Sabtu, April 20, 2024

Modal Elektabilitas Jokowi dan Prabowo, Penting?

Fakhru Amrullah
Fakhru Amrullah
Pemerhati Dinamika Pemerintahan dan Sospol.

Walaupun pendaftaran calon presiden dan wakilnya dilaksanakan pada tanggal 4 sampai dengan 10 agustus 2018. Langkah-langkah sosialisasi politik dalam rangka meningkatkan elektabilitas dan popularitas mulai dilakukan oleh masing-masing calon.

Setiap Partai Politik (Parpol) sudah mulai memunculkan kandidat calon yang akan mereka usung pada Pilpres mendatang. Begitu juga calon yang katanya dari masyarakat juga bermunculan. Calon dari masyarakat adalah calon yang tidak/belum mempuyai partai pengusung namun didukung oleh sekelompok masyarakat pendukungnya. Mereka terus bergerak dan bertambah jumlah pendukungnya.

Pada dasaranya setiap calon mempunyai kesempatan untuk terpilih. Namun, pada kenyataanya, calon pada Pilpres 2019 mendatang tidaklah jauh berbeda dengan Pilpres 2014. Dari sisi elektabilitas dan popularitas, nama Jokowi dan Prabowo Subianto jauh mengungguli calon lainnya.

Berdasarkan hasil survei elektabilitas yang dikeluarkan mayoritas lembaga survei, nama Jokowi dan Prabowo adalah calon yang seimbang untuk bertarung di Pilpres 2019. Rata-rata kisaran angka elektabilitas Jokowi berada pada 45%-50%, sedangkan Lawan terdekatnya, Prabowo Subianto dalam kisaran 25%-35 %. Selebihnya persentase tersebut diisi oleh calon lainnya dan juga Undecided Voters (belum memilih).

Nama Jokowi dan Prabowo terus menjadi bahan penelitain oleh lembaga survei. Bagi penulis, ada kondisi anomali yang tercipta dari survei-survei yang dilaksanakan. Lembaga survei solah-olah menciptakan situasi paradoks calon pemimpin dengan melakukan penggiringan persepsi masyarakat bahwa pilpres hanyalah pangung untuk Jokowi dan Prabowo Subianto.

Masyarakat hanya disuguhkan dengan dua nama tersebut saja. Alasan dasar yang dikemukakan oleh lembaga survei adalah berdasarkan elektabilitas hanya Jokowi dan Prabowo yang maju di Pilpres 2019.

Kondisi seperti di atas memberikan doktrin sosialisasi dan persepsi kepada masyarakat bahwa kandidat Pilpres hanya Jokowi dan Prabowo. Padahal perjalanan masih panjang menuju 9 april 2019. Jika kita berkaca dari sejarah, pemilihan presiden Amerika tahun 2016 lalu. Kala itu mayoritas lembaga survei memprediksi bahwa Hillary Clinton akan memenangkan pemilihan dari Donald Trump. Namun pada kenyataanya, hasilnya membalikkan data lembaga survei. Donald Trump mengunguli Hillary Clinton.

Pada Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu. Hampir semua lembaga survei mengatakan bahwa Ahok akan mengungguli AHY dan Anies Baswedan. Namun, secara mengejutkan pasangan Anies-Sandi menang telak pada pemilihan putaran kedua.

Apa yang sebenarnya ingin penulis sampaikan bahwa pemilik suara itu adalah manusia, yang mempunyai persepsi sendiri. Lembaga survei tidak bisa menggiring persepsi masyarakat hanya ke calon tertentu saja. Karena last minute pun individu tersebut bisa mengubah pilihanya.

Namun, penulis mengakui metodologi yang dipakai lembaga survei telah terukur dan dapat diuji secara ilmiah. Setiap calon yang ingin maju dalam pemilihan umum pastilah memperhatikan survei elektabilitas sebagai modal utamanya. Modal elektabilitas yang baik akan menguatkan kepercayaan diri setiap calon.

