Modernitas ditandai dengan pesatnya perkembangan teknologi, masyarakat yang rasional dan perubahan yang dinamis, selain itu modernitas juga ditandai oleh globalisasi dimana semuanya serba terkoneksi. Modernitas juga membawa kemudahan-kemudahan dalam mengenal orang asing melalui sebuah aplikasi tanpa harus bertemu langsung. Namun, di balik itu semua modernitas membuat lubang menganga yang bernama “keterasingan” atau yang biasa kita sebut dengan alienasi.
Pengalaman keterasingan ini sering dialami sebagian atau bahkan kebanyakan orang namun mereka cenderung kurang menyadari apa yang menyebabkan mereka terasing oleh dunia mereka. Mari mundur sejenak, pernahkah terlintas dalam pikiran kita bahwa di antara banyaknya orang kita cenderung merasa sendiri? Atau bahkan kita berpikir “ini bukan yang aku kehendaki, tapi kenapa aku melakukan ini”? Sebelum menjawab itu mari kita urai apa yang terjadi pada dunia modern saat ini supaya kita tahu akar penyebabnya.
Dunia modern selalu menawarkan perubahan yang dinamis sekaligus cepat, ini diawali oleh runtuhnya pemahaman tradisional berupa mitos yang selama ini kita yakini sebagai sebuah kebenaran mutlak dan digantikan oleh rasio dimana kebenaran empiris memainkan peran sentral. Lebih jauh dari itu, pemikiran itu menjadikan semua hal dapat dikalkulasi dan harus bersandar pada kebenaran empiris, hal ini juga berlaku pada ilmu pengetahuan terutama ilmu sains. Seakan-akan kultur saintisme adalah mitos baru yang dianut masyarakat modern.
Kebenaran sains adalah kebenaran temporer atau relatif, kebenaran dimana teori-teori yang ada digugurkan lewat fakta-fakta, hal ini menjadikan kebenaran selain bersifat relatif tapi juga bersifat dinamis. Masyarakat modern menjunjung tinggi pemikiran seperti ini karena mereka merasa sains dan rasio dapat menjawab sekaligus menjelaskan fenomena serta segala permasalahan yang ada.
Kebenaran yang dinamis dan relatif ini meninggalkan lubang menganga dalam setiap diri masyarakat modern, mereka merasa gelisah dengan perubahan yang begitu cepat dan tidak terkontrol. Kepercayaan-kepercayaan terhadap mitos atau agama yang yang tak pernah tergoyahkan dalam diri masyarakat modern kini tercerabut dari akarnya, dimana kepercayaan tersebut mendasari setiap keputusan atau sebagai pelarian dari dunia yang tidak bisa mereka kendalikan kini tergantikan oleh kepercayaan-kepercayaan semu berupa saintisme.
Bagi sebagian masyarakat modern kebenaran sains tidak memberikan cukup ketenangan dalam skala tertentu karena sifatnya yang terus berubah, ini lah salah satu sebab kenapa masyarakat modern cenderung gelisah atau merasa dirinya meaningless dan terasing dari dunia. Mereka menginginkan sebuah keyakinan absolut yang dapat memberikan keteduhan rasa dan membimbing mereka, keyakinan yang selalu memberikan harapan di tengah keputusasaan atau sekedar pelarian dikala mereka dihimpit ketidakpastian.
Selanjutnya, keterasingan masyarakat modern juga ditandai dengan adanya pasar bebas, dalam hal ini kapitalisme memegang kendali. Apa hubungan kapitalisme dengan meaningless atau keterasingan kehidupan masyarakat modern? Bisa dikatakan kapitalisme adalah yang membentuk hasrat masyarakat modern, dimana pasar bebas tidak memberikan pembaruan fungsi dalam setiap hasil produksi, selain itu kapitalisme membawa masyarakat modern jauh dari refletivitas diri.
Mengutip penjelasan Anthony Giddens, Giddens menjelaskan bahwa dunia modern sebagai refleksif, “refleksivitas modernitas meluas ke dalam inti diri”, diri menjadi sesuatu yang direfleksikan, diubah bahkan dicetak. Dalam dunia modern, tubuh ditarik ke dalam organisasi refleksif kehidupan sosial. Kita tidak hanya bertanggung jawab atas diri kita, tapi juga bertanggung jawab atas tubuh kita.
