Kamis, April 25, 2024

MK Versus MA dan Problem Judicial Review

rhezafir95
rhezafir95
seorang yang sedang belajar Hukum Tata Negara

Pasca putusan Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan permohonan uji materi terhadap Peraturan KPU (PKPU) No. 26/2018 yang diajukan oleh Oesman Sapta Odang (OSO) membuat riuh perhatian publik.

Informasi yang berkembang adalah MA membatalkan ketentuan meknisme syarat pencalonan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang harus mengundurkan diri apabila seseorang tersebut adalah pengurus Parpol pada masa pencalonan (Pasal 60A PKPU 26/2018). Sebagai legal standing OSO mengajukan permohonan terhadap MA untuk menguji PKPU tersebut dikarenakan dalam pencalonannya sebagai anggota DPD OSO digugurkan oleh KPU di dalam daftar calon tetap (DCT) anggota DPD.

Peristiwa teresebut tejadi karena saat ini OSO menjabat sebagai ketua umum partai Hanura, sedangkan dalam waktu yang bersamaan dengan pencalonan OSO sebagai anggota DPD. OSO pun tidak melayangkan surat pengunduran atas dirinya bahwa dia telah mundur dari kursi jabatan sebagai ketua umum partai Hanura. Gugurnya OSO dalam DCT inilah kemudian menyebabkan kerugian baik secara materiil maupun imateriil atas berlakunya PKPU 26/2018 ini, sebagaimana diungkapkan oleh Kuasa Hukum OSO, Yusril Ihza Mahendra.

Jika diruntut ke belakang, hadirnya PKPU No. 26 /2018 ini merupakan sebuah tindak lanjut yang dilakukan oleh KPU dari Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 30/PUU-XVI/2018, yang substansinya adalah memperluas makna frasa “pekerjaan lain” dalam pasal 182 huruf I UU No. 7/2017 Tentang Pemilu (UU Pemilu) yang mencakup pengurus (fungsionaris) Parpol.

Konsekuensi dari perluasan makna ini adalah setiap bakal calon anggota DPD yang sedang menjabat sebagai pengurus Parpol berkewajiban mengundurkan diri dari aktivitas kepengurusan Parpol, manakala dia hendak mencalonkan diri sebagai anggota DPD.

Namun hal ini kemudian sangat bertolak belakang dengan putusan yang dikeluarkan oleh MA. Putusan MA Seakan akan tidak mempertimbangkan Putusan MK No. 30/PUU-XVI/2018 yang mempertegas makna pasal 182 huruf I UU Pemilu. Hal ini seolah olah MA ingin menghakimi dari pada putusan MK yang telah diputus pada 23 Juli 2018 lalu.

Akibat dari putusan MA ini hukum menjadi kabur, artinya terjadi ketidakpastian hukum yaitu apakah yang bersangkutan dalam hal ini dapat diputuskan sebagai DCT berdasarkan putusan MA atau gugur demi hukum pencalonan tersebut berdasarkan pertimbangan putusan MK dan PKPU No. 26/2018.

MA Versus MK 

Adanya permohonan yang dilayangkan oleh OSO kepada MA, seakan-akan menyoal tentang kekuasaan kehakiman yang ada di Republik Indonesia. Namun jika dilihat dari segi kelembagaan negara, MA dan MK merupakan kekuasaan negara dalam bidang kekuasaan kehakiman yang berkedudukan sejajar/ setara (pasal 24 ayat 2 UUD 1945).

Artinya secara kelembagaan tidak terjadi subordinasi antara kedua lembaga tersebut, sehingga tidak ada sifat instruktif yang dapat dilakukan antar lembaga tersebut. Dari segi produk kelembagaannya pun sama, MK dan MA sama-sama dapat mengeluarkan putusan yang bersifat erge omnes dalam perkara- perkara yang berkaitan dengan masalah publik.

Meskipun sama, kedua lembaga ini mempunyai perbedaan. MA sebagai lembaga kehakiman tertua di Indonesia memiliki kewenangan untuk mengadili perkara tingkat kasasi yang berasal dari lembaga peradilan dibawahnya, baik itu berasal dari Lembaga Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Agama, dan Peradilan Militer.

