Selasa, September 16, 2025

Motivator Berbicara Bumi Ketika Dia Sejahtera Di Langit

Sidik Permana
Sidik Permana
Saya merupakan seorang freelancer, pengajar, dan pembelajar. Aktif menulis dan mengomentari. Saya aktif di Komunitas Sekolah Damai Indonesia (Sekodi) Bandung dan Komunitas Narasi Jabar.
- Advertisement -

Bajak laut itu jahat? Marinir itu baik? Istilah-istilah tersebut selalu berubah sepanjang sejarah! Anak-anak yang belum pernah merasakan perdamaian dan merasakan perang punya nilai yang berbeda!” Ungkap Donquixote Doflamingo, tokoh fiksi di anime One Piece episode 705. Begitulah rasa greget saya dalam menyikapi influenser dan pengusaha muda, Ryu Kintaro, yang viral karena video kontennya tentang “Hidup perintis bukan pewaris”.

Tulisan ini tidak lain sebagai bentuk evaluasi dan kritik, bukan terhadap viralitasnya sebagai pengusaha muda, tetapi atas reaksi dualisme warganet Indonesia terhadap konten “motivasi” tersebut. Sekaligus mengomentari fenomena motivator penjual mimpi dan perspektif “musuh bersama” yang kerap memicu tekanan darah tinggi di sebagian masyarakat Indonesia.

Motivasi Jadi Palsu

Beranjak dari konten viral Ryu Kintaro tentang persoalan “perintis” dan “pewaris” yang kini banyak di-repost di Instagram hingga X. Sebenarnya, tidak ada yang salah dari video tersebut, hanya seorang anak kecil berusia 9 tahun yang memberikan motivasi kepada masyarakat Indonesia untuk menjadi perintis daripada pewaris. Masalah muncul ketika banyak interpretasi dan reaksi menyertai konten “motivasi” tersebut, mulai dari memuji hingga hujatan yang mendominasi.

Awalnya, interpretasi saya atas hujatan warganet Indonesia kepada konten motivasi Ryu adalah reaksioner karena realitas ekonomi masyarakat Indonesia. Perlu diketahui, Ryu Kintaro merupakan putra dari Christopher Sebastian, CEO Makko Group, perusahaan otomatif dengan sejumlah unit usaha, mulai dari kaca film, detailing mobil, spa keluarga, hingga kulineran. Bahkan, dalam salah satu kontennya, ia mendapatkan angpao mencapai 70 juta dan dua buah Iphone, yang ditotal cukup untuk membeli Indomie Goreng 85 g sebanyak 768 karton isi 40 bungkus seharga Rp117.050.

Persoalannya, motivasi tersebut seolah mendarat di tempat yang salah. Bila dihubungkan dengan laporan Badan Pusat Statistik (BPS) berjudul “Keadaan Ketenagakerjaan Indonesia Februari 2025”, angka Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) hingga Februari 2025 mencapai 4,76% atau setara lima orang penganggur dari 100 orang angkatan kerja. Meskipun turun sebesar 0,06% dari 2024, tapi turunnya hanya dua angka di belakang koma dan itu bukan prestasi.

Laporan BPS didukung CNBC Indonesia dalam artikel “Jangan Sepelekan Ini! Ekonomi RI Sedang Tak Baik-Baik Saja”, yang menyebut adanya pelemahan ekonomi Indonesia yang ditandai dengan anjloknya pertumbuhan ekonomi di kuartal I-2025—padahal bertepatan dengan Bulan Ramadan yang selalu jadi pendorong ekonomi—yang diakibatkan kontraksi konsumsi pemerintah, perlambatan konsumsi rumah tangga, investasi yang kurang optimal, tekanan ekspor dari pasar global, kurangnya pertumbuhan merata di berbagai wilayah.

Video viral tentang membludaknya pencari kerja dan kericuhan di job fair Cikarang, Kabupaten Bekasi, sampai menjadi perdebatan panas di level Dewan Perwakilan Rakyat, merupakan bukti nyata ekonomi bangsa yang tidak baik-baik saja, walau kerap diselebrasikan “aman”. Namun, hadirnya konten motivasi Ryu diinterpretasikan sebagai “guyonan orang tajir” kepada masyarakat yang dipandang “malas” dan “kurang kerja keras”. Itulah yang berbahaya.

