Senin, Oktober 14, 2024

Moderasi Beragama: Antara Kebenaran Mutlak dan Kebenaran Relatif

Ibrahim Mahmud
Ibrahim Mahmud
Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Arab, Universitas Islam Negeri Sultan Aji Muhammad Idris Samarinda

Moderasi beragama. Sebuah frasa yang tidak lagi asing di telinga kebanyakan masyarakat namun tidak sedikit pula yang masih belum memahami hakikat bagaimana moderasi beragama itu.

Moderasi beragama adalah bagaimana cara pandang seorang muslim dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan keagamaan agar tetap selalu moderat. Moderasi berakar kata dari kata  moderat. Moderat dalam islam disebut dengan tawassuth, yaitu menempatkan diri di antara ujung kiri dan di ujung kanan. Lawan dari tawassuthadalah tattharruf atau ekstrim.

Dalam moderasi beragama, ada yang namanya kebenaran. Kebenaran yang dimaksud tersebut ada dalam dua ranah. Yang pertama, kebenaran mutlak yang termasuk di dalamnya adalah ranah akidah. Nilai kebenaran dalam ini adalah multak dan tidak dapat ditolerir.

Artinya ketika menjumpai perbedaan kontrit dalam ranah akidah, yang mesti dilakukan seorang muslim adalah berpegang tegung pada apa yang ia pegang diiringi dengan penyampaian kebenaran terhadap perbedaan tersebut dengan cara-cara yang telah diajarkan dalam Islam. Kebenaran yang kedua adalah kebenaran yang relatif. Utamanya kebenaran relatif ada dalam ranah fiqh. Relatif yang dimaksud adalah bisa saja benar tetapi penerapannya mesti tepat dan sesuai dengan tempat dan kondisi.

Berangkat dari pembahasan tersebut, yang akan dibahas di sini adalah kebenaran relatif. Sebagai contoh, misalnya, di kelurahan A masjidnya ketika shalat subuh melaksanakan doa qunut, sedangkan di masjid di kelurahan B tidak. Kalau ditelaah lebih dalam, tentu dari kedua masjid di kedua kelurahan tersebut tentu mempunyai dasar masing-masing dalam melaksanakan hal tersebut. Tentu tidak bisa dikatakan bahwa yang satu pasti benar, sedangkan yang lain itu salah. Akan tetapi penerapan yang tepatlah yang menjadi ukuran.

Oleh karena hal itu, seseorang baru dapat dikatakan bermoderasi dalam beragama apabila ia telah paham atau paling minimal ber-husnuzhan kepada perbedaan tersebut apabila mendapati perbedaan padanya, selama masih dalam ranah kebenaran relatif sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya.

Sejatinya moderat atau tawassuth itu adalah berada di tengah, bukan condong yang berlebih pada suatu golongan. Tentunya hal ini bukan hal yang mudah, karena tentunya setiap orang dan golongan itu mempunyai kecenderungan. Bahkan telah disebutkan dalam al-Qur’an:

…كُلُّ حِزۡبِۢ بِمَا لَدَيۡهِمۡ فَرِحُونَ

“…Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing-masing).” (QS. Al-Mu’minun ayat 53)

Setiap kelompok itu pasti akan mempunyai kecenderungan terhadap apa yang menjadi pegangan mereka. Jadi, pada fitrahnya manusia sudah mempunyai kederungan untuk mempertahankan apa yang menjadi pedoman atau pegangannya. Akan tetapi, hal tersebut adalah hal yang lumrah, selagi kecenderungan tersebut tidak disalahpahami bahkan disalahgunakan.

Karena manusia perlu untuk berpegang pada kebenaran. Kebenaran yang diyakini harus dipegang secara kuat-kuat. Tentu saja tidak menyalahkan apa yang dipegang oleh orang lain. Sehingga dapat dikatakan fanatik dalam beragama itu boleh bahkan menjadi suatu keharusan agar senantiasa berpegang pada apa yang ia yakini, selama ia tidak menunggalkan kebenaran.

Jadi apa yang dianggap oleh seseorang sebagai suatu kebenaran tentu harus ia pegang dengan tanpa menyalahkan orang lain yang berbeda dengannya. Karena ia pun mempunya dasar dan pegangan yang kuat juga. Sebagaimana Imam Syafi’I telah mencontohkan :

قولنا صواب يحتمل الخطأ وقول غيرنا خطأ يحتمل الصواب

”Pendapat kami benar, (tetapi mungkin saja) mengandung kesalahan, sedangkan pendapat mereka salah, (tetapi mungkin saja) mengandung kebenaran.”

Maka, ketika seorang muslim mengetahui suatu kebenaran yang menjadi pegangannya, seyogyanya ia tidak boleh menyalahkan saudara muslimnya yang lain yang ia dapati berbeda dengannya. Sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya, karena masing-masing golongan mempunyai dasar dan pedomannya sendiri.

Dalam aspek ini, agar dapat diterapkannya moderasi beragama atau tawassuth ini, maka perlu diketahui apa saja batasan dalam bermoderasi. Sebagaimana definisi dari bermoderasi -yaitu berada di tengah-tengah, maka perlu diketahui batasan ujung kanan dan batasan ujung kiri. Sehingga dengan batasan tersebut, seorang muslim dapat mengetahui di mana ia berpijak agar tetap berada di tengah-tengah.

Untuk mengetahui batasan-batasan dalam beragama sehingga seseorang bisa beragama dengan moderat, maka diperlukan barometer atau mizan dalam menentukan di mana sejatinya sekarang ia berpijak. Pentingnya seseorang mempunyai mizan dalam beragama sehingga tidak mudah mengklaim kebenaran hanya milik ia sendiri. Mizan yang perlu dimiliki oleh seseorang tentunya dapat diperoleh dari mempelajari ilmu agama, baik fiqh­, akidah, tasawwuf, ulumul hadits dan sebagainya. Karena pentingnya pengetahuan ini dapa menunjang seseorang dalam membuka cakrawala keilmuan terutama dalam beragama.

Dalam suatu kaidah disebutkan :

من اتسع علمه قلّ انكاره على الناس

Barangsiapa yang banyak ilmunya, maka sedikit ingkarnya terhadap manusia.

Dari kaidah ini dapat diambil pelajaran bahwa ketika seseorang menambah perbendaharaan ilmunya, maka ia akan semakin terbuka terhadap betapa luasnya cakrawala ilmu yang ada. Di sinilah pentingnya mizan yang telah dipaparkan sebelumnya. Seseorang yang telah terbuka dan luas pemikiran serta pemahamannya, tidak akan serta-merta dengan mudah mendistreditkan perbedaan yang ia dapati dalam beragama.

Maka menjadi muslim yang moderat adalah keharusan bagi seorang muslim. Sebagai barometer dari sikap bermoderat adalah tidak menunggalkan kebenaran. Dengan sikap moderat, akan terciptanya kedamaian bagi diri seorang muslim dan masyarakat sekitarnya. Ketika tidak tercerminnya kedamaian tersebut dari diri seseorang, maka bukan agamanya yang salah, tetapi caranya dalam beragama ada yang salah. Karena visi dan misi dari islam adalah menyebarkan kedamaian. Sebagai rahmatan lil ‘alamin.

Ibrahim Mahmud
Ibrahim Mahmud
Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Arab, Universitas Islam Negeri Sultan Aji Muhammad Idris Samarinda
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.