Kamis, Juli 17, 2025

Migrasi Iklim dalam Era Antroposen

Ica Wulansari
Ica Wulansari
Dosen Hubungan Internasional Universitas Paramadina dan Pengkaji politik lingkungan hidup dan isu sosial-ekologi
- Advertisement -

Saat ini merupakan era antroposen dimana serangkaian bencana terjadi karena fenomena perubahan iklim. Antroposen dikaitkan dengan terjadinya intensitas dan frekuensi yang semakin meningkat akibat cuaca eksterm dan bencana yang dikaitkan dengan perubahan iklim.

Selain itu, ancaman terjadinya kehilangan pulau-pulau kecil akibat kenaikan permukaan air laut semakin nyata. Kerangka antroposen disebut sebagai era krisis baru yang menjadi cara berpikir dan beraksi untuk masa depan. Diksi antroposen pada dasarnya membantu perhatian publik mengenai bagaimana manusia secara kolektif mendominasi planet dalam skala yang besar. Antroposen menjadi diksi yang dapat menunjukkan dampak manusia pada sejarah bumi atau bagaimana manusia memberikan dampak terhadap sistem bumi dan iklim.

Krisis Ekologi

Dalam dokumen Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 2021 telah menunjukkan bahwa antroposen merupakan narasi krisis kontemporer pada kondisi sosial ekologi global untuk memahami krisis sejarah planet dan kedaruratan yang berdampak pada manusia dan makhluk hidup lainnya. PBB menunjukkan kesalingterkaitan antara perubahan iklim, polusi, dan kerugian terhadap keaneka ragaman hayati dengan istilah Triple Planetary Emergency.

Selain itu, antroposen pun menjadi diksi dalam ilmu sosial dan humaniora yang menunjukkan bagaimana globalisasi telah mendorong perubahan sosial dan lingkungan hidup yang besar. Di sisi lainnya, menurut Dipesh Chakrabarty (2021) dalam bukunya berjudul ‘The Climate of History in A Planetary Age’ memberikan sorotan bahwa antroposen sebagai penanda zaman dengan ketidakpastian situasi dengan konteks waktu kapitalisme atau sistem ekonomi global yang telah dimulai pada masa revolusi industri dan kolonialisasi Eropa.

Antroposen menunjukkan tantangan ganda antara alam dan kehidupan sosial melalui dorongan geologis. Dorongan geologis tersebut adalah ketergantungan manusia pada bahan bakar fosil. Antroposen yang secara berkesinambungan telah melakukan kerusakan lingkungan hidup.

Antroposen menunjukan dilema bencana terkait iklim yang menonjolkan diskursi perlunya tanggung jawab menghadapi bahaya dan kerentanan sosial dan ekologis. Selain itu, kerentanan berasal dari hubungan sosial yang mengatur pertukaran, produksi, dominasi, subordinasi, pengaturan dan subjektifitas. Kerentanan yang berlapis mendorong krisis yang melintas tempat dan waktu. Misalnya bagaimana isu keanekaragaman hayati dengan daya dukung lingkungan hidup yang bermasalah di tengah terjadinya krisis iklim menyebabkan terjadinya kelangkaan karena adanya kenaikan temperatur udara dan berdampak pada kerusakan maupun kepunahan spesies.

Keterhubungan Antroposen dan Struktur Ekonomi Politik

Perubahan iklim terjadi karena struktur ekonomi politik global telah menimbulkan kesenjangan ekonomi dan menyebabkan krisis lingkungan hidup. Ekonomi politik global telah menyebabkan kerentanan bagi individu, komunitas maupun masyarakat global di mana kesenjangan dan peminggiran bagi kaum-kaum miskin semakin terjauhkan dari akses hidup layak.

Kondisi masyarakat global dan struktur ekonomi politik global ditandai dengan adanya hegemoni negara-negara maju yang menggunakan energi sebagai instrumen ekonomi politik. Hegemoni inilah yang menjadi pendorong pembangunan dan telah membangun laku perubahan global pada abad ke dua puluh melalui akumulasi power baik secara geopolitik.

Kemudian, pembangunan tersebut didorong oleh penggunaan energi berbahan fosil yang cukup masif yang membangun era antroposen. Periode perluasan ekonomi liberal mempercepat akselerasi geologis yang dibangun oleh minyak bumi yang mendominasi kehidupan modern. Penggunaan minyak bumi yang besar telah menjadi penanda pada kemunculan hegemoni Inggris dan America Serikat yang menjadi pendorong terjadinya perubahan iklim yang menjadi pola geopolitik antroposen.

Pengungsi Iklim

Perubahan iklim telah nyata terjadi. Hal tersebut ditegaskan oleh Sekretaris Jenderal PBB, António Guterres pada 14 Februari 2023 yang menyoroti krisis iklim dengan istilah ‘a mass exodus of entire populations on a biblical scale’. Sebelumnya, Menteri Luar Negeri Tuvalu, Simon Kofe memberikan pidato pada KTT Perubahan Iklim ke-26 dengan lutut terendam air laut dengan latar belakang bendera PBB dan bendera negara Tuvalu untuk menunjukkan kegentingan negara-negara yang terancam tenggelam akibat perubahan iklim. Kedua momen tersebut secara simbolik menunjukkan bahwa perubahan iklim memberikan tambahan dampak yaitu perpindahan manusia karena dorongan fisik akibat krisis lingkungan hidup global dan krisis pemanasan global.

- Advertisement -

Istilah perpindahan manusia (displacement) yang menjadi populer adalah pengungsi iklim (climate refugee) berawal dari sejarah pengadilan imigrasi Selandia Baru mengenai status ‘climate refugee’. Sayangnya, pengungsi iklim belum mendapatkan kerangka hukum internasional yang komprehensif. Istilah pengungsi masih berpatokan kepada Konvensi Jenewa. Konvensi ini telah menekankan perlunya perlindungan bagi pengungsi terhadap persekusi berbasis ras, agama, kebangsaan, keanggotaan dari kelompok sosial atau kelompok politik dan tidak mendapatkan perlindungan dari pemerintahannya. Narasi mengenai climate refugee menunjukkan depolitisasi perubahan iklim global, ketidakadikan iklim, dan bentuk lepas tanggung jawabnya komunitas internasional untuk perlindungan terhadap individu dan kelompok terdampak perubahan iklim.

Pada KTT Perubahan Iklim ke -21, Desember 2015 diikuti oleh 195 negara yang telah mengikatkan diri pada perjanjian iklim global mengakui isu pengungsi iklim. Jauh sebelum KTT Perubahan iklim ke-21, pada KTT Perubahan Iklim ke-16 di Cancún telah mengakui pentingnya “measures to enhance understanding, coordination and cooperation with regard to climate change induced displacement, migration and planned relocation, where appropriate, at national, regional and international levels” yang tercantum dalam laporan UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change) tahun 2010.

Saat itu beberapa kemungkinan hukum internasional mengenai konteks perubahan iklim, namun terbentur klausul dalam UNFCCC bahwa mengungsi diidentifikasi sebagai tindakan adaptasi menghadapi perubahan iklim dengan cara meninggalkan negara asalnya. Maka, istilah pengungsi iklim berbenturan dalam konteks adaptasi perubahan iklim.

Ica Wulansari
Ica Wulansari
Dosen Hubungan Internasional Universitas Paramadina dan Pengkaji politik lingkungan hidup dan isu sosial-ekologi
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.