Pada awal September kemarin, pemerintah menaikkan harga BBM. Kebijakan itu disampaikan oleh Presiden Jokowi melalui Menteri ESDM Arifin Tasrif di Istana negara, Jakarta, Sabtu (03/09/2022).
Alasan yang diajukan pemerintah pun bermacam-macam untuk merasionalisasi kebijakannya itu. Mulai dari masalah konflik geopolitik internasional, kenaikan harga mentah, hingga alasan yang menunjukkan kegalalannya sendiri dalam menjalankan pemerintahan, adalah alasan salah sasaran alokasi BBM bersubsidi.
Kita tentu akan terus mencecar alasan ini; mengapa kelalaian pemerintah dalam mengalokasikan BBM bersubsidi dipikulkan kepada rakyatnya sendiri? Kemana aja pemerintah selama ini?
Tentu kebijakan menaikkan BBM sebagai jalan buntu dari kondisi keuangan negara yang membengkak memicu respons kontroversial di tengah masyarakat. Keberadaan BBM adalah sentralitas bagi perekonomian bangsa. Efek domino yang diakibatkan dari satu hentakan per-rupiah kenaikan BBM sangat memukul kondisi perekonomian. Semua sektor mengalami kebengkakan, transportasi, bahan pokok, hingga gorengan yang biasa bertendang di jalan-jalan.
Satu yang cukup menarik dari fenomena penolakan, yaitu gerakan aksi demostran. Sudah lazim jika mahasiswa turun ke jalan atas nama kepentingan rakyat. Mahasiswa sebagai representif kerakyatan, yang membela rakyat dalam suatu kontrak bernegara dengan pemerintahnya merupakan suatu gerakan kontrol alternatif (check and balances) terhadap kebijakan sentral pemerintah.
Namun, politisasi pihak berkepentingan sangat rentan menunggangi aksi bela rakyat ini. Artinya, kita akan menguji koeksistensi tuntutan mahasiswa dalam aksinya; apakah ia memang murni, atau sudah terkontaminasi dengan-dengan iming-iming suatu ideologi?
Hal ini mengingat keberadaan kampus dan civitas akademiknya, terutama mahasiswa, sangat rentan disusupi oleh paham radikalis dan gerakan teroris. Selain karena kemapanan intelektual dan mental yang belum siap dalam percaturan ideologis, idealisme mahasiswa (agent of control) sudah dikomersialisasi dengan rupiah, jaringan, dan jabatan. Pragmatisme sudah menjalari mereka sehingga status kemahasiswaan dimonetisasi menjadi uang.
Hal ini terbukti ketika demo yang didorong dengan niat suci bernegara, dirusak dengan aksi ekstremis dan anarkis dalam penyampaiannya. Tidak ada kompromi dan demokrasi dalam mendialogkan kebijakan dan kehendak umum. Terbukti beberapa aksi vandalisme yang dilakukan oleh mahasiswa banyuwangi, kemarin (16/09).
Beberapa fasilitas umum dirusak, di antaranya gerbang dan beberapa sisi bangunan kantor pemerintahan setempat. Belum lagi aksi mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam suatu gerakan berlatar gema ideologi Islam, kemarin (09/09). Hal ini tentu menjadi ketakutan, dimana euforia berislam menuai kesempatannya bertunggangan dengan suara rakyat dalam aksi penolakan.
Halakah islamisasi atau khilafaisme persatuan dan kesatuan masih mengintai hingga saat ini. Ia akan berusaha terus mencari celah dalam menegakkan ideologi dalam negara yang sudah final. Baik isu propaganda maupun jalan anarkis dan ekstremis, terlebih menunggangi mahasiswa dengan provokasi antipemerintah.