Heterogenitas atau kemajemukan atau keberagaman adalah sebuah keniscayaan dalam kehidupan ini. Ia adalah sunnatullah yang dapat dilihat di alam ini. Allah menciptakan alam ini di atas sunnah heterogenitas dalam sebuah kerangka kesatuan. Dalam kerangka kesatuan manusia, kita melihat bagaimana Allah menciptakan berbagai suku bangsa.
Kehadiran perbedaan keyakinan dan agama telah lama menjadi bagian dari kemanusiaan. Berbagai agama dan kepercayaan tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dengan segala kompleksitasnya. Di tengah beragamnya keyakinan ini, di Indonesia muncul konsep moderasi beragama yang mencoba untuk mencari keseimbangan dan toleransi antara penganut agama yang berbeda. Namun, dalam pelaksanaannya, konsep moderasi beragama sering kali menghadapi kontradiksi internal yang begitu kompleks.
Sekilas Tentang Moderasi Beragama
Moderasi beragama dapat didefinisikan sebagai pendekatan yang mengusahakan untuk mempromosikan keseimbangan, harmoni, dan toleransi antara pemeluk agama dan kepercayaan yang berbeda.
Tujuan utamanya adalah menghindari ekstremisme dan konflik keagamaan, dengan berusaha mencari titik temu antara nilai-nilai bersama dan perbedaan dalam agama dan kepercayaan. Kementerian Agama RI mendefinisikan moderasi beragama sebagai “cara pandang, sikap, perilaku selalu mengambil posisi di tengah-tengah, selalu bertindak adil, dan tidak ekstrem dalam beragama (Kementrian Agama RI, 2019).
Namun, menurut Hilmy, posisi seperti mengimplikasikan suatu ambiguitas yang serius. Pasalnya, hal ini mirip dengan konsep La wa La (tidak dan tidak) seperti ujar-ujar “moderat itu tidak barat tidak timur, tidak ekstrem tidak liberal (Hilmy, 2013). Lebih lanjut, hal ini mengindikasikan Islam yang tidak otentik karena Islam dibubuhi dengan atribusi-atribusi. Islam seharusnya bermakna tunggal tanpa ditambahi kata sifat.
Salah satu kontradiksi terbesar dalam moderasi beragama adalah mempertahankan eksklusivitas agama dalam konteks inklusivitas yang diinginkan. Agama-agama seringkali mengajarkan kebenaran absolut dari keyakinan mereka sendiri, yang dapat memunculkan sikap eksklusif dan menolak keyakinan yang berbeda (Fuadi, 2018).
Upaya memahami perspektif agama lain dapat dianggap sebagai pengkhianatan terhadap keyakinan sendiri. Inilah yang membuat mencari keseimbangan antara menjaga integritas agama sendiri dan menerima pluralitas agama menjadi sulit.
Moderasi beragama juga menghadapi tantangan dalam menetapkan batas moral dan etika yang diperlukan. Walaupun secara kasat mata moderasi beragama dilihat selaras dengan hak-hak universal namun ditemukan pula ihwal yang mungkin bertentangan dengan nilai-nilai universal, seperti hak asasi manusia.
Dalam upaya untuk menerima perbedaan, seringkali terjadi kesulitan dalam menilai praktek-praktek yang tidak sesuai dengan pandangan dunia sekuler. Misalnya, bagaimana menanggapi praktik pernikahan anak yang dijustifikasi oleh alasan agama, tetapi bertentangan dengan hak anak untuk berkembang dan terhindar dari penindasan?
Pengaruh Politik dan Kekuasaan
Moderasi beragama sering kali terpengaruh oleh politik dan kekuasaan. Beberapa pemerintah atau kelompok politik mungkin memanfaatkan narasi moderasi beragama sebagai alat untuk menyensor dan membatasi kebebasan beragama. Sebaliknya, moderasi beragama juga bisa digunakan oleh kelompok oposisi untuk menentang kebijakan penguasa atau mencoba menghalangi praktik agama minoritas yang dianggap ekstrem.
Perkembangan globalisasi dan interaksi budaya telah menciptakan lingkungan di mana elemen-elemen budaya sering bercampur dengan ajaran agama. Ini dapat mengaburkan batas antara tradisi agama asli dan praktik-praktik budaya, yang pada akhirnya dapat menyulitkan upaya moderasi beragama.
Meskipun ada kontradiksi dalam moderasi beragama, tidak berarti konsep ini tidak bermanfaat atau relevan. Sebaliknya, pengakuan dan pemahaman mengenai kontradiksi ini dapat membantu mengembangkan pendekatan yang lebih bijaksana dalam upaya mencapai keseimbangan dalam masyarakat multikultural. Beberapa langkah yang dapat diambil adalah sebagai berikut:
Pertama, dialog dan pendidikan. Meningkatkan dialog antar pemeluk agama dan kelompok kepercayaan untuk memahami satu sama lain dengan lebih baik adalah langkah pertama yang penting. Ini harus didukung oleh pendidikan yang mendorong pengajaran tentang berbagai agama dan nilai-nilai universal yang saling berkaitan dengan perdamaian dan toleransi.
Kedua, pengakuan pluralitas. Penting untuk mengakui pluralitas agama dan kepercayaan sebagai bagian dari realitas masyarakat yang kompleks. Moderasi beragama harus mencakup sikap terbuka untuk mengakui perbedaan dan menilai kesamaan nilai yang dipegang oleh banyak agama.
Ketiga, penentuan batas moral. Kita perlu memahami bahwa batas moral dan etika tidak boleh ditentukan semata-mata oleh agama. Hal ini harus mencakup nilai-nilai universal dan hak asasi manusia. Dalam menghadapi praktik yang merugikan atau tidak etis, masyarakat harus berani untuk menghadapinya tanpa terpengaruh oleh kepentingan politik atau agama tertentu.
Keempat, tindakan konkret. Moderasi beragama tidak boleh hanya menjadi slogan kosong. Tindakan konkret harus dilakukan untuk mempromosikan kerjasama dan keseimbangan antaragama dalam kehidupan sehari-hari. Ini bisa melibatkan kerja sama dalam proyek sosial, pemecahan masalah bersama, dan kegiatan-kegiatan yang mendorong toleransi dan harmoni.
Kontradiksi-kontradiksi dalam moderasi beragama mencerminkan kompleksitas dan tantangan yang dihadapi oleh masyarakat multikultural. Namun, dengan kesadaran, pendekatan bijaksana, dan kerjasama aktif dari semua pemangku kepentingan, kita dapat mengatasi kontradiksi-kontradiksi ini dan memajukan moderasi beragama sebagai cara untuk mencari keseimbangan, toleransi, dan perdamaian di tengah-tengah perbedaan agama dan kepercayaan.
Dengan mengutamakan nilai-nilai universal seperti menghormati martabat setiap individu, mempromosikan perdamaian dan keadilan, serta menghargai hak asasi manusia, kita dapat menciptakan masyarakat yang lebih harmonis dan inklusif.