Kasus tertangkapnya kelompok Saracen baru-baru ini mengejutkan kita. Sindikat penyebar fitnah yang beroperasi menyebarkan konten berita hoax di dunia maya ternyata benar-benar ada di sekitar kita. Mereka mengunggah kata-kata, narasi, maupun meme yang tampilannya mengarahkan opini pembaca untuk berpandangan negatif terhadap kelompok masyarakat lain.
Menurut Ruby Alamsyah, pakar IT dari Universitas Gunadarma, mengatakan bahwa kelompok semacam ini biasanya hadir karena ada kepentingan kelompok tertentu. Mereka disewa berdasarkan pesanan untuk menyebarkan kebencian (BBC Indonesia: 24 Agustus 2017). Bahkan ada yang menyebut keberadaan kelompok ini sengaja dipersiapkan untuk menyerang lawan politik menjelang Pemilihan Kepala Daerah serentak 2018, serta Pemilihan Umum dan Pemilihan Presiden 2019. Sekali lagi ini menegaskan bagaimana buruknya persaingan politik kekuasaan di negeri ini.
Egoisme Politik Golongan
Ingatan kita tentu belum pupus tentang aksi demo besar-besaran terhadap gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaya Purnama atau Ahok terkait kasus penistaan agama beberapa waktu lalu. Semenjak peristiwa itu, muncul gap yang luar biasa di level akar rumput terkait yang pro dan kontra. Ujaran kebencian dan stigma sosial merebak di masyarakat. Hal tersebut juga disinyalir merupakan buntut efek pilpres 3 tahun lalu yang juga diwarnai isu-isu SARA dan sentimen sosial yang memanas. Meski kini situasinya telah mereda, bukan berarti sudah tidak ada. Masih ada intrik-intrik kecil yang tersembunyi seperti bara dalam sekam yang sewaktu-waktu bisa muncul ke permukaan dan berpotensi memecah belah persatuan.
Politik golongan memang sebuah keniscayaan. Indonesia sebagai negara majemuk menjadi ladang subur tumbuhnya beragam corak ide dan pluralitas pandangan. Setiap kelompok, selain mempunyai pandangan yang berbeda juga mempunyai kepentingan masing -masing. Dalam konteks kebangsaan, negara demokrasi kita sudah menawarkan cara untuk mempertemukan pandangan yang berbeda-beda itu dengan jalan dialog dan musyawarah. Sesuai dengan sila ke-4 Pancasila yang kemudian diatur dalam konstitusi dan perundang-undangan.
Akan tetapi pada realitasnya, masing-masing kelompok sering mengabaikan dialog dan musyawarah, mereka lebih mengedepankan egoisme masing-masing. Kasus Saracen yang disebut di awal merupakan satu dari sekian bukti yang memberi gambaran bagaimana egoisme politik golongan banyak dilakukan dengan menghalalkan segala cara. .
Urgensi Moderatisme Kebangsaan
Lalu, bagaimana seharusnya sikap kebangsaan kita? jawabnya tak lain tak bukan adalah kesadaran sikap moderat. Bersikap moderat berarti membuka peluang untuk tidak berpikir fanatik berlebihan dan tidak bersikap ekstrim. Fanatik terhadap kebenaran diri atau kelompok tentu tidak salah, bahkan diperlukan demi menjaga idealisme dan identitas kita. Akan tetapi, sikap demikian jangan sampai menjebak kita ke dalam fanatisme buta.
Bersikap moderat juga berarti tidak berpikir secara kaku dan hitam-putih. Sehingga tidak mudah menstigma orang lain dengan kafir, liberal, anti Islam, anti Pancasila dan beragam stigma negatif lainnya yang semakin memperlebar jurang perbedaan. Menjadi moderat membutuhkan keluasan pandangan untuk berpikir secara hati-hati dan sepotong-potong. Analogi sederhananya misalkan berpikir soal manis. Bila kita tahu gula itu manis, tak lantas kita menstigma bahwa yang manis hanya gula. Padahal masih ada juga madu yang rasanya manis.
Oleh karenanya, sikap ini harus kita pupuk terus menerus dengan jalan selalu belajar dan membuka diri terhadap pandangan orang lain. Egoisme pribadi atau golongan sudah selayaknya mulai di redam. Saat ini masing-masing harus melakukan otokritik dan intropeksi baik personal maupun kolektif. Selalu berpikir dalam kepentingan kolektif kebangsaan, bukan berpikir personal golongan.
