Kamis, April 25, 2024

Milenial dan Paradigma Koperasi Alternatif

Aef Nandi Setiawan
Aef Nandi Setiawan
Penyuka Arsenal dan kopi pahit

Beberapa kawan gerakan koperasi mulai mengadakan seminar bernada millenial di banyak kesempatan. Tujuannya untuk menarik minat anak muda berkoperasi lebih banyak lagi. Tentu ini adalah niatan yang baik, harus kita doakan dan dukung. Tapi mengajak anak muda berkoperasi itu tidak semudah mengajak orang untuk mencoblos saat Pilkada. Jargon kesejahteraan dan ekonomi berkeadilan tidak mencukupi.

Untuk menarik minat anak muda, setidaknya harus ada best practice praktik koperasi yang layak dijadikan contoh. Tapi sayangnya referensi praktik koperasi yang dikelola anak muda hampir tidak. Maksudnya tidak ada yang bagus, kalau yang jelek banyak. Jadi, membayangkan anak muda memilih koperasi sebagai alternatif bisnis itu seperti berharap kedelai berkecambah di padang pasir.

Tapi masalahnya bukan sekadar ada atau tidaknya best practice. Ada masalah lain yang lebih mendasar yang membuat anak muda tidak memilih koperasi. Saya menduga, jangan-jangan konsep koperasi memang tidak cocok untuk anak muda. Tentu maksud saya adalah konsep koperasi Indonesia, bukan koperasi secara generik.

Salah satu masalahnya adalah dari sisi paradigma berkoperasi kita hari ini. Dimana  koperasi memiliki paradigma yang berbeda dalam menafsirkan modalitas manusia dan juga konsep kepemilikan bersama. Dua paradigma ini, menurut saya, yang menjadi penyebabkan koperasi tidak masuk dalam imajinasi anak muda.

Tafsir Atas Modal

Untuk membangun sebuah bisnis ada dua modal dasar yang harus ada yaitu, modal manusia (SDM), dan modal kapital. Dalam koperasi posisi posisi manusia berada lebih tinggi ketimbang kapital, tapi soal ini saya kira Anda sudah paham jadi tidak perlu saya urai lebih jauh. Dalam soal posisi manusia dihadapan kapital, koperasi ala Indonesia punya tafsir sendiri.

Tafsirnya adalah menjadikan kumpulan banyak orang sebagai modalitas koperasi. Artinya posisi manusia lebih tinggi dari kapital dilihat dari sisi kuantitasnya. Semakin banyak orang maka koperasi semakin kuat, karena dari situ juga bisa menjadi sumber kapital.  Dari konsep ini maka model koperasi yang populer adalah simpan pinjam dan konsumsi. Anggotanya bisa mulai ratusan hingga ribuan.

Apa yang salah dengan konsep koperasi seperti ini? Tentu tidak ada yang salah. Tapi dalam konteks anak muda tafsir semacam ini belum tentu cocok. Karena kaum milenial adalah tipe, meminjam istilah Emile Durkheim, masyarakat organis dengan karakteristik memiliki keterampilan dan pengetahuan yang lebih baik dan tentu saja lebih individualistik.

Tafsir koperasi yang menempatkan kumpulan orang sebagai kekuatan mungkin hanya cocok untuk komunitas dengan sifat komunal yang kuat. Misalnya masyarakat pedesaan, dimana kepentingan bersama lebih utama daripada kehendak pribadi. Sementara  tafsir koperasi bagai kaum millenial, adalah yang menempatkan individu sebagai modalitas, bukan kumpulan orang secara kolektif.

Paradigma koperasi ini yang jamak di Amerika dan di Eropa, dimana kumpulan individu adalah modalitas dominan yang menggerakan bisnis. Sehingga disana koperasi bisa menjadi alternatif bagi anak muda yang sudah jengah dengan sistem bisnis yang kapitalistik. Bahkan konon, di Amerika Utara sana, inovasi dan gagasan-gagasan mutakhir lahir dari koperasi-koperasi yang dijalankan anak muda itu.

