Setiap gerakan pembebasan selalu bermula dari sebuah tanda. Tanda baru yang menjadi pembatas antara tradisi dan inovasi, masa lalu dan masa depan. Tanda baru itu dimulai pada kehadiran manusia paling agung pilihan Tuhan: sang bulan purnama (badrun), sang mentari (syamsun) penerang kehidupan yang menghidupi zaman yang sudah mati (jahiliyah). Dialah Muhammad sang pembebas, nabi pembela kaum tertindas.
Disebut sang pembebas karena seluruh perjuangan dalam misi profetiknya tidak diarahkan pada persoalan pemurnian akidah (tauhid) semata. Tapi juga pada seruan untuk terbebas dari segala bentuk penindasan, diskriminasi, eksploitasi, dan pembodohan yang dilembagakan. Begitulah sejatinya fungsi agama menjadi pembebas (teologi pembebasan) dari segala ketertundukan pada selain Tuhan.
Untuk mendobrak sistem sosial dan struktur masyarakat jahiliyah yang sudah mengakar kala itu, tidaklah semudah membalikan kedua telapak tangan. Perlu upaya dan ikhtiar yang maksimal yang dilambari doa, perlu segenap pengorbanan yang mendarahi tiap perjuangan yang dilakukan Nabi Muhammad Saw. Kerja kenabian adalah kerja kebudayaan dan peradaban yang melibatkan keyakinan, nilai, norma, dan tradisi yang harus dirubah.
Berpijak pada peta jalan yang telah dipancangkan Nabi Muhammad Saw itu, saya kira, teologi pembebasan ala Gustavo Gutierrez, yang menjadi acuan gerakan pembebasan di dunia, sedikit banyak punya kemiripan—meski saya tidak berani mengatakan tokoh teologi pembebasan dari Amerika Latin itu mencangkoknya seratus persen dari Nabi Muhammad Saw. Yang pasti agama bukan soal penghadapan pada Sang Pencipta, tapi juga soal penyapaan pada sesama manusia.
Teologi Pembebasan
Nabi Muhammad Saw hidup dalam kultur sosial tertentu, dalam ruang kebudayaan tertentu, dan dalam situasi masyarakat tertentu. Ya, dalam waktu itulah (jahiliyah) Nabi Muhammad Saw hadir, di mana perbudakan saat itu masih dilegalkan. Dan itu berarti eksploitasi manusia atas manusia lain masih dibolehkan, bahkan dilembagakan. Kebodohan yang dilembagakan itu terus dijustifikasi untuk menghisap dan mencari keuntungan dari tenaga para budak.
Memang, di masa itu perbudakan adalah hal yang lumrah dan menjadi praktek yang dimaklumi. Budak-budak diperjual-belikan di pasar-pasar, di jalan-jalan, dan ruang-ruang publik lain. Setiap orang berhak memiliki budak lalu mengendalikan jalan hidupannya. Tapi gerakan kebangkitan dan pembebasan harus dimulai dari perlawanan atas nilai, norma, dan adat yang merendahkan martabat kemanusiaan.
Setiap manusia dilahirkan dalam keadaan mulia (walaqad karramna bani Adam), begitulah firman Allah SWT. Bila Tuhan Sang Pencipta memberi legasi kemulian pada setiap keturunan Adam, lalu mengapa kita merasa paling mulia dari yang lain, sehingga dengan mudah merendahkan sesama. Tidak ada yang lebih mulia di hadapan Allah kecuali iman yang lapang, yang tidak memberi ruang pada kegiatan eksploitasi dan diskriminasi.
Risalah ketuhanan yang dibawa Nabi Muhammad Saw sama sekali tidak berpaling dari misi kemanusiaan. Justru, ketuhanan dan kemanusiaan (keduanya) berada dalam satu tarikan nafas keberislaman: tak terpilah, tak terpisah. Misi pembebasan dari perbudakan telah dilakukan Nabi Muhammad Saw di fase awal penyebaran Islam. Beliau sendiri pernah memerdekakan budak Afrika bernama Bilal bin Rabah, yang kemudian menjadi sahabat, dan pejuang Islam yang mengiringi dakwah nabi.
