Kamis, April 25, 2024

Moderasi Beragama: Dakwah Pertengahan

Adis Setiawan
Adis Setiawan
Mahasiswa S2 Magister Manajemen Pendidikan Islam Universitas Islam An Nur Lampung. Bidang Riset dan Pengembangan Keilmuan IMM Bekasi Raya | Belajar Menulis

Dakwah pertengahan adalah model dakwah yang melebur dengan sistem budaya dan ketatanegaraan. Aktifis dakwah pertengahan senantiasa aktif dalam kegiatan sosial masyarakat, hingga ada yang aktif di pemerintahan serta memiliki jaringan sosial, budaya dan jaringan pemerintahan yang luas, seharusnya jauh dari kata ekstrem.

Dalam dakwah pertengahan, Islam dianggap sebagai sistem serba inklusif yang mencakup realitas komprehensif gerakan yang penuh semangat mengubah cara hidup yang menyeluruh. Islam sebagai ideologi meliputi seluruh kegiatan hidup manusia di dunia,  sehingga merupakan bagian dari doktrin, ibadah, tanah air, kewarganegaraan, agama, negara, spriritual, dan al-Quran.

Dakwah pertengahan seharusnya mempunyai titik temu dengan gerakan dakwah yang ada, yaitu berkolaborasi meliputi Dakwah Salafiyah (mengikuti generasi salafus shalih), Thariqah Sunniyah (kelompok Ahlus sunnah), Hakikah Suffiyah (berjiwa sufi), Haiah Siyasiyah (lembaga politik), Jamaah Riyadhiyah (klub olahraga), Rabithah Ilmiyah Tsaqafiyah (lembaga wawasan ilmiah), Syarikah Iqtishadiyah (persyarikatan ekonomi), Fikrah Ijtima’iyah (pemikiran sosial).

Kader dakwah pertengahan berusaha  mengumpulkan umat Islam dalam dakwah wasathiyah untuk kebaikan Islam dan Indonesia yang inklusif untuk peradaban dunia dan nusantara yang rukun dan adil.

Titik Temu Dengan Ajaran Lain

Dakwah pertengahan perlu memasukan unsur Tassawuf dalam mensucikan jiwa dan kesombongan. Inilah dakwah pertengahan agar lebih lembut tidak menyalahkan ajaran yang lain. Perbedaan sudah biasa dan itu sikapi dengan bergembira, perlu musyawarah.

Tidak seperti gerakan yang lain ada yang menganggap bahwa Tassawuf Sufi adalah sumber bid’ah dan dapat merusak akidah. Seseorang yang mempelajari Tassawuf akan di didik untuk selalu merendah dihadapan muslim lainya dan menyadari akan dosa-dosanya sendiri. Sehingga terhindar dari dirinya yang merasa paling benar.

Ada juga suatu gerakan yang merasa paling benar sesuai salafus shalih dan menganggap yang lainnya salah. Wajar jika dalam perjalanan dakwahnya mereka sering menyalahkan, padahal itu baru masalah khilafiyah saja.

Dakwah pertengahan menganggap bahwa selama muslim itu ahlul kiblat  hanya beda masalah khilafiyah saja berarti mereka masih muslim dan sama, perlu untuk kolaborasi berdakwah, sebagai keragaman yang bersifat variatif dan spesialisasi, bukan keragaman yang bersifat kontradiktif.

Satu sama lainya harus saling melengkapi karena sekarang berbagai manhaj ijtihadiyah yang kemungkinan terdapat perbedaan pendapat yang benar maupun yang salah dalam bertindak. Sebaiknya saling merendah dan selalu sadar akan dosa-dosanya sebelum menghukumi dosa orang lain.

Dakwah Pertengahan mempunyai kemiripaan dengan dakwah NU dalam unsur Tassawuf, akidah, dan Fiqh. Dimana dakwah pertengahan menganut akidah Asyariyah dan Fiqh imam Syafi’i.

Dakwah pertengahan seharusnya sama dengan dakwah Muhammadiyah,—Muhammadiyah juga ummat pertengahan,—lebih kearah gerakan kemasyarakatannya (Fikroh ijtimaiyyah) dimana mempunyai amal usaha, sosial baik sekolah, Rumah sakit, lembaga Zakat hingga lembaga keuangan, untuk membantu bangsa dan Negara.

Pandangan Gerakan Pertengahan Terhadap Negara

Misalnya, ada suatu aliran yang menjauhi aktivitas sosial kemasyarakatan, dakwah pertengahan sebagaimana Muhammadiyah giat menjadi penggerak utama sendi-sendi kehidupan bermasyarakat seperti menjadi pengurus RT, Karang Taruna, hingga jabatan sosial lainnya, membentuk organisasi sebagai dakwah sosial dll.