Tafsir Atas Kolektivitas

Konsep koperasi tentang demokrasi di tempat kerja itu sebenarnya futuristik, ia sesuai dengan semangat zaman hari ini. Kaum milenial sangat senang jika gagasan dan aspirasinya ditanggapi. Mereka juga lebih senang budaya kerja yang setara, bukan hierarkis. Hal semacam ini hanya mungkin diakomodasi secara paripurna di perusahan yang memiliki dimiliki secara kolektif, seperti koperasi. Tapi mengapa koperasi tidak juga dipilih anak muda?

Tentu ada banyak alasan yang menjadi penyebab. Tapi yang menurut saya kurang tepat adalah, koperasi manfsirkan kepemilikan sebagai instrumen untuk pertumbuhan bisnis. Bisnis yang dimiliki secara kolektif akan lebih maju dan lebih sejahtera. Sehingga yang dilakukan adalah mengajak banyak untuk memiliki bisnis koperasi agar sejahtera bersama.

Namun faktanya, tidak sejahtera. Yang ada koperasi jadi lebih mirip paguyuban yang mendapat mamfaat layanan pinjaman lunak atau sembako lebih murah. Tentu saja ini model bisnis yang sama sekali tidak menarik bagi kaum millenial. Karena memiliki bisnis koperasi tidak meningkatkan kesejahteraan mereka sama sekali. Lebih jauh mereka akan menyimpulkan, koperasi tidak memberi apa-apa kecuali jargon-jargon besar.

Kepemilikan dalam koperasi itu adalah instrumen demokrasi, bukan instrumen bisnis. Meskipun keduanya memiliki keterkaitan. Logikanya adalah, tanpa ada kepemilikan maka tidak mungkin ada demokrasi di tempat kerja. Sistem kepemilikan, untuk menarik minat kaum milenial, seharusnya diterjemahkan dalam bentuk praktik tata kelola transparan dan budaya egaliter.

Koperasi Pekerja Sebagai Altenatif

Sudah saatnya, saya kira, kita perlu paradigma alternatif yang sesuai dengan anak muda. Dimana koperasi adalah kumpulan individu yang memiliki kepentingan yang sama membangun sebuah bisnis, bukan semata kumpulan orang banyak. Kepemilikan dalam koperasi dimaknai instrumen dasar mewujudkan adanya demokrasi partisifatif di tempat kerja, sehingga ia menjadi alternatif dari sistem perusahaan swasta yang kapitalistik.

Dari paradigma itu, saya kira model yang cocok adalah koperasi pekerja (worker coop). Yaitu model koperasi dimana orang bekerja sekaligus menjadi pemilik. Mereka memproduksi barang atau jasa dan mendapat penghasilan dari apa yang dikerjakan. Model ini banyak diadopsi oleh anak muda di Eropa dan Amerika. Mereka menjalankan bisnis dari berbagai sektor dengan menggunakan sistem koperasi pekerja.

Konsep ini sebenarnya bukan suatu yang baru. Ia sama tuanya dengan konsep koperasi yang lain, hanya di Indonesia saja belum berkembang. Dalam model ini bisnis bisa dimulai hanya dua orang yang memiliki komitmen yang kuat. Pertambahan jumlah anggota koperasi bertambah seiring dengan pertumbuhan bisnis.

Contoh koperasi pekerja, yang telah menjdi klasik, adalah Mondragon cooperatives. Cikal bakalnya dirintis oleh lima anak muda lulusan sekolah kejuruan. Dengan bekal keahlian membuat perkakas, mereka mendirikan usaha membuat peralatan dapur.  Bisnis mereka terus tumbuh, saat ini lini bisnisnya tidak hanya peralatan dapur, tapi juga pendidikan dan kesehatan. Kini pekerja dan pemiliknya sudah lebih dari 70.000 orang.

Aef Nandi Setiawan
Aef Nandi Setiawan
Penyuka Arsenal dan kopi pahit
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.