Sabtu, April 27, 2024

Modernisme Islam Cak Nur (1)

Yudhi Andoni
Yudhi Andoni
Dosen Sejarah Universitas Andalas, Padang.

Nurcholish Madjid atau Cak Nur (1939-2005) adalah pemikir keislaman kenamaan. Ia meninggalkan gagasan Islam yang dapat menjadi pedoman kehidupan beragama yang lebih toleran. Ide-ide Cak Nur tentang Islam merupakan mata air sejuk di tengah masyarakat yang makin intoleran serta anarkis atas nama agama.

Salah satu gagasan keislaman Cak Nur adalah terkait konsepnya tentang nilai Inklusifisme Islam. Bagi Cak Nur, Islam, artinya pasrah sepenuhnya (kepada Allah). Sebuah sikap yang menjadi inti ajaran agama yang benar di sisi Allah. Maka dari itu, Cak Nur berpandangan bahwa semua agama yang benar disebut Islam (Pintu-Pintu Menuju Tuhan, 2002).

Akar Modernisme Islam

Menurut Robert N. Bellah konsep modernisasi memiliki dua implikasi sosial. Pertama, ia mengguncang struktur makna, dan motivasi dalam masyarakat. Kedua, menyebarkan orientasi makna dalam mengatur perasaan pribadi untuk menumbuhkan stabilitas mental dan solidaritas sosial (Bellah, 2000).

Proses modernisasi dalam masyarakat Muslim pada hakikatnya menuntut hak-hak otonomi seseorang atau individu berjalan seimbang. Pemberian hak otonomi pribadi ini mengindikasikan kesejajaran individu berpartisipasi di dalam masyarakat dan meningkatkan martabatnya.

Penggunaan rasio (rasionalitas) menjalankan proses modernisasi tersebut bersifat mutlak. Modernisasi merupakan perasionalitasan makna masyarakat dan melepaskan setiap individu di dalamnya dari keterkukungan mental melihat dunia modern atau kemajuan.

Dalam tatanan makna masyarakat tradisional, modernisasi berhadapan dengan makna lama sebagai pengikat solidaritas sosial yang memonopoli interpretasi modernitas (kemajuan). Dalam masyarakat tradisional otonomi individu terikat oleh kebutuhan menjaga solidaritas sosial. Atas nama nilai dan tradisi, individu dalam masyarakat tradisional bersikap apatis terhadap masa depannya, serta menutup diri dari perkembangan dunia modern.

Ketika nilai modernisasi membuka pandangan individu tersebut terhadap masa depannya yang memberi nilai positif bagi perbaikan kondisi keduniaannya, maka ia disambut sebagai tantangan dan sekaligus ancaman.

Modernisasi dianggap tantangan menggairahkan karena ia mampu menciptakan nilai-nilai dan makna baru bersifat responsif terhadap kemajuan. Sedangkan modernisasi dipandang sebagai ancaman oleh sebagian masyarakat tradisional, sebab dapat menghancurkan pola nilai dan makna yang ada selama ini serta menimbulkan keguncangan sosial.

Masalah modernisasi yang paling besar dan mendasar dalam masyarakat muslim ialah efektivitas ajaran Islam dalam memenuhi berbagai kebutuhan religius umat, baik yang ukhrowi, ataupun duniawi. Dalam konteks proses modernisasi Islam pengaruh kekuatan sosial—lewat organisasi—dan personal—kaum cendekiawan sebagai minoritas kreatif—diarahkan kepada upaya-upaya menjadikan Islam relevan dengan masa kini tanpa menolak ataupun menerima sepenuhnya dunia modern yang sekuler.

Muslim di Indonesia memiliki dinamika tersendiri dibanding wilayah penyebaran Islam lain di dunia. Islam di Indonesia berinteraksi dengan budaya-budaya lokal sebagai dampak penyebarannya secara damai.

Sejalan dengan kenyataan Islam salah satu agama paling pesat dan luas menyebar di Indonesia, terdapat krisis-krisis tertentu yang melibatkan umat Islam.

Krisis tersebut menyangkut sikap beragama secara eksklusif atau tertutup dalam komunitas muslim sendiri. Sikap beragama secara tertutup ini menjadi akar krisis identitas umat Islam Indonesia antara mempertahankan pemahaman lama (tradisional), atau memberi arti bagi proses modernisasi di Indonesia.

Modernisasi menurut Cak Nur merupakan masalah moral. Maka, modernisasi efektifnya menyangkut pemenuhan kebutuhan religius manusia. Proses modernisasi di Indonesia yang digalakkan pemerintah Orde Baru, turut mempengaruhi kaum Muslimin menguji secara kritis keyakinan atau agama mereka.

Dalam proses modernisasi tersebut, secara esensial agama dan Tuhan ditantang untuk merangkul nilai-nilai kemanusiaan sehingga ia dapat berfungsi membebaskan manusia dari kebodohan, kemiskinan, penindasan, dan fundamentalisme radikal, daripada sebagai candu bagi manusia.

Gerakan fundamentalisme dalam banyak pemahaman, selalu diidentikkan dengan gerakan radikal keagamaan. Menurut Karen Armstrong, fundamentalisme keagamaan muncul sebagai respons atau reaksi terhadap dunia yang berubah, atau munculnya kehidupan masyarakat modern yang serba materialistis.

Gerakan fundamentalisme ini sangat menekankan pada keharusan untuk kembali pada fundamen keagamaan tertentu, yang bercirikan pemahaman literal atas dogma agama (skripturalis). Untuk kasus Islam di Indonesia, gerakan fundamentalisme bermula pada keinginan sebagian masyarakat kembali pada praktik ibadah yang merujuk pada kalangan Salafiyah Islam. Salafiyah Islam yakni praktik ibadah menurut tuntunan ulama terdahulu (Effendy, 2003).

Dalam konteks sejarah, perkembangan proses modernisasi di Indonesia sejalan dengan semangat keberagamaan dalam Islam. Sebab menurut Bryan S. Turner, isu modernisasi sendiri selaras dengan ajaran Islam yang menekankan monoteisme asketis dengan adanya sekularisasi terhadap nilai kepercayaan tradisional dalam masyarakat muslim (Turner, 2002). Oleh karena itu Cak Nur menilai perkembangan proses modernisasi menjadikan nilai dan makna keislaman mewujud secara toleran, humanis dan non-diskriminatif dalam kemajemukan masyarakat Indonesia.

Wujud wajah moderat Islam itu lebih jauh dipaparkan Cak Nur merupakan jawaban atas persoalan penerapan nilai keislaman dalam kehidupan bernegara secara mendasar serta berjangka panjang. Implementasi kehidupan kaum Muslim sebagai teladan warga bangsa dengan demikian dapat dilihat pada apakah persoalan etika Islam menjadi kunci prinsipil pandangan mereka.

Bagi Cak Nur pendekatan kepada sumber pokok Islam, yakni Al Quran dan Hadits mestinya melahirkan sikap kritis terhadap standar-standar keislaman dalam kehidupan politik di Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Mengusung pentingnya persoalan etika Islam dalam kehidupan politik Indonesia, Cak Nur mengembalikan etika keislaman tersebut pada prinsip, universalisme Islam, sikap inklusif dalam beragama pada realitas kemajemukan, kemanusiaan, dan sivilisasi (peradaban).

Yudhi Andoni
Yudhi Andoni
Dosen Sejarah Universitas Andalas, Padang.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.