Dalam Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode yang baru ini, terdapat sejumlah politisi dan legislator milenial. Tercatat 52 anggota DPR yang berusia di bawah 30 tahun dari jumlah keseluruhan anggota DPR yakni sebanyak 575 orang.
Fakta tersebut tidak hanya menjadi jawaban akan kekhawatiran banyak orang pada krisis regenerasi politik, namun juga sebuah jawaban atas ancaman dari elit politik lama yang berusaha mempertahankan kekuasaan dan bahkan menggiring politik untuk masuk ke dalam era otoritarianisme.
Kedua ancaman tersebut seakan direduksi karena hadirnya para wakil rakyat milenial yang identik dengan perubahan dan perjuangan reformasi. Kehadiran pemuda dalam parlemen telah menjadi harapan baru bagi masyarakat luas.
Namun, harapan positif dari masyarakat pada sosok politisi milenial yang berhasil masuk ke dalam parlemen seakan kandas. Berdasarkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) di situs KPK, para politisi milenial tersebut ternyata memiliki total harta kekayaan yang mencapai puluhan milyar rupiah.
Belum lagi banyak legislator milenial lainnya tercatat berasal dari keluarga elit seperti politikus, polisi, dan pejabat BUMN. Hal semacam ini nyatanya lumrah terjadi. Citra positif dan popularitas yang dibangun seorang elit tentu dapat dengan mudah berimbas kepada sanak keluarga.
Dengan harapan, keluarga yang merupakan lingkaran pertama tokoh tersebut dapat meneruskan kepemimpinan dan menggantikan jejak tokoh kedepannya. Kita mengenalnya dengan sebutan dinasti politik. Itu adalah kekuasaan politik yang dijalankan oleh sekelompok orang berbasis hubungan pertalian darah atau perkawinan.
Indonesia, sebagaimana disebutkan dalam penelitian Mietzner (2009) yang bertajuk Indonesia’s 2009 Elections: Populisme, Dynasties and the Consolidation of the Party System, memang sudah akrab dengan praktik politik dinasti.
Tolak ukurnya sangat mudah: kita tentu dapat dengan mudah menyebut banyak orang yang berkecimpung di dunia politik dan mereka yang terhimpun dalam pemerintahan memiliki hubungan kekeluargaan dengan penguasa dan tokoh panutan tertentu.
Mencederai Demokrasi
Bukan tidak mungkin jika fenomena ini akan membentuk jaringan politik baru. Elit politik yang memiliki andil besar dalam memengaruhi pengambilan keputusan politis tidak hanya dimaknai sebatas partai, kekuatan militer, pemilik modal, dan lain sebagainya. Dinasti yang terbentuk bisa saja menjadi elit politik kontemporer yang jika dibiarkan dapat mencederai kehidupan demokrasi kita.
Dinasti politik dipandang akan mereduksi kebebasan pemuda dalam memilih wakil rakyat di daerahnya masing-masing. Sebab pilihan pemuda serta kesempatan individu untuk mencalonkan diri menjadi terbatas. Padahal, salah satu aspek pengukur kehidupan demokrasi yang baik dalam suatu negara yakni bagaimana penyelenggaraan pemilu dapat berlangsung dengan baik.
Tidak cukup memengaruhi pemuda secara khusus maupun masyarakat secara umum, praktik dinasti yang mengakar dalam dinamika politik Indonesia juga dapat memengaruhi kinerja partai politik. Banyak kader unggulan dihasilkan melalui kaderisasi dan rekrutmen partai politik yang berjalan dengan baik. Itu semua menjadi sia-sia apabila ternyata partai lebih tertarik mencalonkan tokoh-tokoh yang berdasar hubungan kekeluargaan atau pertalian darah.
Fenomena tersebut terlihat dalam Pilwalkot Surakarta 2020 mendatang di mana putra sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming, digadang maju dalam kontestasi tersebut.
Walau demikian, PDIP belum tentu memberikan ‘lampu hijau’ kepadanya. Sebagaimana diungkapkan politikus PDIP Andreas Pareira, Gibran disarankan tetap mengikuti aturan main yang telah ditetapkan oleh PDIP, jika Gibran maju melalui PDIP. Mmekanisme pencalonan internal partai harus tetap diikuti agar modal sosial yang dimiliki ini tidak berbenturan dengan modal politik yang ingin diperoleh melalui PDIP.
Pentingnya Pendidikan Politik
Soebagio (2009) dalam penelitiannya berjudul Distorsi dalam Transisi Demokrasi di Indonesia sudah menyebutkan bahwa penurunan partisipasi politik dari tahun ke tahun di masa reformasi salah satunya disebabkan kuatnya pengaruh elit politik parlemen.
Dinasti politik yang terjadi pada politisi milenial jika dibiarkan secara terus menerus tentu bisa saja memunculkan apatisme politik di Indonesia. Itu adalah sebuah kondisi di mana pemuda menarik diri dari proses politik. Bagi kaum elit, partisipasi bukanlah variabel utama kepentingan mereka.
Tentunya beragam cara bisa ditempuh untuk mengatasi itu. Salah satunya melalui pendidikan politik bagi generasi milenial. Diperlukan pemuda yang aktif, kritis, serta peduli terhadap dinamika politik yang terjadi di Indonesia.
Sehingga hanya karena itu terciptalah kontrol yang baik terhadap pemerintah (checks and balances). Istilah milenial dalam kontestasi politik sudah seharusnya tidak dibatasi secara sempit yakni sekedar usia yang relatif muda, namun para politisi milenial harus memiliki sikap free mindedness, critical trust building, dan good gatekeeping.
Tiga sikap itu digagas oleh Dovi (2007) dalam The Good Representative untuk menyebutkan kriteria seorang representator politik dan politisi yang baik. Itu semua harus dilakukan secara berkesinambungan agar terwujud partisipasi politik yang sehat.
Hal lain seperti penguatan partai politik juga dipandang penting sebagai usaha mereduksi praktik dinasti politik. Penguatan tersebut bisa bekerja melalui aspek rekrutmen partai atau juga kaderisasi partai. Unsur yang terbuka dan plural harus dijunjung tinggi pada kedua aspek tersebut agar muncul banyak tokoh yang berkompeten dan siap untuk menjalani berbagai kontestasi di tingkat lokal maupun nasional.
Karena itu pula, meningkat pula partisipasi pemuda dalam pemilihan karena kandidat yang dicalonkan adalah putra-putri terbaik yang sudah melalui tahap rekrutmen dan kaderasasi yang baik pula. Pemilu tidak menjadi ajang bagi para kontestan yang hanya memiliki modal keturunan atau hubungan pertalian darah dari tokoh tertentu semata.
Prinsipnya, masalah representasi politik generasi milenial di Indonesia tidak selalu berbicara soal minimnya partisipasi politik dan jumlah wakil yang ada di legislatif. Jerat politik dinasti yang menghampiri politisi milenial harus menjadi fokus selanjutnya. Karenanya pendidikan politik bagi generasi muda menjadi hal penting.
Istilah milenial sudah seharusnya tidak dibatasi secara sempit yakni sekedar usia yang relatif muda, namun juga dengan sikap free mindedness, critical trust building, dan good gatekeeping yang harus dimiki oleh setiap wakil rakyat. Juga dengan penguatan partai politik perihal rekrutmen dan kaderisasi partai dipandang penting sebagai usaha mereduksi praktik dinasti politik yang mengancam kehidupan berdemokrasi di Indonesia.