Setiap lembaga survei mendapatkan informasi hasil penelitianya berdasarkan sampel yang mereka pilih. Siapa yang bisa menjamin kredibilitas sampel yang dipakai? Bagaimana jika sampel yang digunakan adalah simpatisan Parpol tertentu? Kita telah banyak melihat setiap Parpol pastilah mengatakan mempunyai survei internalnya sendiri.

Dari survei internal tersebut pastilah Parpol tersebut mengatakan calon yang mereka usunglah yang meliliki elektabilitas terbaik. Hal demikian mungkin saja terjadi dikarenakan sampel yang digunakan Parpol adalah basis/simpatisan meraka. Untuk melihat lebih jauh mari kita kaji lebih dalam tentang kelemahan lembaga survei.

Metodologi Survei

Rektor Universitas Perbanas Marsudi W Kismoro mengatakan metodologi survei bisa saja mengalami dua kesalahan. Kesalahan tersebut terjadi pada sampel dan kredibilitas surveyor. Dari sisi sampel, setiap sampel yang digunakan haruslah mempresentasikan keadaan sesungguhnya.

Semakin besar populasi, semakin sulit menentukan sampel, Biasanya penentuan sampel berdasarkan estimasi dan perkiraan. Dari sisi surveyor, sulit menfilter petugas yang independen. Petugas dilapangan bisa saja memihak, dan itu sulit untuk dikontrol.

Margin of Error

Margin of error menjadi bagian terpenting yang perlu kita perhatikan dalam sajian hasil lembaga survei. Margin of error menunjukan angka ketidakpastian hasil survei yang berkaitan dengan jumlah sampel yang mewakili populasi penelitian. Semakin besar persentase margin of error, semakin jauh suatu sampel tersebut dapat mewakili populasinya. Begitu juga sebaliknya, semakin kecil margin of error, semakin dekat suatu sampel dalam mewakili populasi sesungguhnya.

Misalkan hasil survei menyampaikan informasi A memiliki presentase 30% dan B 35% dengan margin of error 5%, ini artinya informasi A memiliki rentang nilai antara 25% sampai 35% sedangkan B rentang nilainya adalah 30% sampai dengan 40%. Dari ilustrasi di atas dapat disimpulkan bahwa, kita tidak bisa menentukan siapa pemenang survei jika selisih hasil survei sama dengan nilai margin of error yang ada.

Teknik Pengambilan Sampel 

Pada bagian ini penulis tidak menguraikan secara rinci tentang jenis-jenis teknik pengambilan sampel survei. Penulis ingin menyampaikan teknik pengambilan sampel yang berbeda akan memberikan hasil survei yang berbeda.

Teknik pengambilan sampel ini sangat terkait dengan analisis hasil riset. Karena karakteristiknya berbeda, hasil penelitian dengan metode pengambilan sampel yang berbeda tidak dapat dibandingkan. Karena, hasilnya akan bias jika dibandingkan satu sama lain.

Non-Sampling Error

Non-sampling error merupakan kesalahan yang terjadi dalam survei di luar akibat penggunaan sampel. Kesalahan ini terjadi saat proses pelaksanaan survei. Beberapa jenis non-sampling error di antaranya adalah, Responden tidak merespon saat disurvei, Responden memberikan respon yang salah, Responden yang terpilih bukanlah individu yang sesuai dengan tujuan survei, Pewawancara tidak jujur dalam mengisi kuisioner dan terakhir Human error kesalahan input kuisioner.

Sebagai penutup pesan yang ingin penulis sampaikan: hasil survei elektabilitas bukan penentu siapa pemenang tetapi menunjukan tendensi atau preferensi masyarakat atas pilihan yang ada. Pada saat ini media massa dan lembaga survei memiliki andil besar dalam membangun opini dan menggiring persepsi publik.

Lembaga survei yang tidak independen dan memiliki kepentingan tertentu dapat bermain-main dalam mengambil sampel yang menguntungkan mereka, memilih sampel survei sehingga memberikan hasil positif. Fenomena seperti ini akan lebih sering terjadi ketika memasuki masa kampanye pemilihan umum.

Fakhru Amrullah
Fakhru Amrullah
Pemerhati Dinamika Pemerintahan dan Sospol.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.