Sabtu, April 20, 2024

Mewaspadai Gerakan (Politik) Eks HTI

Mustaq Zabidi
Mustaq Zabidi
Penulis Lepas

Media belakangan masih fokus pada pendiskusian tentang PKI yang santer menjadi bahasan publik. Pasalnya, isu tersebut menjadi sangat kontroversi karena masih belum tuntasnya pengungkapan tentang fakta sejarah. Pewacanaan masih berkutat pada hal-hal tentang kemanusiaan dan pelanggaran HAM. Proses hukum yang terkesan lamban ini menjadi misteri yang akrab diperbincangkan setiap menjelang peringatan tragedi G 30 S/PKI.

Terlepas dari isu itu, ada hal menarik yang sebetulnya luput dari pandangan publik mengenai keberlanjutan gerakan eks organisasi HTI. Keberadaan eks kelompok tersebut harus menjadi konsentrasi bahwa doktrinasi ideologi akan terus berkembang dengan pola gerakan yang variatif. Gerakan bawah tanah dan penguatan sisi ekspansi akan menjadi strategi shoot on target untuk menginvasi negara.

Publik pasti bertanya, kemana kelompok ini akan bermanuver kembali untuk melakukan sebuah gerakan baru. Organisasi HTI secara de jure telah runtuh dengan munculnya kebijakan Perpu Ormas nomor 2 tahun 2017. Namun, secara de facto gerakan ini akan terus mengupayakan indoktrinasi paham kepada masyarakat atau kelompok lain. Meski pemerintah telah dengan tegas memberikan sanksi kepada mantan anggota HTI yang bersikukuh mendistribusikan ideologi khilafah namun nampaknya ini justru dimaknai sebagai gertak sambal.

Organisasi HTI dibubarkan karena disinyalir ingin mengganti dasar negara dengan sistem syariat dan mengganti sistem demokrasi dengan model khilafah. Selain itu, muncul indikasi akan adanya upaya kudeta secara serentak ketika basis massa sudah mulai kuat. Kerasnya doktrinasi ini tersampaikan secara luas, baik di mimbar masjid ataupun diberbagai acara seminar dan panggung akademik yang lain.

Salah satu hal lain yang menjadi pertimbangan dalam pembubaran organisasi HTI adalah karena organisasi ini mencitrakan gerakan politik bukan misi gerakan dakwah agama yang menyejukkan. Konsep dakwah yang disampaikan selalu bertentangan dengan negara dan menganggap kelompok lain yang beda agama dan pilihan politik sebagai kelompok yang salah, kafir dan sebagainya. Sehingga, praktis menimbulkan gejolak adanya pertentangan, gesekan dan benturan di masyarakat.

Meski demikian, pilihan dakwah yang dilakukan tersebut nyatanya tidak bisa bertahan lama dan cenderung mendapat penolakan di berbagai tempat. Gerakan dakwah model HTI sudah dianggap tidak laku di masyarakat karena mencirikan permusuhan dan rendahnya toleransi. Masyarakat sudah bosan dengan berbagai macam pertentangan, permusuhan dan penggunjingan terhadap kelompok lain.

Bubarnya organisasi HTI tidak bisa dianggap remeh begitu saja. Meski gerakan ini diawasi ketat oleh pemerintah namun akan tetap bermetamorfosa menjadi gerakan model baru. Para eks HTI selalu punya langkah tersembunyi untuk menghindari politik identitas. Kenapa demikian? karena kelompok ini sengaja mengurungkan niat agar dianggap tenggelam begitu dalam sehingga kebanyakan mengira bahwa eks HTI sudah lost power.

Model gerakan dakwah HTI memang rendah simpati publik namun eks gerakan ini akan tampil pada ruang yang lain, bahkan bisa saja masuk dalam ruang politik. Alasan ini sangat mendasar karena nama Hizbut Tahrir di Mesir itu murni sebagai gerakan politik (meski pada akhirnya dilarang). Hal ini pula yang barangkali menjadi alasan suksesnya kelompok ihwanul muslimin yang berkembang di Indonesia dengan melihat situasi politik sehingga terbesit niat untuk membentuk sebuah wadah yang berupa partai politik. Sebuah jembatan politik yang perlahan menguasai pos strategis pemerintahan. Mana mungkin kelompok kanan memiliki delegasi di parlemen kalau tidak mempunyai kendaraan berupa partai politik.

Flashback pada sejarah, keberadaan NU pasca tumbangnya era orde baru akan sedikit bernasib sama dengan HTI kalau saja Gus Dur pada saat itu (menjabat sebagai Tanfidziah PBNU) tidak membuat sebuah partai politik. Era reformasi tentu sangat berbeda dengan orde baru karena keberadaan era reformasi kaya keterbukaan, formulasi dan restruktulisasi sistem pemerintahan sehingga dirasa akan kehilangan jalan kalau tidak membuat kendaraan baru berupa partai politik.

Kelompok nahdliyin perlu terlibat dan ambil posisi. Karena, keberadaan PPP sebagai basis partai Islam saat itu dinilai kurang begitu mengakomodir kepentingan nahdliyin secara menyeluruh. Sehingga, keberadaan partai politik baru ini menjadi harapan para ulama untuk terakomodirnya kepentingan NU. Hal inilah yang kemudian mengantarkan Gus Dur sebagai Presiden RI ke-4.

Hal ini tentu menjadi tamparan telak bagi partai-partai lain terkhusus yang berhaluan nasionalis dan moderat karena keberadaan kelompok ekslusivisme agama akan muncul dengan ‘kedok’ partai politik. Apalagi di era demokrasi yang amat terbuka ini yang membolehkan kelompok masyarakat untuk membuat partai politik. Peluang yang sangat terbuka untuk menjejaki misi on fire demi tersematkannya tujuan pokok.

Kebebasan dalam membentuk partai politik harus dikerucutkan kembali untuk memproteksi adanya potensi penguasaan parlemen dan pemerintahan di kubu kelompok yang ekslusif. Hal ini akan semakin memperparah langkah politik demokrasi dalam mengakomodir kepentingan masyarakat majemuk. Keberagaman harus tumbuh dengan caranya negara memberikan rasa aman, kedamaian dan partisipatif terhadap masyarakat yang heterogen. Lalu, apa bedanya PKI dengan HTI ? keduanya, hanya beda warna dan sama-sama ingin melakukan tindakan kudeta untuk mengakuisisi negara. Bukan tak mungkin, terlambat dalam mengambil langkah politik akan menimbulkan gesekan yang amat keras.

Mustaq Zabidi
Mustaq Zabidi
Penulis Lepas
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.