Perlahan tapi pasti. Misi pembebasan itu, kini, sudah sempurna. Islam sudah menghapus perbudakan, atas, dan untuk nama apapun. Dan itu seharusnya juga menghapus segala macam bentuk penjajahan dan penundukaan yang merugikan kodrat kemanusiaan manusia. Dalam kehidupan masyarakat dunia saat ini, hak asasi manusia (HAM) menjadi isu penting yang dibicarakan di forum-forum internasional. Hak dasar manusia seperti kebebasan (menjadi manusia merdeka) tidak boleh direnggut. Apa yang sudah ada secara inhern ada pada tiap manusia harus dilindungi, tidak boleh dicabut.
Misi pembebasan Nabi Muhammad Saw juga menyasar budaya kapitalisme masyarakat Quraish saat itu. Ekonomi elit (kapitalisme) yang hegemonik, yang mengendalikan pasar. Praktek riba menjadi hal yang biasa. Sehingga penghisapan manusia atas manusia lain menjadi hal yang biasa pula. Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin. Yang kaya menjerat yang miskin. Yang miskin makin bergantung pada yang kaya. Kekayaan dimiliki segelintir orang elit, tidak turun ke bawah, tidak bisa dirasakan oleh kaum lemah.
Dalam situasi seperti itu, Nabi Muhammad Saw menawarkan konsep zakat, infaq, sodaqoh, dan wakaq. Tujuannya agar harta kekayaan tidak menumpuk pada satu atau segelintir orang saja, agar harta itu punya nilai sosial yang bisa dirasakan oleh mereka yang marginal secara ekonomi. Semangat berbagi kepada sesama ini kemudian mejadi daya tawar untuk mengikuti jalan dan dakwah nabi. Banyak orang berbondong-bondong masuk Islam karena merasa kehidupan sosial-ekonomi mereka diperjuangkan. Islam memperjuangkan hak dasar manusia yang direnggut sistem ekonomi kapitalis bangsa Quraish.
Itulah mengapa dakwah nabi ditolak, dijegal, tidak mendapat sambutan positif dari pemuka Quraish yang notabene-nya adalah para pedagang, pembisnis, orang kaya, dan pengendali pasar ekonomi masyarakat. Perlawanan yang dilakukan elite Quraish tentu bukan tanpa alasan. Andaikan mereka menerima dakwah nabi dengan Islam sebagai agama baru, maka sistem ekonomi kapitalis yang melegalkan riba dan sudah dipraktekkan bertahun-tahun harus ditinggalkan. Dan itu artinya pasar ekonomi yang selama itu mereka kuasai akan ambruk digantikan oleh sistem ekonomi kerakyatan yang berpihak pada kaum miskin dan marginal.
Dalam sistem kapitalis yang dipraktekkan elite Quraish, masyarakat dibagi dua: kelas borjuis dan kelas proletar, kelas orang kaya dan kelas orang miskin. Masyarakat yang dipolarisasikan secara struktural itu tidak memberikan keadilan. Justru berdampak pada makin bertumbuhnya kelas sosial orang miskin.
Maka masyarakat tanpa kelas harus diciptakan. Yaitu, masyarakat yang egaliter, yang tidak membedakan manusia berdasarkan status ekonominya. Zakat, infaq, sodaqoh, dan wakaf yang ditawarkan Nabi Muhammad Saw, bukan sekedar dogma teologis. Lebih dari itu adalah sebagai konsep sosiologis dan antropologis yang terkait dengan keadaan ekonomi masyarakat yang hendak diperjuangkan.
Ketimpangan sosial-ekonomi masyarakat Quraish saat itu, tentu saja buah dari sistem kabilah (kesukuan) yang mereka ciptakan sendiri. Dalam sistem kesukuan berlaku hukum rimba. Di mana yang kuat adalah yang berkuasa, yang mengendalikan jalan hidup kelompok yang kalah. Inilah yang disebut Ibnu Khaldun sebagai ‘Ashabiyah dalam karya monumentalnya, Muqoddimah.
Solidaritas kesukuan masyarakat Arab terkenal fanatik, dan itu sering melahirkan perang di antara sesama mereka sendiri. Perang antar suku sering terjadi, bahkan menjadi keharusan untuk membuktikan suku mana yang paling kuat.
Selamat memperingati kelahiran (maulid) manusia paling agung, Nabi Muhammad Saw. “Berabad jarak dari-mu ya Rasul terasa engkau di sini”, kata Bimbo.