Purwakarta sangat jauh berbeda dengan dulu. Masih ingat betul tahun 1998-an, ketika pertama kali saya menginjakan kaki di Purwakarta. Kabupaten dengan wilayah terkecil se Jawa Barat. Kota yang kata temen saya, kalau mencari jarum jahit yang jatuh pun, pasti akan cepat ketemunya. Kota dimana waktu itu, seingat saya yang ketemu di pusat kota hanya itu-itu saja (loe lagi, loe lagi).
Purwakarta kala itu adalah kota yang sepi dan jauh dari peradaban pengembangan perkotaan, walaupun beberapa tempat keramaian publik sudah berdiri. Bayangkan saja angkot pun sebagai sarana transportasi penumpang umum, sudah sepi tidak lebih dari pukul 19.00, motor sebagai sarana transportasi pribadi juga masih sedikit. Terkecuali jalur lintasan Jakarta-Bandung, trafic yang lumayan padat dengan kendaraan besar di malam hari dan terkadang menjadi langganan macet disaat hari libur panjang.
Kondisi yang berbeda dibandingkan dengan sekarang, malah sebaliknya, jalur Jakarta-Bandung yang sedikit lenggang karena sudah terbantu dengan jalur Tol Purbaleunyi, sedangkan dalam satu kondisi di jalur kota saat ini, kita bisa merasakan pada jam-jam tertentu terkadang kita harus merelakan sebagian kesabaran untuk antri dalam kemacetan. Bahkan pada setiap malam minggu, terlihat masyarakat dari setiap sudut Purwakarta tumpah semua di pusat kota, seakan ingin merayakan malam yang panjang dengan gegap gempita bersama keluarga atau temannya.
Purwakarta dulu, beda dengan sekarang. Kini purwakarta tidak luput dari perhatian orang, bukan saja karena prestasi Purwakarta yang gemilang, atau destinasi wisata dan varian kuliner yang bertebaran. Kuliner khas Purwakarta misalnya, sate maranggi yang selalu jadi pilihan publik untuk menyantap makanan khas yang tak dijumpai di daerah lain.
Selain itu, kini publik mengenal Purwakarta karena karakter kotanya yang sangat kental, kota yang menjunjung tinggi dan menegakkan nilai-nilai agama serta mengangkat kembali nilai-nilai budaya sunda yang sudah mulai terkikis bahkan hampir punah.
Melalui sentuhan Bupati Purwakarta, dalam masa dua periode kepemimpinannya, Dedi Mulyadi kembali menerapkan nilai-nilai budaya sunda dalam tata kelola pemerintahan, baik dalam pembangunan fisik maupun pembangunan sumber daya manusia dalam kehidupan bermasyarakat dengan spirit silih asah, silih asih dan silih asuh.
Sebenarnya, dulu publik Purwakarta pesmimis atas ikhtiar Dedi untuk mengangkat kembali nilai-nilai budaya Sunda. Pesimisme ini karena mereka tidak yakin atas terwujudnya hasil yang akan memberikan efek positif bagi arah perkembangan pembangunan Purwakarta, sehingga dianggap terlalu mengawang-awang. Sikap pesimis publik atas apa yang digagas Dedi Mulyadi, sampai tersebar kesetiap pelosok daerah di Purwakarta. Pesimis dengan arah pembangunan Purwakarta yang seolah-olah akan dibawa kembali ke masa lalu, secara nalar tentunya hanya kemunduran yang akan diraih. Dan bukan saja itu, warga Purwakarta yang saat ini sudah dipenuhi pendatang dari beragam suku (heterogen), merupakan permasalahan yang cukup serius bagi Dedi dalam meluruskan dan memberikan pemahaman bagi mereka atas ikhtiarnya dalam mengangkat kembali nilai budaya Sunda.
Namun siapa sangka, diantara sekian banyak pemimpin daerah, dalam hal ini Dedi Mulyadi termasuk pemimpin yang paling sukses. Kita ketahui bersama bahwa, pasca reformasi dengan hadirnya undang-undang otonomi daerah, yakni pemberian hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat. Dan saat itu, setiap kepala daerah serta merta memunculkan identitas daerah masing-masing. Di Purwakarta sendiri, dimulai pada saat Dedi Mulyadi memimpin Purwakarta.
Kesuksesan Dedi, tersaji pada apa yang bisa kita lihat dan rasakan saat ini, pembangunan yang dilakukan pemimpin sejuta inovasi ini, syarat dengan nilai-nilai budaya Sunda sebagai karakter kota yang berdiri di tanah pasundan yang selaras dengan nilai-nilai agama, kota yang dari dulu terkenal sebagai pencetak para santri, dan kini purwakarta adalah kota yang menjunjung tinggi toleransi beragama.
Dedi mengangkat kembali nilai-nilai budaya Sunda yang hampir punah, bukan berarti mengajak kita untuk mundur dari peradaban. Namun justru, apa yang dilakukan pemimpin yang revolusioner ini merupakan sebuah ikhtiar dalam menyongsong masa depan dengan sebuah nilai-nilai (agama maupun budaya) yang disesuaikan dengan tuntutan zaman. Seperti contoh apa yang sudah dilakukan Dedi, misalnya program ATM beras perelek, jelas bahwa ini adalah nilai-nilai budaya sunda yang berhasil dipadukan dengan tuntutan kebutuhan dan tantangan kecanggihan teknologi saat ini. Antara teknologi dan nilai budaya tetap melebur begitupun antara teknologi, seni dan nilai-nilai agama pun menyatu, seperti tatkala saya menyaksikan kehebatan teknologi dalam aksi seni Air Mancur Sribaduga yang diiringi musik dengan lirik asmaul husna.
Berbeda dengan dulu, kini dengan kota yang tertata dan kampung yang terurus, Purwakarta memeluk modernitas dengan kembali ke masa lalu, kembali mengangkat nilai-nilai yang tertanam sejak zaman dulu, dengan memperkuat basis budanyanya. Kota yang modern dengan mennegakkan dengan kokoh akar budanyanya. Kota yang memiliki karakter dengan mengangkat budaya ke-Sunda-an dan menegakkan nilai-nilai agama.