Belajar Moderat kepada Guru Bangsa
Perlu bagi kita belajar moderat kepada para guru bangsa yang selalu menebarkan pandangan-pandangan dan teladan moderat seperti K. H. A. Musthofa Bisri (Gus Mus), Buya Syafii Maarif dan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun). Gus Mus dan Buya Syafii Maarif adalah sesepuh dari dua ormas Islam Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Dua ormas Islam yang disebut paling moderat dan terbesar di Indonesia. Sementara Cak Nun, meski bukan bagian dari NU dan Muhammadiyah, tetapi ia sangat dekat dengan kedua ormas tersebut. Bahkan kemoderatan Cak Nun dapat dilihat dari “kebebasan”nya yang tidak bisa didikte ke dalam kelompok mana pun. Ketiganya patut menjadi teladan karena sosok negarawan sejati.
Gus Mus adalah kyai yang sangat dihormati di kalangan nahdliyin. Keteladan Gus Mus bisa kita rasakan ketika beberapa waktu lalu Gus Mus sempat di hina oleh seorang pemuda di media sosial. Kejadian itu sontak saja membuat geram para nahdliyin. Akan tetapi dengan besar hati dan lapang dada Gus Mus memberikan maaf kepada orang yang menghinanya itu. Tentu saja sikap Gus Mus ini langsung membuat tentram hati para nahdliyin. Menurut Gus Mus tak ada “Islam Moderat” karena Islam itu memang harus moderat. Kalau tak moderat berarti bukan Islam.(NU Online : Gus Mus : “kalau tidak moderat bukan Islam”, Jumat, 12 Mei 2017).
Buya Syafii Maarif sangat dikenal karena kesederhanaannya, misalnya beberapa waktu lalu sempat viral di media sosial sebuah foto yang memperlihatkan bagaimana mantan ketua umum PP Muhammadiyah ini berangkat ke sebuah acara yang mengundangnya dengan menggunakan sepeda ontel tua. Sosok Buya Syafii Maarif juga tidak mudah larut untuk mendukung kelompok tertentu. Meski Buya Syafii Maarif adalah kader Muhammadiyah, sekolah di sekolah Muhammadiyah dan menjadi puncak pimpinan Muhammadiyah, tetapi ia tak mau didikte sebagai Muhammadiyah yang fanatik, sebagaimana yang ditulis Ahmad Fuad Fanani pada artikelnya (dalam geotimes : Belajar Meneguhkan Toleransi pada Buya Syafii, Jumat, 2 Juni 2017).
Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun sangat konsisten dengan dakwah kulturalnya. Bersama kelompok musik Kiai Kanjeng, Ia hampir tidak pernah berhenti menghadiri acara-acara yang mengundangnya untuk menjadi pembicara. Kebanyakan yang mengundang Cak Nun adalah masyarakat akar rumput dan rakyat kecil dari basis massa NU dan Muhammadiyah. Sementara itu, kediaman Cak Nun di Kadipiro juga kerap disambangi oleh tokoh-tokoh dari lintas golongan dan politik.
Di luar ketiga tokoh tersebut, tentu masih banyak tokoh-tokoh lain yang bisa kita jadikan inspirasi dalam menjalankan moderatisme laku kebangsaan. Tokoh-tokoh yang tidak mempunyai ambisi politik untuk kepentingan diri atau golongannya, kecuali ambisi untuk kemaslahatan bangsa. Pada konteks kebangsaan saat ini, kita memerlukan banyak orang-orang yang berjiwa besar yang selalu mengedepankan moral seperti tokoh-tokoh guru bangsa itu.
Bersikap moderat memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Perlu proses dan niat yang kuat. Syarat utamanya adalah mau membuka diri. Kita juga harus rela meninggalkan ego kita: mengelola idealisme kita dengan tepat, tidak merasa diri paling benar, juga merasa diri masih bodoh sehingga mesti terus belajar dari orang lain. Pada akhirnya, sikap moderat mutlak kita jadikan pilihan, tak ada pilihan lain, karena moderatisme (kebangsaan) adalah satu-satunya pilihan.