Sabtu, Oktober 5, 2024

Mitos Bagi Manusia Modern

Fadlan Adlan
Fadlan Adlan
Freelance Writer and Founder of Sophia Institute

Salah satu kesalahpahaman umum yang kita lakukan adalah bagaimana cara kita melihat mitos. Lazimnya mitos dianggap sebagai hal-hal yang berhubungan dengan dongeng atau fabel yang tidak berguna. Atau paling banter, dianggap sebagai kebohongan yang diceritakan untuk tujuan ritus atau rekayasa yang dibuat untuk menipu orang-orang bodoh. Tetapi apakah memang seperti itu?

Pada dasarnya, kita adalah makhluk sosial yang suka bercerita. Menurut saya, mitos adalah cerita yang dibuat bukan untuk dipercayai tetapi untuk dipikirkan secara mendalam. Mitos merupakan cara kita untuk memahami manusia dan pengalaman-pengalamannya. Sederhananya, mitos membantu kita memahami kenyataan dari sudut pandang yang estetis. Mitos menyentuh dasar-dasar pengalaman subjektif kita terhadap realitas, sebab hakikatnya, kita tidak dapat memahami kebenaran realitas secara total, dan kalau pun kita bisa memahaminya, pun kita tidak benar-benar membutuhkannya.

Di alam semesta yang penuh misteri ini, mitos memberikan kita rasa takjub dan tanda tanya sehingga kita bisa terus terlibat dalam pencarian dan menumbuhkan keingintahuan besar tentang realitas tempat kita berada. Misalnya, seperti yang pernah saya tuliskan dalam esai bertajuk ‘Nakapali: How the Palu People Conveys Good Values Through a Myth’. Saya menelaah bagaimana mitos  -  yang dipraktikkan secara lisan oleh masyarakat Palu  -  tidak selalu hadir sebagai objek hitam-putih yang dapat dinilai dari apakah ia merepresentasikan realitas atau tidak, sebaliknya ia musti dilihat sebagai kisah yang merepresentasikan budaya dan pengalaman manusia terhadap sekitarnya.

Setahun yang lalu saya juga pernah menuliskan sebuah esai pendek berjudul Richard Dawkins, Menjadi Manusia Abadi Dengan Meme’. Mengutip beberapa premis tokoh ateis kaliber dunia tersebut dalam ‘The Selfish Gene’-nya, saya menyimpulkan bahwa Dawkins tidak memandang budaya sesinis seperti dia memandang agama (meskipun sulit memetakan apa perbedaan antara keduanya). Dawkins menggunakan kata meme sebagai istilah budaya yang, menurutnya, terus mengalami evolusi, sama seperti organisme-organisme pada umumnya. Singkatnya, meme adalah unit pengirim pesan atau (imitasi) budaya yang menyebar dari satu manusia ke manusia lain.

Mitos, sebagai produk budaya, pun mengalami evolusi. Namun sebagai orang yang cukup memahami perkembangan kognitif manusia, Dawkins tampaknya menyadari bahwa meme, termasuk mitos, adalah hal yang cukup penting dalam proses evolusi (di beberapa kesempatan, Dawkins bahkan mengaku sering membaca sastra dan karya-karya fiksi). Saking pentingnya, sekeras apapun kita menolaknya, ia tak akan mati (melainkan berevolusi), karena budaya, mitos, dan bentuk-bentuk meme lainnya merupakan bagian dari tahap perkembangan kognitif manusia.

Filsuf Rumania, Mircea Eliade, juga menyambut positif pandangan serupa, tetapi dia melangkah lebih jauh lagi dengan berteori bahwa mitos dapat membantu individu mengetahui bagaimana memahami dunianya dan bagaimana berperilaku dalam masyarakat. Bahkan dalam beberapa kasus, mitos dapat membantu kita terhubung dengan peristiwa, kenangan, dan nilai-nilai sosial di masyarakat. Dalam tulisan saya tentang nakapali sebelumnya, misalnya, saya memberikan beberapa contoh mitos yang dipercayai masyarakat Palu beserta dampak sosial dan keterkaitannya dengan peristiwa yang melatarbelakanginya seperti mengapa menggunting kuku di malam hari dilarang.

Ahli mitologi Joseph Campbell, yang dalam banyak tulisannya melanjutkan gagasan Carl Jung, berpendapat bahwa mitos memiliki fungsi penting di masyarakat, setidaknya dalam empat hal utama: menumbuhkan rasa kagum, mendukung kosmologi keagamaan, mendukung tatanan sosial, dan memperkenalkan individu pada jalan spiritual. Nah, di sinilah hal menariknya.

Pertama, mitos biasanya tidak dapat dipisahkan dari masalah-masalah ritual dan spiritual. Banyak mitos yang tidak masuk akal di luar drama liturgi yang menghidupkannya, dan sulit dipahami dari perspektif yang profan (keduniaan). Mitos sering kali berbicara tentang alam lain selain dunia kita. Kepercayaan terhadap realitas yang tak kasat mata namun lebih sempurna ini umumnya disebut dengan dunia ilahi (atau akhirat). Menurut pandangan ini, segala sesuatu yang terjadi di dunia memiliki pasangannya di dunia ilahi, yang lebih indah, lebih sempurna, dan abadi daripada dunia fisik kita. Dan setiap realitas duniawi hanyalah bayangan pucat dari arketipe akhirat (mirip seperti teori bentuknya Plato).

