Hari raya Idul Fitri menjadi momentum tunggal bagi umat muslim untuk pulang kampung alias mudik. Mudik lebaran sudah menjadi tradisi yang terkesan wajib. Sesungguhnya, mudik merupakan perwujudan silaturrahim umat.
Sebenarnya, tradisi mudik bukan hanya milik muslim Indonesia saja, warga muslim dari bangsa-bangsa lain yang sedang merantau juga, mungkin akan pulang ke negaranya masing-masing. Mudik dikenal sangat kental dengan proses perjalanan spiritual.
Saling maaf-memaafkan bersama keluarga di kampung dan kunjung-mengunjungi sesama teman dan saudara saat Idul Fitri merupakan bentuk silaturrahim sosial. Dalam Islam, tradisi mudik tidak dikenal. Sedangkan perilaku silaturrahim sangat dianjurkan oleh Rasulullah SAW.
Tentang silaturrahim ini, Allah SWT berfirman dalam surat An-Nissa ayat 1, ”Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) namaNya kamu saling meminta satu sama lain dan (peliharalah) hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”. Dahsyatnya tarikan silaturrahim ini, berhasil mengubah tradisi mudik menjadi pengikat emosi sosial yang bersifat religius.
Sosiolog Emile Durkheim (1859-1917) menyebut, mudik sebagai salah satu jalan melanggengkan solidaritas organik, ketika masyarakat sebelum dan sesudah hari raya terkadang sibuk dengan urusan masing-masing yang bisa saling melupakan silaturrahim antarsesama.
Menurut Durkheim, mudik adalah proses interaksi sosial (social contact). Dengan pulang kampung, para pemudik bisa meluangkan perasaan-perasaan yang ingin disampaikan kepada keluarga, saudara dan teman-temannya di desa maupun kota. Mudik menjadi nilai sosial yang begitu kuat dipegang teguh oleh para pemudik.
Di sisi lain, mudik bagi sebagian besar muslim yang merantau merupakan bentuk eksistensi sukses. Kepulangan para perantau ke kampung halaman, tentu akan menginspirasi warga kampung lainnya untuk ikut merantau usai Idul Fitri dan berharap meraih sukses seperti para perantau sebelumnya. Akhirnya, sentuhan spiritual mudik melebur dengan label prestisius beraroma pamer status sosial.
Nilai-nilai sosial spiritual mudik mungkin akan semakin pudar seiring dengan perkembangan zaman. Hanya karena ingin mendapat pujian sebagai perantau sukses, mereka yang pulang kampung lupa dengan makna spiritual mudik.
Dalam perjalanan pulang kampung, banyak para pemudik tidak lagi berpuasa, melalaikan sholat wajib dan sunah. Jarak maupun waktu tempuh perjalanan, tidak lagi menjadi bahan pertimbangan pemudik untuk tetap menjalankan ibadah Ramadhan di hari-hari terakhir atau H-7. Alhasil, mudik mulai kehilangan magnit spiritualnya.
Umumnya, para pemudik dari berbagai lapisan usia dan jenis kelamin, rela berdesak-desakan di stasiun kereta api, terminal bus, bandar udara dan pelabuhan laut. Bahkan, mereka siap mempertaruhkan nyawa hanya untuk bisa naik kendaraan atau mendapatkan tiket.
Padahal sesungguhnya, mudik bukanlah satu-satunya cara untuk dapat bersilaturrahim. Bahkan sebenarnya, lebaran pun bukanlah sebuah hari raya yang mempunyai kekuatan memaksa bagi para pemudik untuk pulang kampung.
Tak ada kaitanya antara mudik dengan lebaran. Pulang kampung bisa kapan saja dan tak harus saat Idul Fitri . Hanya saja, kini pulang kampung saat lebaran, sudah terlanjur menjadi tradisi silaturrahim umat yang mau tidak mau, para perantau seolah-olah wajib untuk mudik. Selamat hari raya Idul Fitri 1439 Hijriah, Mohon Maaf Lahir dan Bathin.