Masih hangat di telinga kita, saudara di Lombok, Nusa Tenggara Barat sedang diguncang gempa bumi. Bahkan gempa tidak terjadi sekali, rentetan gempa bahkan sampai pada tanggal 19 Agustus 2018 sebesar 6.9 scala richter (SR).
Indonesia yang terletak di cincin api dan pertemuan antarlempeng dunia menyebabkan posisinya memiliki potensi yang besar untuk terjadinya bencana alam. Hal itu menyebabkan sering adanya gerakan sesar atau patahan yang menyebabkan gempa bumi hingga tsunami dan seringnya erupsi gunung berapi di Indonesia.
Tidak hanya bencana yang disebabkan oleh faktor alam, Indonesia juga sudah langganan untuk tertimpa bencana tahunan seperti banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, dan sebagainya yang disebabkan oleh ulah manusia sendiri. Tentunya bencana tersebut memiliki dampak yang merugikan bagi masyarakat, baik secara moril dan materil.
Menurut data BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) di tahun 2016 saja bencana yang terjadi di Indonesia mencapai 2.000 kasus. Bencana tersebut menyebar dan terjadi di seluruh kawasan di Indonesia. Dari berita dan laporan online juga diberitakan bahwa kebanyakan korban bencana tersebut adalah anak-anak dan sebagian manula. Sangat merugikan dan akan menimbulkan kesedihan yang mendalam ketika generasi penerus kita malah menjadi korban dalam suatu bencana.
Tak ayal hal itu terjadi, secara fisik anak-anak masih lemah untuk menyelematkan dirinya saat terjadi suatu bencana. Begitupun ditambah dengan pengetahuan akan mitigasi saat terjadi bencana yang kurang diketahui oleh kebanyakan anak sehingga menimbulkan kepanikan pada anak.
Jika anak tidak memiliki pengetahuan terkait mitigasi bencana, nantinya anak-anak akan merasakan trauma yang mendalam dan menggangu psikologis anak. Pengetahuan terakit mitigasi bencana ini juga merupakan salah satu hak anak-anak untuk mengetahui informasi terkait upaya mitigasi yang bermafaat bagi anak jika sewaktu-waktu terjadi bencana alam.
Peran Keluarga dan Sekolah
Banyaknya korban anak-anak pada bencana alam menunjukkan betapa pentingnya keluarga sebagai agen sosial primer untuk memberikan pengetahuan mitigasi bencana. Pengetahuan mitigasi bencana dapat dengan mudah jika dipraktikkan di dalam lingkup keluarga dengan sosok orang terdekat sebagai contoh dalam proses mitigasi tersebut.
Jika memang orangtua/ keluarga masih belum banyak mengetahui tentang mitigasi bencana, kini banyak pada portal online dan buku-buku terkait mitigasi bencana yang baik dan benar. Terlebih dengan akses pengetahuan yang mudah, tentu dapat membantu orangtua untuk mengajarkan mitigasi bencana pada anak-anaknya.
Begitupun peran sekolah sebagai “rumah kedua” bagi anak-anak untuk memberikan pengetahuan terkait mitigasi bencana. Pihak sekolah dapat menjadwalkan dan bekerjasama dengan pihak tanggap bencana seperti BNPB, BPBD, TAGANA, atau kelompok kerelawanan untuk memberikan sosialiasi mitigasi bencana di sekolah-sekolah.
Selain itu juga diperlukan adanya simulasi mitigasi bencana agar anak dapat mengetahui dengan jelas apa yang harus dilakukan saat terjadinya suatu bencana. Pendidikan terkait mitigasi bencana ini juga sebaiknya dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah, khususnya sekolah-sekolah yang berada dalam kawasan rentan terjadi bencana alam.
Selain itu juga ditambah dengan kapasitas tenaga pendidik termasuk guru, kepala sekolah, dan pegawai sekolah terkait pengetahuan tentang mitigasi bencana. Tidak hanya pengetahuan terkait mitigasi saat terjadi bencana saja,juga diperlukan penanaman terkait tindakan preventif untuk mencegah terjadinya bencana serta tindakan pascabencana yang juga penting.
Hal itu diperlukan untuk mengatasi terjadinya trauma yang biasanya dialami oleh anak-anak saat pascabencana. Seperti dengan melakukan penanaman pohon, seruan agar tidak membuang sampah sembarangan, hingga membuat alat pendeteksi tsunami atau gempa.
Dapatlah diberikan juga terkait upaya untuk mengendalikan emosi dan psikologis saat pascabencana. Jika sudah tertanam kemampuan dan pengetahuan terkait mitigasi bencana, anak-anak akan mengetahui apa yang harus ia lakukan untuk menyelamatkan diri jika terjadi bencana alam.
Tidak hanya itu, anak-anak juga dapat saling mengingatkan kepada keluarga bahkan masyarakat untuk menyelamatkan diri saat terjadi bencana. Berdasarkan pengalaman saya, jika anak-anak sudah terbiasa dan mengerti terkait pengetahuan mitigasi bencana, maka anak tersebut akan cenderung tenang dan tidak panik, mereka melakukan upaya menghibur diri dengan mengikuti kegiatan di posko pengungsian yang sering dilakukan oleh relawan.
Sumber:
http://www.sinarharapan.co/news/read/150726005/agar-anak-anak-tanggap-bencana, diakses pada Kamis, 2 November 2017.
https://news.detik.com/kolom/d-3502328/pendidikan-siaga-bencana-dalam-keluarga, diakses pada Kamis, 2 November 2017.http://pendidikan-luar-sekolah.fip.uny.ac.id/berita/mitigasi-bencana-bagi-anak-usia-dini.html, diakses pada Kamis 2 November 2017
Sumber Gambar:1. assets.kompas.com/data/photo/2014/01/20/0707340banjir-14780×390.jpg2.