Tubuh juga merupakan subjek dari verietas “pengaturan-pengaturan” yang bukan hanya membantu individu mencetak tubuh mereka, tapi juga menyumbang refleksivitas-diri dan juga bagi refleksivitas modernitas secara umum. Hasilnya, secara keseluruhan ialah suatu obsesi dengan tubuh kita dan diri kita dalam dunia modern, secara umum Giddens ingin mengatakan bahwa tubuh juga diatur oleh modernitas dimana kita terikat dengan modernitas itu sendiri, bahkan jika ditelaah lebih jauh hasrat kita pun telah diatur oleh dunia modern.
Katakan saja sebagian orang menginginkan tubuh yang indah, entah itu tubuh atletis untuk pria atau tubuh langsing untuk perempuan. Sebenarnya tubuh atletis atau tubuh seksi bukanlah hal esensial yang dibutuhkan orang, mereka lebih membutuhkan tubuh yang sehat. Namun, kapitalisme selalu mengiklankan bahwa tubuh atletis dan seksi adalah dambaan setiap orang dan mereka yang memiliki tubuh ini terlihat lebih spesial di depan mata orang lain. Sehingga masyarakat modern cenderung tidak punya kontrol terhadap hasrat atau tubuh mereka.
Penjelasan Giddens seakan-akan menambah daftar panjang keterasingan masyarakat modern atas dirinya sendiri, bahkan masyarakat modern tidak punya kontrol penuh atas dirinya sendiri. Selain itu dalam msyarakat pra modern, ruang didefinisikan sebagai kehadiran fisik dan oleh karena itu ruang-ruang dapat dilokalkan dengan sekat-sekat tertentu. Lantas modernitas datang dengan segala perubahannya, modernitas menghapus definisi ruang –dalam pengertian pramodern– dan menghapus segala sekat ruang tersebut.
Hancurnya sekat-sekat ruang tersebut menjadikan interaksi sosial atau bahkan interaksi budaya tidak memerlukan kehadiran fisik, masyarakat modern begitu dinamis dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan dunia di luar dirinya sehingga membentuk sebuah unit yang terhubung melalui jaringan yang saling terikat.
Terhapusnya batas-batas ruang tersebut menjadikan masyarakat modern lebih hidup dan konsen dengan ruang barunya yang dinamakan “jaringan”. Internalisasi “jaringan-jaringan” tersebut hanya dapat dilakukan bagi individu yang terikat dengannya dan mendiskualifikasi individu dengan citra atau ruang sosial secara fisik di sekitarnya. Hal ini menjelaskan kenapa masyarakat modern begitu rentan terhadap hidup yang meaningless, gelisah atau bahkan merasa kesepian dalam kelompok sosialnya.
Ambil contoh saja banyak orang lebih akrab dengan orang yang mereka kenal di media sosial dari pada dengan masyarakat sekitarnya, jika mereka mengalami suatu masalah maka mereka merasa tidak cocok dengan lingkungannya. Hal ini dikarenakan tidak ada keintiman individu dengan lingkungannya dan lebih intim dengan media sosialnya.
Keterikatan kuat masyarakat modern dengan “jaringan”nya menjadikan mereka seakan membentuk kelompok sosial bukan karena kedekatan emosional, kesamaan rasa atau bahkan kesamaan pemikiran tapi lebih dikarenakan terbentuk atas kebersamaan mereka mendiami ruang fisik yang sama. Permasalahan ini jika ditarik lebih radikal akan memunculkan sikap anti empati atau bahkan apatis terhadap anggota kelompoknya.
Modernitas memang menjanjikan segala perubahan besar yang membawa dampak positif kepada masyarakat modern tapi modernitas juga seperti pisau bermata dua, ada konsekuensi-konsekuensi baik dalam sekala makro ataupun mikro yang harus dibayar masyarakat modern untuk perubahan tersebut. Hal ini lah yang terkadang membuat masyarakat modern terasing dari dunianya.