Hanya dengan melakukan pencarian spiritual lah umat manusia yang fana dan rapuh mampu memenuhi potensi mereka menjelajahi dunia tersebut. Mitos menyediakan bentuk eksplisit realitas yang dirasakan manusia secara intuitif. Ia memberi tahukan kita bagaimana makhluk-makhluk ilahi berperilaku, bukan karena rasa ingin tahu atau karena dongeng-dongeng tersebut menghibur, tetapi agar kita dapat meniru makhluk-makhluk tersebut, mengalaminya, dan mempraktikkan cara hidup yang lebih baik.

Oleh karena itu, saya kira, mitos dirancang agar membantu kita mengatasi kesulitan-kesulitan dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan hidup sekaligus menemukan tempat kita di dunia dan orientasi hidup yang harus kita jalani; kita semua ingin tahu dari mana kita berasal, namun karena asal muasal kita hilang dalam kabut prasejarah, kita menciptakan mitos tentang nenek moyang kita (meskipun tidak bersifat historis) demi menjelaskan apa perilaku yang tepat kita terapkan terhadap lingkungan, tetangga, dan adat istiadat kita.

Kedua, terlepas dari hubungan mitos dan spiritual di atas, perlu Anda ketahui bahwa pandangan Joseph Campbell mengenai mitos juga banyak memberikan pengaruh pada budaya modern kita (pop culture), salah satunya pembuat film Star Wars, George Lucas. Pria berusia 79 tahun ini bahkan pernah mengklaim bahwa dalam saga Star Wars yang digarapnya dia ingin menciptakan “mitos bagi manusia modern”. Selain Lucas, Campbell juga memberikan pengaruh besar pada Christopher Vogler, salah satu penulis naskah Disney, yang karyanya ‘The Writers Journey: Mytyic Structure for Writers’ sering dijadikan sebagai teks utama di Hollywood.

Oleh karena itu, meskipun bagi banyak orang mitos dianggap telah mati dan tidak lagi relevan, namun faktanya mitos terus mengalami kebangkitannya kembali. Sudah tak terhitung film yang mengikuti struktur mistis yang sama dengan kisah kepahlawanan kuno, termasuk Vogler, untuk plot dan penokohannya. Pahlawan di buku-buku Marvel dan film yang sering kita saksikan di layar kaca adalah contoh mitos yang berusaha dihidupkan kembali. Kisah-kisah pahlawan super dalam pertempuran besar melawan kejahatan adalah contoh modern dari drama dan kekuatan mitos masyarakat kuno ketika mereka mencoba menjelaskan berbagai fenomena alam yang terjadi.

Saya pernah sekali waktu berdiskusi dengan teman-teman di komunitas saya tentang kiamat kecil di mana virus-virus di tubuh manusia menjadi semakin kuat ketika kita tidak menghabiskan antibiotik dalam periode waktu yang telah ditentukan. Saya mengira mitos juga mengalami hal yang sama  -  seperti penggambaran Dawkins tentang evolusi meme  -  melawan segala rintangan pengetahuan materialis manusia, bertahan dari pengaruh budaya populer, dan akhirnya menjadi semakin kuat dan hadir di mana-mana dalam masyarakat modern dalam bentuk yang baru.

Di sisi lain, dalam masyarakat global seperti sekarang, mitos telah menjadi bahasa universal seperti uang. Frankenstein, Luke Skywalker, Frodo Baggins, Spiderman, Dr Strange, Batman, dan bahkan cerita-cerita drama Korea favorit Anda adalah bukti mitos yang telah melampaui batas-batas budaya; kita menyukainya, mencintainya, dan bahkan ingin menjadi seperti mereka terlepas dari siapa dan dari belahan dunia mana kita berasal.

Pahlawan-pahlawan di dalam film yang kita saksikan mengomunikasikan nilai-nilai universal masyarakat dalam perjuangan mereka melawan kejahatan. Kita menyaksikan sang pahlawan saat dia membuat pilihan-pilihan moralnya (bahkan secara tidak sadar). Ini mirip seperti bagaimana Horus mengalahkan Seth yang merepresentasikan kejahatan dalam mitologi Mesir, atau bagaimana Ahura Mazda yang mengalahkan Angara Mahiyu dalam teologi Zoroaster.

Olehnya mitos, meskipun kita dan pandangan materialis modern menolaknya, tidak bisa luput dari kehidupan kita, bahkan ia menjadi unsur penting dalam agama, ideologi, dan pengalaman-pengalaman kita terhadap realitas. Sebab, pada akhirnya nilai dari cerita-cerita tersebut lebih dekat dari yang kita pikirkan. Di sisi lain kita juga memiliki kerinduan yang mendalam akan sentuhan harapan, kisah pengorbanan, dan kepahlawanan meskipun itu sukar dianggap nyata. Barangkali mitos hari ini bukan lagi sekadar alur dan makna fiktif, tetapi juga alur dan makna kehidupan  –  bahwa masih banyak hal dalam hidup yang tidak dapat kita pahami.

Fadlan Adlan
Fadlan Adlan
Freelance Writer and Founder of Sophia Institute
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.