Akan tetapi dakwah pertengahan mempunyai unsur yang mirip dengan Salafi dalam penekanan untuk senantiasa taat pada Ulil Amri bagaimanapun keadaan pemimpinya, selama ia masih shalat dan apapun bentuk pemerintahannya. Namun sayangnya Salafi tidak mempunyai doktrin sosial-politik atau metode mengishlah negara.

Karena corak demokrasi di Indonesia beda dengan Arab yang membagi otoritas agama dan otoritas pemerintahan, disinilah hasil penekanan taat kepada Ulil Amri mengikuti otoritas Arab yang pada akhirnya Salafi seperti menyalahi budaya Nusantara seperti penolakan mereka terhadap adat-istiadat masyarakat Indonesia, seni budaya termasuk tembang macapat (lagu), wayang dan sarana budaya lainnya yang digunakan Walisongo dalam mengislamkan pulau Jawa.

Dakwah pertengahan lebih asertif terhadap budaya lokal. Doktrin sosial dakwah pertengahan menjadikan mereka aktif di semua lini masyarakat dan negara, serta terbuka terhadap budaya lokal seperti membiasakan berpakaian adat, batik dan peci dalam aktivitas keseharian  di tanah air.

Dakwah pertengahan mengadopsi semua unsur kebaikan dari gerakan Islam, gerakannya universal, komprehensif, dan menyeluruh, senantiasa berusaha untuk menjauhi titik-titik khilafiyah, bersifat wasathiyah (pertengahan), positif terhadap alam, manusia dan kehidupan, ketika berinteraksi dengan individu dan masyarakat mengutamakan akhlak dan kesantunan, misi dan sarana, serta dakwah yang logis dan diterima masyarakat, dan tidak merasa bahwa pahamnya saja yang paling benar, selalu merendah dan jauh dari kesombongan.

Sebagai gerakan yang memilih wasathiyah (pertengahan) senantiasa melihat konteks Undang-Undang yang berlaku di sebuah Negara. Maka jika dilihat, gerakan ini adalah gerakan yang paling asertif menyikapi kondisi negara. Mereka tidak akan teriak tegakkan syariat atau revolusi sekarang juga, karena hal tersebut bertentangan dengan dakwahnya yang mensyaratkan nilai logis dan diterima masyarakat.

Di negara-negara damai seperti Indonesia, gerakan pertengahan akan berjuang berdasarkan Undang-Undang yang berlaku. Hal ini berbeda dengan HTI yang di tiap negara slogannya selalu satu “tegakkan khilafah“. Sedang Salafi akan senantiasa menyerukan pemurnian akidah sebagai satu-satunya solusi umat.

Asalkan nilai-nilai ajaran Islam dapat direalisasikan, apapun bentuk pemerintahan dapat diterima secara syariah. Namun tetap adanya institusi negara yang pro-Islam menjadi penekanan mereka.

Negara demokrasi sejalan dengan Islam karena Islam dan demokrasi sama-sama menolak diktatorisme. Dalam Islam terdapat konsep penyelenggaraan kekuasaan dengan prinsip amanah, musyawarah, ijma’, dan baiat. Prinsip demokrasi dalam al-Quran begitu kuat. Yang diperlukan adalah reformulasi.

Kalau negara ini di ibaratkan kapal, maka ilustrasi menjadi begini. Hanya ada satu kapal yang di gunakan masyarakat untuk menyebrang dalam menjalankan roda ekonomi.

Ketika kapal itu rusak ada 3 kubu yang mempunyai pandangan, pertama kelompok ini mengatakan sudah jual saja dari pada menjadi barang bekas yang menganggu pemandangan tak perlu di betulkan, sudah bisa mengarah kelompok ini siapa.

Kedua, kelompok ini mencoba membetulkan walaupun susah, pelan-pelan di pelajari kerusaknya karena berharap agar menjadi normal lagi karena ini satu-satunya kendaraan untuk menyebrang dalam menjalankan roda-roda ekonomi, nah inilah dakwah pertengahan.

Ketiga, kelompok ini hanya membiarkan saja, mau rusak atau normal tidak ada hubunganya dengan ideologi mereka, terserah masyarakat sana mencari alternatif transportasi masing-masing, nah kelompok ini sudah ada gambaran siapa.

Wallahu Alam

Adis Setiawan
Adis Setiawan
Mahasiswa S2 Magister Manajemen Pendidikan Islam Universitas Islam An Nur Lampung. Bidang Riset dan Pengembangan Keilmuan IMM Bekasi Raya | Belajar Menulis
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.