Dunia politik selama ini lekat dengan generasi baby boomers dan generasi X, karena sebagian besar politikus dan orang yang berkecimpung di dunia politik adalah anggota generasi tersebut. Namun, perlahan-lahan stereotipe itu bergeser saat anak-anak muda mulai diperhitungkan dalam perpolitikan dan menjadi “pemberi arah baru” dalam menentukan kebijakan pemerintah.
Pada kancah internasional, muncul tren naiknya pemimpin-pemimpin muda seperti di Ukraina, El Salvador, New Zealand, dan Austria. Sementara di dalam negeri, mulai muncul anak-anak muda yang memiliki kapabilitas untuk mengisi kursi-kursi jabatan dalam pemerintahan. Di dalam istana, ada Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan serta 7 staf khusus yang dipilih langsung oleh Presiden Joko Widodo.
Sementara di luar istana, ada berbagai macam contoh, seperti Emil Dardak, wakil gubernur Jawa Timur, William Sarana, anggota DPRD DKI Jakarta, dan yang baru-baru ini naik adalah Seno Bagaskoro, juru bicara tim pemenangan Eri-Cahyadi, calon walikota Surabaya, yang merupakan mahasiswa semester 1 di Universitas Airlangga. Selain itu, gerakan demonstrasi yang digagas aliansi mahasiswa menentang UU Cipta Kerja menunjukkan bahwa generasi muda turut mengawasi pengambilan kebijakan yang dilakukan oleh negara.
Salah satu faktor yang mendukung para millenial untuk proaktif terhadap politik praktis adalah peran dari perkembangan teknologi dan informasi. Perkembangan teknologi dan informasi tersebut tidak lepas dari pengaruh Revolusi Industri 4.0. Schwab (2016) menyatakan bahwa revolusi industri 4.0 yang terjadi pada abad kontemporer ditandai oleh revolusi digital dalam berbagai bidang kehidupan manusia.
Revolusi ini dicirikan oleh perangkat seluler berbasis internet yang dapat diakses secara universal, kecanggihan sensor elektronik yang ukurannya lebih kecil dan murah, dan beragam kecerdasan buatan manusia berbasis teknologi serta mesin-mesin pembelajaran berbasis internet (Schwab, 2016). Terciptanya ruang publik untuk berdiskusi juga merupakan hasil dari Revolusi Industri 4.0.
Lewat ruang-ruang publik inilah millenial dapat mempresentasikan suara masyarakat dengan lebih baik. Hal ini didukung oleh Karakas et al.(2015) bahwa generasi millenial terhubung dengan ekosistem digital dalam menjalankan kegiatan sehari-harinya, baik itu bekerja, bersosialisasi, maupun dalam melakukan aktivitas lainnya.
Fakta lebih lanjut, bahwa dari 145 juta penduduk Indonesia yang memakai internet, kurang lebih 50% nya merupakan golongan umur 19 – 34 tahun yang dapat dikategorikan sebagai generasi millenial. Serangkaian kenyataan ini mengindikasikan adanya kekuatan dan kemampuan dari generasi millenial yang adaptif terhadap digitalisasi berbagai aspek kehidupan manusia, termasuk di dalamnya politik yang mampu dimanifestasikan melalui ruang-ruang demokrasi digital.
Ruang-ruang publik digital adalah “arena” milik generasi millenial. Di dalamnya mereka dapat mengeluarkan pendapat, berunding, dan turut mengawal pengambilan kebijakan sehingga negara bisa diawasi. Seturut dengan pernyataan Habermas dalam Kadarsih (2008:2) ruang publik diciptakan dengan tujuan untuk merasionalisasikan dominasi politik dengan memberikan tanggung jawab negara pada warga negara.
Ruang publik versi Habermas ini harus bersifat otonom dan tidak ada intervensi dari pemerintah, dalam hal ini adalah ruang publik publisitas. Ruang publik publisitas disini merujuk pada media massa, media sosial, dan tempat diskusi digital yang dapat digunakan oleh generasi millenial dalam berpendapat sehingga terbentuk demokrasi digital yang baik.
Penggunaan ruang-ruang publik digital ini bila digunakan dengan maksimal dapat menjadi kekuatan politik yang besar dan berpengaruh dalam mengkritik dan mengawal jalannya pemerintahan. Contohnya, demonstrasi menentang UU Cipta Kerja yang dilakukan oleh mahasiswa di berbagai daerah di Indonesia berawal dari keresahan masyarakat di media sosial tentang pembuatan UU Cipta Kerja yang terkesan terburu-buru dan merugikan rakyat, setelahnya mahasiswa berkonsolidasi dan melakukan kajian secara online serentak turun ke jalan di kota-kota di Indonesia. Dari contoh ini menunjukkan bahwa peran generasi millenial dalam ruang publik digital sangat besar dan dapat menghasilkan kekuatan politik yang luar biasa.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian esai tersebut, dapat disimpulkan bahwa intensitas keterlibatan generasi milenial dalam demokrasi digital dewasa ini sangat besar adanya. Hal ini dikarenakan mereka memiliki kemampuan dalam menggunakan beragam perangkat media digital secara cepat dan efisien.
Lebih lanjut, serangkaian digitalisasi yang dilakukan oleh generasi milenial tersebut juga dapat terlaksana akibat adanya revolusi industri 4.0 yang menginisiasi era transformasi digital dalam peradaban manusia dewasa ini. Selanjutnya, penggunaan ruang-ruang publik digital dengan tujuan berdiskusi dan mengawasi pengambilan kebijakan sangat besar perannya untuk mewujudkan demokrasi digital di Indonesia dan memiliki kekuatan politik yang besar bila dapat terkoordinasi dengan baik.
Referensi
Kadarsih, Ristiana. “Demokrasi Dalam Ruang Publik: Sebuah Pemikiran Ulang Untuk Media Massa Di Indonesia.” Jurnal Dakwah UIN Sunan Kalijaga, vol. 9, no. 1, 2008, pp. 1-12.
Karakas, Fahri et al. 2015. “Management learning at the speed of life: Designing reflective, creative, and collaborative spaces for milenials”, dalam The International Journal of Management Education 13: 237-248.
Schwab, Klaus. 2016. The Fourth Industrial Revolution. Switzerland: World Economic Forum.
photo source: tribunnews.com