Bayangkan, konten tersebut muncul di tengah masyarakat yang sedang terbakar api kegelisahan di tengah pelemahan indikator ekonomi, pajak sana-sini, dan statement negara yang selalu mengkerdilkan masyarakatnya sendiri. Wajar bila warganet Indonesia menilai bahwa video motivasi yang dibawakan kalangan perlente ini adalah tidak realistis dan “omong-kosong”. Rasanya, konten tersebut nampak terasa seperti penghinaan yang datang dari seorang motivator berusia 9 tahun yang berdagang minuman seharga Rp15.000 dengan mobil Lexus.

Ketika masyarakat sedang berharap keluar dari jerat kemiskinan dan bekerja keras demi menyambung hidup, motivator penjual mimpi muncul dan memberikan petuah yang sama namun dengan nada yang “meremehkan”. Bisa jadi nyawa mereka siap keluar, namun bukan takdirnya gugur di jalan kesejahteraan. Motivasi yang terinterpretasikan “perintah” itu, seolah mencoba meyakinkan bahwa mereka bisa “kaya seperti aku”. Pada akhirnya, niatan baik akan berujung pada interpretasi flexing (pamer) dan joking (canda), tapi tidak situasional.

Motivasi Semu dan Mulailah Berempati

Motivasi semua semacam itu kerap tidak berhasil mengubah masalah paling fundamental bangsa ini, yaitu kemiskinan struktural. Lalu, tiba-tiba datang konten motivasi dari orang-orang super kaya, yang lahir dari keluarga tajir—mungkin bagian dari 5% orang yang menguasai ekonomi Indonesia—dan berbicara tentang kerja keras, kaya, dan bahagia, atau “mendapatkan 100 juta pertama di usia 9 tahun”? Kalau kata Presiden Prabowo, “omon-omon”.

- Advertisement -

Mildred Rein menjelaskan bahwa banyak yang mendukung adanya budaya kemiskinan kembali populer, walaupun sebenarnya salah karena kemiskinan sebagian besar disebabkan oleh kurangnya kesempatan dan masalah struktural lainnya, bukan oleh cacat kepribadian atau tradisi yang merusak. Intinya, miskin bukan soal kultur, namun yang utama adalah struktur yang diciptakan membuat orang sulit mengakses sumber daya yang memungkinkan mereka sejahtera di masa depan. Inilah kritik utama dari Paulo Freire, yang termaktub jelas dalam karyanya “Pendidikan Kaum Tertindas”.

Sekarang, simulasikan bahwa masyarakat hari ini yang berada dalam lingkup pengangguran atau sejak awal miskin, tentu akan kesulitan mendapatkan akses pendidikan yang lebih tinggi—tentunya biayanya makin tinggi. Kemudian, dengan rendahnya akses pendidikan, maka peluang ekonomi yang lebih baik jadi berkurang tapi hidup harus tetap berkelanjutan, yang mana akhirnya orang rela bekerja menjadi apapun atau menjadi parasit di hidup orang lain. Akhirnya, ini menjadi masalah perekonomian bangsa dan lingkaran setan kemiskinan akan membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia terhambat.

Sampai di sini, kita mesti berempati bahwa masyarakat Indonesia saat ini sangat sensitif dengan persoalan kesejahteraan. Jangan mengira bahwa mereka yang tidak berprivilese tidak bekerja keras, bahkan bisa jadi mereka jauh berusaha lebih keras walau tahu bahwa hasil alakadarnya dan sekadar menyambung hidup. Mungkin, Ryu Kintaro tidak pernah memikul ulekkan batu berkilo-kilo.

Pada akhirnya, tulisan ini hanya ingin menunjukan bahwa motivasi bukanlah sebuah dosa. Ia penting, tetapi diperlukan satu orang empati dalam melihat persoalan bangsa yang struktural semacam ini. Karakter ini seolah makin menegaskan kesenjangan bersosial masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, mungkin rasa sabar ini memang perlu ditingkatkan kembali, dan empati dimohon untuk bertumbuh pada mereka yang telah mencapai standar “kemerdekaan” (finansial) yang sesungguhnya, sekaligus sinyal bagi kepekaan pemerintah untuk segera menyelesaikan masalah kemiskinan. Sebagai penutup, “Biarkan kami bekerja keras tanpa harus dihinakan”.

Sidik Permana
Sidik Permana
Saya merupakan seorang freelancer, pengajar, dan pembelajar. Aktif menulis dan mengomentari. Saya aktif di Komunitas Sekolah Damai Indonesia (Sekodi) Bandung dan Komunitas Narasi Jabar.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.