di Kanjuruhan mengalami tekanan secara psikologis.
Bisa terlihat dengan jelas bahwa Muhammadiyah bergerak secara empiris dengan berdasarkan panca indra dalam melihat fenomena di lapangan. Keberadaan sikap empiris Muhammadiyah, bagi saya juga berkorelasi dengan filsafat pragmatisme. Konsep dari pragmatisme adalah kebenaran dianggap benar ketika memiliki manfaat bagi manusia.
Saya menilai jika pendirian lembaga sekolah memiliki nilai guna bagi masyarakat. Bisa tercerminkan dari keberhasilan kampus-kampus Muhammadiyah menghasilkan intelektual yang memberikan sumbangsih bagi negara, baik dalam bidang kepenulisan, politik, dan ekonomi.
Begitu juga dengan Lazismu yang sejauh pengamatan saya, telah memberi bantuan sosial ekonomi pada masyarakat yang membutuhkan. Apalagi keberadaan pendampingan psikologi dari UMM terhadap tragedi Kanjuruhan, bagi saya memang memiliki nilai kemanusiaan di tengah duka yang melanda.
Rasionalisme dalam Muhammadiyah
Berbicara tentang rasionalisme dalam gerakan Muhammadiyah, saya melihat dengan jernih sikap dekonstruksi Muhammadiyah terhadap salafiyah. Menurut buku dari Nurhayati, dkk. menjelaskan jika Muhammadiyah secara spesifikasi beririsan dengan paham salafiyah, tetapi Muhammadiyah tidak menerima seutuhnya perspektif salafiyah, sehingga melakukan dekonstruksi.
Dekonstruksi bagi pemahaman saya saat membaca konsep dari Derrida merupakan tindakan kritis dengan pemakaian kesadaran dan akal. Mengingat, metode dari dekonstruksi berusaha untuk memisahkan dan membongkar realitas untuk menemukan pemaknaan baru.
Sikap lain dari rasionalitas Muhammadiyah berangkat dari keterbukaannya terhadap beragam persoalan. Sebagaimana pada tahun 2002 di Bali melalui keputusan tanwir, Muhammadiyah menetapkan perihal dakwah kultural. Berdasarkan skripsi dari Afroni Ilyas, penetapan Muhammadiyah perihal dakwah kultural merupakan respon dari masyarakat yang menganggap jika Muhammadiyah anti terhadap kebudayaan.
Dengan begitu, Muhammadiyah ingin memperlihatkan bahwa dirinya tidak tertutup terhadap kebudayaan di masyarakat Indonesia. Hanya saja, sikap keterbukaan Muhammadiyah terhadap kebudayaan, tetap beracuan pada prinsip Islam. Sebab, Muhammadiyah tidak ingin terjebak pada takhayul, bid’ah, dan khurafat.
Contoh lain dari keterbukaan Muhammadiyah berasal dari penjelasan dosen saya, tentang keputusan Muhammadiyah untuk mengubah hukum memajang foto Ahmad Dahlan di rumah. Awalnya Muhammadiyah melarang untuk memajang foto Ahmad Dahlan di rumah, karena khawatir untuk mengkultuskannya. Tetapi, dengan sikap keterbukaannya secara rasional, Muhammadiyah memperbolehkan individu untuk memajang foto Ahmad Dahlan di rumah.
Feminisme dalam Muhammadiyah
Keterbukaan Muhammadiyah secara rasional, juga membawa dirinya pada filsafat feminisme. Tujuan filsafat feminisme pada awal perkembangannya bertujuan pada aspek kesetaraan. Terindikasikan saat Muhammadiyah mendirikan organisasi bernama Aisyiyah. Aisyiyah berdiri dengan itikad mencerdaskan kehidupan perempuan. Bahwa perempuan juga memiliki hak untuk merasakan manisnya ilmu pengetahuan.
Sikap lainnya dari Muhammadiyah yang mencerminkan rasionalis berperspektif feminis berorientasi pada interpretasi ulang terhadap kepemimpinan perempuan. Muhammadiyah melalui Majelis Tarjih menginterpretasikan ulang terhadap ayat Q.s 4:34 melalui pencarian asbabun nuzulnya dan memaknai qiwamah. Dengan dua metode yang dilakukan, Majelis Tarjih melihat bahwa Islam tidak melarang perempuan menjadi pemimpin.
Majelis Tarjih juga membaca ulang hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari “Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan.”. Secara komprehensif, Muhammadiyah membaca hadis tersebut secara kritis dengan bersinggungan terhadap metode hermeneutika. Maka Majelis Tarjih memaknai hadis tersebut sesuai dengan konteks sejarah kala itu, dan tidak bersesuaian lagi dengan konteks kehidupan saat ini.
Meski sebenarnya saya tidak memahami secara pasti, apakah kelahiran Muhammadiyah selain berangkat dari nilai Islam, juga berangkat dari filsafat atau tidak? Tetapi, saya meyakini bahwa sebenarnya Islam dan filsafat merupakan dua hal yang memiliki korelasi. Yakni, berorientasi pada akal, kesetaraan, dan kemanusiaan untuk mencapai kehidupan lebih baik.
Hingga akhirnya saya ikut menyadari dari pembelajaran perihal “Paham Islam dalam Muhammadiyah”, bahwa semangat beragama tidak afdal rasanya jika tidak diiringi dengan pengetahuan filsafat. Lalu, apakah masyarakat masih mengasumsikan filsafat sebagai ilmu menyesatkan?