Sedangkan MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-undang terhadap Undang- Undang Dasar (UUD), memutus sengketa antar lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan hasil pemilihan umum.

Dari segi kewenangan dalam menangani perkara pun berbeda, namun dalam UUD NKRI 1945 kedua lembaga ini diberikan wewenang guna menguji sebuah peraturan perundang- undangan. Untuk MA, diberi kewenangan menguji perturan perundang-undangan di bawah UU. Sedangkan MK diberi kewenangan menguji UU terhadap UUD. Persamaan ini lah yang kemudian menjadi problem ketika dihadapkan dengan peraturan perundang-undangan yang menyangkut masalah-masalah sensitif, seperti halnya; Pemilu.

Problem Judicial Review

Ketidakpastian hukum yang ditimbulkan dari dua putusan yang saling bertolak belakang adalah sebuah problem yang perlu dibenahi di dalam sistem judicial review ini. Kondisi di mana MA berwenang menguji peraturan di bawah UU dan MK berwenang menguji UU terhadap UUD sangat rawan akan perbedaan dalam produk putusan yang dikeluarkan oleh kedua lembaga. Selain perbedaan masuknya politisasi dalam sebuah putusan pun juga dapat dimungkinkan terjadi dikarenakan ada perbedaan dalam mekanisme pengujian di dalam dua lembaga kekuasaan kehakiman ini.

Sebagai contoh dalam pengujian peraturan perundang-undangan di bawah UU yang dilakukan di MA dengan mekanisme sidang dilakukan secara tertutup layaknya dengan pemeriksaan perkara kasasi. Sehingga publik tidak mengatahui secara persis bagaimana jalannya persidangan.

Berbeda dengan di MK yang setiap sidangnya terbuka untuk umum sehingga publik mengetahui dan dapat memantau jalannya persidangan. Mekanisme tersebut menuai beberapa kritik dari ahli tata negara. Mekanisme pengujian peraturan perundang-undangan yang dilakukan dua atap akan sangat rawan dan berpotensi timbul putusan yang saling menegasikan, sehingga dapat menimbulkan ketidakpastian dan interkoneksi terhadap visi serta konsepsi hukum yang dibangun dalam kerangka pembaharuan hukum di Indonesia (Ni’matul Huda:2014).

Kaitannya dengan ketidakpastian hukum yang timbul pasca putusan MA ini dan kedua Lembaga kekuasaan kehakiman tidak saling mengadili antar putusannya, maka kedepan harus diperjelas terlebih dahulu hierarki putusan pengadilan yang notabene adalah produk dari MA dan MK.

Manakah yang lebih tinggi antara putusan MA ataukah MK, setingkat dengan apa putusan MA dan MK terkait judicial rewiew tersebut. Inilah problem yang harus dijawab terlebih dahulu. Jika menilik dari beberapa negara yang memiliki dua lembaga kehakiman seperti di Amerika dan Austria, maka sistem pengujian peraturan perundang-undangan tidak dibagi dua jalur seperti di Indonesia.

Di Amerika dan Austria praktik yang dilakukan adalah menggunakan mekanisme pengujian satu lembaga negara kaitannya dengan pengujian peraturan perundang-undangan, yakni supreme of court. Dari perbandingan ini sudah selayaknya politik hukum di Indonesia mengarah kepada pengujian peraturan perundang-undangan satu jalur, yaitu pada Lembaga Mahkamah Konstitusi.

Hal ini bertujuan supaya terciptanya kepastian hukum bagi publik karena pada hakikatnya putusan pengujian peraturan perundang-undangan bersifat erga omnes atau berlaku umum. Selain itu pengujian satu atap ini menjamin keterpaduan antar peraturan perundang- undangan secara hierarkis, sehingga mengurangi adanya tumpang tindih peraturan perundang-undangan atau putusan yang bersifat kontradiktif.

rhezafir95
rhezafir95
seorang yang sedang belajar Hukum Tata Negara
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.