Kemenangan Jokowi kalau menurut hasil Quick Count itu di luar prediksi. Hanya selisih 10% dari kandidat lawannya Prabowo. Angka itu tidak jauh berbeda dari dari Pilpres 2014 yang berselisih 6%. Padahal menurut survey sebelum pemilu, selisih antara Jokowi dan Prabowo mencapai 20%. Jadi penurunan yang sangat banyak.
Kalau menurut Mahfud MD, mantan ketua MK, kekalahan Jokowi itu disebabkan banyak umat Islam garis keras di beberapa propinsi tertentu.
“Kalau dilihat kemenangannya di provinsi yang agak panas pak jokowi kalah. dan itu diidentifikasi kemenangan pak prabowo dulunya di anggap sebagai provinsi garis keras yah dalam hal agama, misalnya Jawa Barat, Sumbar, Aceh dan sebagainya, Sulsel juga.” kata Mahfud MD dalam sebuah wawancara stasiun televisi.
“ …garis keras itu sama dengan fanatik atau sama dengan sikap kesetiaan yang tinggi”, Mahfud MD menambah penjelasannya beberapa waktu kemudian.
Dengan kerja Jokowi yang cukup terlihat oleh rakyat, suatu hasil survey menunjukan 70% rakyat puas dengan kinerja Presiden dan hasil elektabilitas yang tinggi, angka-angka hasil yang ditunjukan dari Quick Count tersebut cukup mengejutkan. Sepertinya ada persepsi “baru” masyarakat yang menggantikan persepsi lama tentang Jokowi sebagai presiden atau calon presiden berikutnya.
Fakta-fakta yang terlihat jauh nyata jauh-jauh hari sebelum pemilu seakan sirna begitu saja. Sepertinya khabar negatif yang beredar lebih banyak didengar dan menutupi fakta-fakta yang ada sebelumnya. Apa yang terjadi pada propinsi-propinsi yang disebut Mahfud MD itu?
Mungkin sinyalemen Mahfud MD itu benar mengenai sikap fanatik masyarakatnya di daerah tersebut. Untuk umat Islam, ulama lebih di dengar daripada umara. Misalnya Ridwan Kamil yang terpilih sebagai Gubernur Jawa Barat dan mendukung petahana, ternyata rakyatnya lebih memilih pihak oposisi. Di daerah-daerah lain yang disebut itu, sepertinuya ulama-ulamnya kebanyakan adalah pendukung Prabowo.
Isu-isu negatif yang berkaitan dengan Jokowi juga pastinya sudah beredar di sana. Isu negatif itu seperti; rejim Jokowi adalah anti Islam, rejim mendukung penista agama, rejim Jokowi mengkriminalisasi ulama, termasuk Islam Nusantara yang tidak ada tuntunannya dalam Islam dan sebagainya. Mungkin juga termasuk isu yang disebarkan ibu-ibu di pinggiran Jakarta bahwa adzan akan ditiadakan di bawah rejim Jokowi.
Tentu saja isu-isu negatif itu tidak benar. Mengenai isu Jokowi anti Islam seharusnya sudah terbantahkan dengan dicalonkannya Ma’aruf Amin mantan ketua MUI sebagai cawapres. Banyak ulama dari barisan NU mendukung pasangan itu. Soal penistaan agama oleh mantan Gubernur DKI pun sudah melalui jalur hukum.
Kemudian soal kriminalisasi ulama yang tak terbukti, karena yang sekarang dipenjara lebih banyak berkaitan dengan masalah kriminal. Soal Islam itu sebetulnya lebih pandangan NU dan tidak berkaitan dengan presiden. Apalagi soal adzan yang dilarang, betul-betul isapan jempol.
Tetapi sebanyak apa pun dibantah, pemilih tetap mengabaikan penjelasan tim Jokowi. Bukan fakta adanya pembangunan atau kebenaran soal isu ke-Islaman yang menjadi pertimbangan. Ikatan emosional yang lebih berperan. Persepsi terhadap Prabowo, benar atau salah, itu sudah terbentuk. Begitu pula terhadap Jokowi. Ini mungkin yang disebut “Post Truth”.
“Post Truth” dalam politik itu adalah situasi pembentukan opini politik berdasarkan emosi dan terlepas dari fakta yang ada. Jadi bukan kebenaran yang dicari atau dikejar tetapi posisi kemenangan, apa pun fakta sebenarnya yang ada. Situasi di mana banyak orang melakukan pembenaran terhadap persepsinya sendiri.
Dalam situasi ini ketidak percayaan pada pihak yang berseberangan begitu tinggi. Semua pihak merasa paling benar sendiri. Kegaduhan politik bisa terus berlangsung meskipun presiden sudah ditetapkan oleh KPU. Tuduhan bahwa pemilu curang akan terus digaungkan meskipun fakta-fakta di pengadilan nantinya, jika kasusnya di bawa ke MK, ternyata menguatkan keputusan KPU.
Situasi ini sebetulnya sangat berbahaya terhadap persatuan bangsa jika tidak diredam. Diperlukan politikus yang bersikap dewasa dan politikus negarawan daripada politikus yang berpandangan sempit yang mementingkan golongannya sendiri. Diperlukan politikus yang bisa melihat kebenaran dan fakta-fakta yang ada daripada terus menerus membentuk opini dan persepsi publik yang bertentangan dengan hukum yang ada.
Kalaupun nanti hasil pemilu diterima, tetap diperlukan rekonsiliasi oleh pemerintah terhadap pendukung oposisi. Perlu diadakan kesepakatan-kesepakatan dengan tokoh-tokoh dalam rangka Indonesia yang satu. Seperti komunikasi antar tokoh yang selalu terbuka dan saling percaya.
Perlu juga dilakukan pelurusan terhadap persepsi-persepsi yang salah. Menghentikan berita-berita bohong tanpa dasar dengan lebih tegas melakukan penegakan hukum terhadap para pelanggar.
Hubungan Kemasyarakatan (Public Relation) departemen atau lembaga pemerintah harus lebih aktif lagi. Keterbukaan informasi bukan hanya “lips service” tetapi harus benar-benar diimplementasikan. Harus cepat tanggap terhadap berita-berita menyesatkan yang berkaitan dengan lembaganya. Dengan kecepatan yang sama tinggi dengan netizen dalam menanggapi sebuah berita, diharapkan berita hoax bisa dihentikan di awal.